8 : Penemuan Ibrahim

Golok kembali diangkat tinggi. Semak-semak berjalan itu masih menjadi pelaku eksekusi. Dalam sekali tebas, darah segar muncrat, menyembur deras layaknya mata air yang baru ditemukan. Kepala yang semak-semak berjalan tebas langsung lepas tak lagi menjadi bagian dari tubuh anak-anak yang ia eksekusi.

Di antara asap pekat hasil pembakaran dari kemenyan dan dupa, jemari kusam pak Asnawi masih menari-nari. Tua bangk.a renta itu tampak begitu serius. Tubuhnya gemetaran hebat seolah menahan kekuatan dahsyat. Sementara tak jauh darinya, Echa sang kuntilanak juga masih disekap menggunakan kekuatan gaib. Tubuh Echa masih tertahan di atas permukaan tanah. Kuntilanak itu tampak sangat marah sekaligus mengutuk perbuatan keji yang terjadi.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Pak Yusna yang melangkah sempoyongan akhirnya keluar dari hutan. Dengan tatapan kosong, pak Yusna membopong tubuh gendut Iman yang sudah tak berkepala. Darah segar terus menetes dari leher Iman yang dipen.ggal. Sementara di dada Iman, kepala dengan mata melotot, sengaja ditaruh sana.

Kemunculan pak Yusna yang bertepatan dengan kedatangan rombongan warga, langsung membuat semuanya histeris. Pak Hamim yang sebelumnya selalu berucap lantang, berakhir pingsan. Begitu juga sang istri yang kebetulan baru menyusul. Setelah menatap saksama tubuh sang putra dari jarak dekat, ibu Lilis selaku mamanya Iman juga berakhir pingsan. Ibu Lilis pingsan sambil mendekap kepala Iman.

Keadaan Iman yang meninggal dalam keadaan mengenaskan, membuat warga geram. Mereka sengaja beramai-ramai masuk ke dalam hutan. Meski bagi pak Handoyo yang menguping dari rumahnya, apa yang warga lakukan telat.

“Kenapa baru sekarang? Kenapa tidak dari awal saja langsung dilakukan pencarian besar-besaran? Kenapa dari awal hanya mengandalkan satu orang? Bahkan aku juga tidak boleh masuk hanya karena aku terluka, sementara anak-anak yang keluar dari hutan justru dalam keadaan terluka bahkan meregan.g nyawa!” keluh pak Handoyo sambil membersihkan tubuh Syukur.

“Kalau seperti ini aku jadi curiga, jangan-jangan pelakunya memang manusia. Manusia yang menggembar-gemborkan bahwa di hutan Tua ada kurcaci atau malah binatang bua.s pemakan anak!”

“Lihatlah luka Syukur, ini pasti ulah manusia yang terlatih. Atau jangan-jangan, di dalam hutan Tua menjadi sarang persembunyian manusia-manusia sesat sekaligus kriminal?”

Setelah terlalu banyak pertanyaan kenapa, dan kenapa, pak Handoyo yang makin emosi, memutuskan untuk mengemban cucunya lagi. “Ayo, Kur! Ayo kita ke rumah sakit! Masa iya, orang rumah sakit percaya tahayul sementara mereka orang-orang berpendidikan! Pokoknya kamu wajib ditangani secepatnya! Urusan biaya, nanti Kakek jual saja tanah dan kebun Kakek! Nanti kita hubungi om Rain saja!” ucapnya sambil tersedu-sedu.

Menggunakan kain jarit lusuh, pak Handoyo mengemban Syukur yang sudah tak sadarkan diri. Sampai detik ini, pak Handoyo masih belum ganti pakaian atau sekadar membersihkan lukanya sendiri. Terakhir, sebelum pak Handoyo benar-benar keluar dari rumah semi permanennya, tangan kanannya yang gemetaran mengambil dompet lusuh di lemari kayu di dalam kamarnya. Lemari kayu selaku lemari pakaian dan berukuran kecil yang tetap terjaga kebersihannya.

“Ayo Kur, kita perjuangkan apa itu yang dinamakan keadilan!” tegas pak Handoyo masih tersedu-sedu.

Sementara itu, warga yang mencari jumlahnya ada 25 orang dan semuanya laki-laki. Para pemuda ditugaskan untuk menabuh wajan dan panci, sementara para bapak-bapak sudah bersiap dengan golok masing-masing. Mereka terus menatap saksama setiap penjuru di hutan. Mereka menjadikan senter sebagai penerang karena di sana benar-benar gelap.

“Iqbaaaaallll!”

“Antaraaaaaaa!”

“Ibrahiiiimmmmm!”

