4 : Semua Teka-Teki Akan Dimulai!

“K—kakek ...?” batin Syukur menolak percaya dengan pemikiran refleksnya.

Syukur yang sempat curiga sang kakek merupakan semak-semak berjalan, segera menepisnya. “Bukan! Kakekku bukan orang jahat!” batinnya lagi seiring ia yang ingat adegan ketika sosok semak-semak berjalan itu memengga.l kepala bocah hingga lepas dari tubuh.

“Syukur ....” Suara wanita tak kasatmata, mendadak Syukur dengar seiring angin yang berembus kencang.

Awalnya, Syukur masih dengan sederet pertanyaan di dalam benaknya mengenai semak-semak berjalan. Namun kehebohan suara anak-anak di seberang, membuat Syukur terusik. Anak-anak kampung tampaknya akan melakukan aneka permainan tradisional. Sebagian dari mereka membawa egrang. Ada juga yang membawa bola, selain dua bocah laki-laki yang membawa karung berisi penuh dan entah berisi apa.

Di perkampungan terbilang pelosok Syukur tinggal, anak-anak memang masih banyak yang melakukan permainan tradisional. Mereka terbiasa bermain bersama-sama, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Hanya Syukur saja yang tidak mereka izinkan bergabung, kecuali ... Syukur menuruti syarat tertentu yang mereka ajukan. Sebab bukan rahasia umum. Bahwa salah satu larangan yang tak boleh mereka jalani ialah, jangan dekat-dekat apalagi main dengan Syukur karena Syukur anak kuntilanak!

Seperti biasa, layaknya orang terasingkan, Syukur hanya bisa mengawasi para bocah dan jumlahnya ada dua puluh, dari kejauhan. Mereka tampak sangat seru dengan permainan egrang. Mereka tampak sangat menikmati permainan tanpa terusik oleh hadirnya Syukur di sana dan jelas sangat ingin bergabung.

“Syukur, kamu mau ikut?” tanya salah satu dari mereka.

Syukur yang terbiasa hanya memakai kaus dalam dipadukan dengan celana kolor, segera tersenyum sambil mengangguk. Jiwa anak kecil yang selalu ingin bermain dalam diri seorang Syukur, membuatnya lupa mengenai niatnya memasuki hutan Tua. Syukur ingin bermain bersama teman-temannya. Apa pun syaratnya asal Syukur diperbolehkan ikut bermain, Syukur akan melakukannya.

“Kami haus! Panjat pohon kelapa itu dan ambilah kelapa agar kami bisa meminumnya!” ucap Iman dengan gayanya yang pongah.

Sebagian bocah di sana ada yang langsung tertawa layaknya apa yang Iman lakukan. Mereka menganggap remeh Syukur seperti apa yang telanjur orang tua mereka terapkan. Hingga menganggap remeh Syukur dan harusnya juga mereka takuti, terpatri rapi di pikiran mereka.

Satu-satunya bocah yang langsung tidak setuju ialah Ibrahim. Bocah yang selalu memakai peci hitam itu melarang teman-temannya demi keselamatan bersama.

“Enggak boleh! Syukur bahkan lebih kecil dari kita. Tubuhnya kurus, kalau kenapa-kenapa gimana?” ucap Ibrahim mencoba menjadi penengah.

“Ah, ... apaan sih si Ibra!” ucap Iman. “Syukur itu anak kuntilanak! Dia enggak mungkin kenapa-kenapa karena andai dia akan kenapa-kenapa, mamanya yang kuntilanak pasti akan datang buat nolongin!” ucap bocah hitam bertubuh gempal itu.

“Jadi, kalau aku bisa ambil beberapa kelapa muda, ... aku boleh main sama kalian?” ucap Syukur sengaja memastikan. Ia menatap Iman dan sudah terbiasa mengetuai permainan anak-anak di sana, penuh keseriusan.

