7 : Asnawi, Sang Dukun Tengi.k

Echa bangkit dari kubur. Ia kembali menjelma menjadi kuntilanak penuh dendam. Sebab seperti sumpahnya, bahwa siapa pun yang berani melukai papa maupun Syukur anaknya, akan mendapatkan balasan setimpal, kapan pun itu terjadi. Sementara kini, di hutan Tua sana, Syukur anak Echa tengah merasakan antara hidup dan mati. Semak-semak berjalan telah melumpuhkan Syukur hanya karena bocah itu menjadi bagian dari kebersamaan di hutan Tua.

“S—sakit! Jangan lukai aku lagi, kasihan kakekku tidak punya uang untuk membawaku berobat. Kakekku tidak punya siapa-siapa lagi selain aku!” rintih Syukur yang meski sudah tak berdaya, masih saja memikirkan orang lain. Syukur sangat mengkhawatirkan kakeknya. Tak mau luka-lukanya malah makin membuat hidup kakeknya yang sudah susah, makin susah.

“Hihihi ... hihihihihi ... hahahahah ... hahahaha!”

Gelegar tawa Echa sang kuntilanak, mengejutkan semua yang ada di sana. Para anak-anak yang awalnya bersembunyi, termasuk itu Ibrahim, kompak kabur.

“Kuntilanakkkkkk! Tolong ada kuntilanakkkkk!” Teman-teman Syukur yang awalnya bersembunyi, lari berhamburan. Semuanya refleks berpencar mencari perlindungan sendiri-sendiri. Karena alih-alih takut kepada semak-semak berjalan yang sudah membuat kepala Iman dipengg.al, mereka memang jauh lebih takut kepada kuntilanak.

Lain dengan Syukur, bocah yang sampai detik ini masih tengkurap itu malah jadi penasaran. Benarkah yang datang menang kuntilanak? Sebab kebetulan, Syukur hanya baru mendengar suaranya. Namun jika memang iya, siapa kuntilanak itu? Apakah kuntilanak itu bagian dari kejahatan di hutan Tua? Atau malah, itulah mamanya?

“Dasar pengecut!” tegas Echa sang kuntilanak. “Melukai orang bahkan anak kecil tanpa menunjukkan wujud, itu pengecut, kan?” lanjutnya masih meledak-ledak.

Echa berdiri di atas antara Syukur dan sang semak-semak berjalan. Kedua manik mata Echa yang awalnya putih semua, kini perlahan menjadi merah menyala. Dari kedua matanya sana seolah mengobarkan api wujud dari kemarahannya.

“Hah!” refleks si semak-semak berjalan dan memang memilih kabur.

Echa sang kuntilanak tidak tinggal diam. Ia segera mengejar sang semak-semak berjalan. “Dasar pengecut!” marah Echa.

“Mereka pergi! Ini saat yang tepat untuk aku kabur! Aku harus mencari bantuan!” pikir Syukur.

Syukur yang terluka parah segera bergerak. Bocah itu berusaha bangkit. Demi menyelamatkan nyawa teman-temannya, Syukur mengenyampingkan rasa sakitnya. Syukur tertatih-tatih sambil berlinang air mata akibat luka-lukanya. Sementara di luar sana, mereka yang awalnya menunggu juga sudah bubar. Yang tersisa hanya pak Handoyo. Padahal, mereka sama-sama menunggu kedatangan anak masing-masing. Namun, tekad mereka tidak ada yang lebih kuat dari pak Handoyo.

“T—tolong! T—tolong ....” Syukur mulai bersuara di antara darah segar sebagai jejak yang ia tinggalkan.

“T—tolong ....”

Pak Handoyo yang awalnya tengah fokus berdoa akhirnya mendengar suara sang cucu. Suara yang sangat lirih, tapi karena di sana sangat hening, pak Handoyo bisa mendengarnya.

“Syukur ...? Syukur cucu kakek ....?” panggil pak Handoyo segera berlari masuk melewati perbatasan.

Bahkan meski sosok Syukur belum terlihat jelas, pak Handoyo yang awalnya dilarang masuk akibat lukanya yang berdarah, nekat lari!

“Syukur alhamdullilah kamu masih selamat, Kur! Alhamdullilah kamu pulang, meski kamu terluka parah!” tangis pak Handoyo sudah langsung memeluk erat sang cucu.

“Kakek, ... teman-teman butuh pertolongan!” ucap Syukur dengan napas tak beraturan. Napas Syukur sangat lemah.