“Novaaaaallll!”

“Ahsannnnnn!”

“Kalian di manaaaaaaa?!”

Setiap nama bocah yang disinyalir masih ada di dalam hutan, terus mereka lantangkan. Namun karena pencarian yang tengah mereka lakukan juga, mereka jadi tahu bahwa di hutan Tua yang selama ini mereka keramatkan, ada rumah terbilang kokoh!

“Itu ... itu, ... rumah?” lirih mereka yang kemudian kompak mengarahkan senter mereka ke rumah yang dimaksud. Rumah kayu yang bahkan memiliki pondasi kokoh.

Pertanyaannya, itu rumah siapa, dan sejak kapan ada di sana? Meski kini memang kali pertama mereka ke sana.

Baru akan memastikan ke rumah tersebut, mereka mendengar suara langkah yang begitu cepat layaknya lari. Langkah yang awalnya mereka kira sebagai sosok dari yang harus mereka basmi. Apalagi, sosok tersebut bertubuh kecil dan mereka yakini menjadi salah satu kurcaci penghuni hutan.

Detik itu juga semuanya kompak waspada. Mereka saling menatap sekitar sambil bersiap dengan golok masing-masing. Namun setelah santer mereka diarahkan ke sumber kedatangan yang masih lari, ternyata itu justru Ibrahim!

“Ibrahim ...?” seru semuanya.

Pak Yusna selaku papa Ibrahim yang paling heboh. Setelah langsung memeluk bahkan mengemban Ibrahim, pak Yusna sampai sujud syukur.

Namun, warga benar-benar bingung. Lantaran Ibrahim yang mereka awasi dengan saksama di bawah sorot cahaya senter, tak sedikit pun terluka. Padahal, Syukur yang selamat saja dalam keadaan terluka parah. Sementara Iman, jangan dijelaskan lagi. Kepala Iman lepas dari tubuh dan itu ditemukan oleh pak Yusna!

“Pak Yusna, itu tadi Pak Yusna nemuin Iman di mana? Ada jejak yang mencurigakan, enggak?” tanya pak Asman selaku bapak dari Antara.

“Di rumah itu, saya menemukan Iman di rumah itu!” sergah pak Yusna sesaat setelah beres dari sujud syukurnya. Ia menunjuk rumah yang dimaksud. Namun, semuanya kompak menunjukkan ekspresi penuh tanya kepadanya. Mungkin ketika membahas rumah di depan sana dan memang hanya ada satu-satunya du sana, pak Yusna tak berkomentar apa-apa.

“Kok agak lain, ya. Pas tadi pada bertanya-tanya itu rumah apa, kok pak Yusna enggak langsung nyaut kalau dia nemuin Iman di sana. Andai efek dia terlalu bingung Ibrahim belum ditemukan, ya harusnya enggak gitu juga,” batin warga masih kompak diam dan hanya menunjukkan ekspresi tidak nyaman.

“Ibrahim, yang lain ke mana?” sergah pak Asman langsung menyikapi Ibrahim dengan serius. Orang tua mana yang tidak ingin tahu kabar anaknya, terlebih jika kejadiannya sudah jauh dari baik-baik saja.

Alih-alih menjawab, Ibrahim hanya bengong kebingungan. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir Ibrahim. Namun setelah pak Asman amati, tubuh dan pakaian Ibrahim tak luput dari percikan darah, meski Ibrahim memang tak sedikit pun terluka.

“Iya, darah ... tapi Ibrahim beneran enggak terluka,” lirih mereka dan mendadak jadi gaduh.

“Bapak-bapak, tolong jangan desak Ibra. Takutnya Ibra trauma karena sepertinya, dia menyaksikan apa yang terjadi,” mohon pak Yusna sambil terus mengemban putranya.

Dalam dekapan sang papa, Ibrahim meringkuk ketakutan. Khas orang yang memang trauma, layaknya apa kata pak Yusna.

Terpopuler

Comments

FiaNasa

FiaNasa

kok aq jadi curiga ya m pak yusna

2024-04-20

0

Firli Putrawan

Firli Putrawan

aneh s ibra g knp2 apa dia sengaja d srh sm pa Asnawi buat bw anak-anak k hutan buat tumbal

2024-04-16

1

Dessy Sugiarti

Dessy Sugiarti

Ibrahim anak ini bener g beres bgt jd penasaran sm ini anak knp td do'ain syukur biar dibunuh ya...
Udah pak Handoyo jual aja semua yg ada didesa teruuss ke pesanter biar syukur bs sekolah jg ngaji sm Athan...
Lanjut kak...
Semoga bisa UPDATE lagi...

2024-03-27

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 45 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!