Tak lama setelah pertanyaan Syukur, suara wanita tak kasatmata, mendadak kembali terdengar. Namun, Syukur tak mempermasalahkannya. Syukur tetap dengan tekadnya, dan itu ingin bisa bermain dengan anak-anak kampung.

Sebagai anak RT, Iman yang memiliki tubuh besar, memang selalu rakus baik di urusan makanan maupun kekuasaan.

“Iya! Cepat ... cepat. Aku sudah kehausan!” ucap Iman yang memang paling berkeringat ketimbang anak-anak lain.

“Jangan, Kur! Nanti kalau ada apa-apa, kamu juga yang dimarahi. Kasihan kamu dan kakek kamu!” tegas Ibrahim.

“Heh, Ibra cungkring, ... berani kamu larang-larang kemauanku? Enggak lihat kamu badanku segede ini sementara badan kamu hanya seupil?!” hardik Iman.

“Sudah, baik. Aku akan mengambilkan banyak kelapa muda untuk kalian!” ucap Syukur masih menyikapi keadaan dengan sangat tenang.

Mungkin karena jarang bersosialisasi, Syukur memang jadi pribadi yang irit bicara bahkan dingin.

“Syukur ... Syukur ....” Suara perempuan tanpa penampakan tersebut makin sering terdengar oleh Syukur. Syukur tetap tidak mengindahkannya.

Ditataplah pohon kelapa yang menjulang tinggi. Para bocah termasuk Iman dan Ibrahim, sampai harus menengadah hanya untuk menatap pohon kelapa dan menjadi satu-satunya yang berbuah banyak. Pohon itu sangat tinggi dan seharusnya hanya orang dewasa yang bisa memanjatnya. Namun, dengan kepala dan mata mereka sendiri mereka melihat, Syukur yang usianya jauh lebih kecil dari mereka, dengan sangat cekatan sampai di atas. Gerak Syukur dalam memanjat, mengalahkan cecak merayap. Benar-benar tidak terlihat berat.

Satu persatu kelapa muda dijatuhkan oleh Syukur dan itu tanpa bantuan meski sekadar pisau. Sampai akhirnya Syukur turun dan cukup membuka kepala mudanya dengan cara memben.turkan kelapanya ke pohon kelapa. Syukur mempersembahkannya kepada Iman yang jadi terbengong-bengong menatapnya.

Semua bocah mendapatkan jatah kelapa muda, termasuk itu Ibrahim. Ibrahim yang memang paling kalem dari semuanya, juga terbengong-bengong menatap Syukur.

“Si Syukur sakti!” bisik yang lain kepada Iman Ibrahim yang baru akan menerima kelapa mudanya dari Syukur, juga menerimanya.

“Keren banget si Syukur!” bisik kesembilan belas bocah di sana masih sibuk memuji Syukur. Alasan yang juga menjadi rasa iri tumbuh dengan sangat cepat menguasai hati seorang Ibrahim. Namun kemudian, Ibrahim sadar. Bahwa Syukur memang pantas mendapat pujian. Sebab, Syukur yang lebih kecil darinya baik dari segi usia maupun tubuh, bisa memanjat pohon kelapa yang tingginya melebihi dua kali tinggi rumah-rumah di sana. Bahkan untuk sekadar membuat kelapa muda pecah agar mereka bisa meminumnya, Syukur hanya perlu membentu.rkannya dua kali ke pohon kelapa.

“Terima kasih banyak!” ucap Ibrahim dan menjadi satu-satunya yang melakukannya kepada Syukur. Karena dari sembilan belas bocah yang Syukur beri kelapa muda, termasuk itu Iman, tidak ada yang melakukannya.

“Sama-sama, Im!” ucap Syukur antusias melepas kelapa mudanya kepada Ibrahim yang membalasnya dengan senyum ciut. Ibrahim tampak masih takut kepada Syukur. Karena pada kenyataannya, selain menjadi bocah paling alim, Ibrahim juga dikenal sangat penakut.