“Kakek ... sakit banget!” ucap Syukur lagi merintih tak berdaya.

Tak lama kemudian, pak Handoyo mendekap dan membawa cucunya itu pergi. Pak Handoyo berlari sambil meminta tolong. “T—tolong ... tolong cucu saya sudah pulang! Cucu saya terluka parah, tapi anak-anak yang lain masih di dalam. Mereka butuh pertolongan!”

Awal pak Handoyo mengabarkan kepulangan Syukur, warga tidak ada yang peduli. Namun ketika pak Handoyo menyebut yang lain butuh pertolongan, hati warga tergerak. Meski yang ada, sebagian dari mereka malah marah-marah kepada Syukur. Mereka menuntut pertanggung jawaban dari Syukur.

“Jangan ribut terus! Lebih baik kalian fokus menyelamatkan anak-anak. Masuklah beramai-ramai membawa apa pun yang bisa dijadikan senjat.a!” marah pak Handoyo.

“Kalau begitu, pastikan tidak ada satu pun bidan maupun mantri di daerah sini yang boleh mengobati Syukur. Bocah set.an seperti dia layak mati! Bisa-bisanya dia menyesatkan anak-anak!” tegas pak Hamim dan tak lain bapaknya Iman. Dialah ketua RT di desa mereka tinggal dan perawakannya sangat mirip dengan Iman—gendut hitam.

“Iya, setuju Pak RT. Kami setuju!” kompak warga.

“Astaghfirullah ... cobaan apa lagi ini?” sedih pak Handoyo.

“Di mana, hati nurani kalian?” isak pak Handoyo memilih membawa sang cucu dari sana.

Sambil mengemban Syukur yang sudah tak sadarkan diri, pak Handoyo terus merintih menangis. “Ya Allah, ... di mana kah keadilan itu? Kenapa kami selalu diperlakukan dengan keji?”

Pak Handoyo meninggalkan jalan setapak keluar dari area perkebunan sekaligus pemukiman sederhana di sekitar sana. Di tempat berbeda, Echa yang bisa mendengar tangis kesedihan sang papa malah tengah dihadapkan pada sosok kakek tua. Kakek tua tersebut menyanding cobek tanah liat penuh pembakaran kemenyan maupun dupa.

“Asnawi! Bedeba.h kau ini!” marah Echa. Hanya saja, tubuhnya sudah diikat menggunakan tali pocong yang sebenarnya kusam, tapi jadi memancarkan cahaya merah menyerupai api, ketika dililitkan ke tubuhnya.

Satu persatu bocah yang tersisa dibawa ke sana. Semuanya masih dalam keadaan hidup tapi sengaja diikat. Termasuk juga, Ibrahim yang tak kalah ketakutan dari keempat temannya.

Di belakang rumah yang sebelumnya didatangi anak-anak, kebersamaan tersebut terjadi. Semak-semak berjalan itu bekerja sama dengan dukun bernama Asnawi. Dukun yang dulunya juga menjadi penyebab Echa menjelma layaknya sekarang ini. Echa menjelma menjadi kuntilanak pendendam berkat tangan jahat pak Asnawi.

“Kau akan mati Asnawi. Kau akan mati! Camkan itu!” tegas Echa. “Anak Rain akan membunu.hmu. Dia akan langsung mengirimmu ke neraka!” marah Echa. Kedua matanya yang seolah mengobarkan api, terus menatap marah pak Asnawi. Namun, yang ditatap hanya tersenyum keji. Senyum yang menegaskan kemenangan tersendiri.

Pak Asnawi merupakan seorang dukun yang sudah terbiasa melakukan perjanjian dengan makhluk gaib. Pria yang sudah sangat sepuh itu teramat licik. Pak Asnawi sangatlah jahat, dan tak pernah berpikir ulang untuk setiap tindakannya. Sudah terlalu banyak yang pak Asnawi sesatkan termasuk itu Echa dan mamanya. Keluarga Echa bahkan jadi hanc.ur gara-gara peran pak Asnawi.

Terpopuler

Comments

Firli Putrawan

Firli Putrawan

emang warga oon otak nya g d pake, mudah2 an syukur selamat

2024-04-16

1

Nisa Ramadani

Nisa Ramadani

anak rain sama hasna Atan kah torrr

2024-04-01

0

Dessy Sugiarti

Dessy Sugiarti

Kapan anak Rain si Athan bunuh dukun gila Asnawi...
Lanjut kak...

2024-03-27

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 45 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!