Ibrahim segera bergabung dengan yang lain. Mereka duduk-duduk di pekarangan bertanah merah dan sudah mirip lapangan. Lokasi yang sebenarnya sudah sangat dekat dengan perbatasan hutan Tua. Itu menjadi lokasi favorit bermain anak-anak di sana. Karena selain tempatnya yang luas, di sana juga adem tidak pernah panas akibat pepohonan besar nan tinggi yang mengelilingi.

Lapangan di sana memang agak jauh dari rumah warga, tapi dekat dengan perkebunan tempat warga bekerja. Jadi, sambil bekerja di kebun, mereka juga sambil memantau anak-anak main.

“Kur, ... sini!” ucap Iman masih berlagak layaknya bos.

Syukur yang awalnya hanya berdiri karena memang tak berani bergabung sebelum dipanggil, segera mendekat. Ia menghampiri Iman yang jadi sibuk tersenyum kemudian melirik keberadaan perbatasan hutan Tua di ujung sana. Diam-diam, Ibrahim yang juga ingin hebat seperti Syukur, menjadi menerka. Namun, Ibrahim yakin, bahwa Iman sudah merencanakan hal yang tak seharusnya dan itu berkaitan dengan hutan Tua sekaligus Syukur.

“Kur, ... kalau kamu bisa masuk ke hutan Tua, kamu berhasil membawa para kurcaci di dalam sana dan selama ini ditakuti warga ...,” ucap Iman sengaja menggantung ucapannya.

“J—jangan! Jangan ke sana!” refleks Ibrahim yang belum apa-apa sudah ketakutan.

“Apaan sih Ibra! Dasar penakut! Atau kalau enggak ... ayo kita sama-sama masuk ke dalam hutan. Ayo kita tangkap para kurcaci yang bikin kita enggak boleh main ke sana, padahal biasanya, di dalam hutan itu banyak pohon buah enak!” sergah Iman marah-marah.

Detik itu juga Syukur ingat, bahwa dirinya harus segera memastikan semak-semak berjalan yang ada di dalam hutan. “Jika semak-semak berjalan itu ada di hutan, berarti dia bukan kakekku karena kakek masih di kebun,” pikir Syukur seiring ia yang menoleh ke belakangnya. Karena di sana, sang kakek nasih sibuk mencangkul.

“Bentar ... andai aku yang membawa kurcaci di dalam hutan Tua, ... pasti aku yang dianggap hebat!” pikir Ibrahim mendadak tertarik untuk masuk ke hutan Tua agar bisa dianggap hebat oleh orang-orang.

Pak Handoyo yang memang masih sibuk mencangkul, mendadak mengalami kejadian kurang mengenakan. Sebab jempol kaki kanannya sampai tercangkul dan berdarah-darah.

“S—Syukur ...,” lirih pak Handoyo. Alih-alih kesakitan, ia malah langsung mengkhawatirkan Syukur. Terlebih setelah ia awasi, di sekitar sana sudah tidak ada cucunya.

Tanpa memedulikan lukanya, pak Handoyo melangkah limbung mencari-cari sang cucu.

“Tadi pamitnya mau main. Apa iya, dia main bareng anak-anak di lapangan sana,” pikir pak Handoyo sembari terus melangkah. Ia berniat memastikan ke lapangan dan memang masih dihiasi belasan bocah. Namun meski dari kejauhan, ia tidak melihat keberadaan sang cucu ada di sana.

Terpopuler

Comments

Firli Putrawan

Firli Putrawan

yah tuh anak-anak nakal emang gt cr perhatian kasian syukur

2024-04-16

2

Liana CyNx Lutfi

Liana CyNx Lutfi

Pasti klo ada apa2 syukur yg disalahkan, kasian syukur serba salah

2024-03-20

0

Rumini Parto Sentono

Rumini Parto Sentono

syukur mending ke pesantren aja sama anak nya Rain, disana mungkin bisa diterima oleh teman teman nya daripada dikampung dikucilkan.

2024-03-20

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 45 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!