Tujuh Belas

“Pegangan, Kur! Kakek gendong!” sergah pak Handoyo. Akan tetapi, Syukur menolak dan memilih lari sendiri.

“Aku enggak mau bikin Kakek cape!” ucap Syukur.

Sambil terus bergandengan tangan, kakek dan cucu itu terus lari. Keduanya menelusuri jalan setapak di pekarangan. Hutan Tua menjadi tujuan keduanya hingga warga yang mengejar makin menjadi-jadi.

Jantung berdetak sangat kencang, napas tersengal-sengal, Syukur dan sang kakek rasa dan memang sangat membuat keduanya tidak nyaman. Namun keduanya sadar, mereka harus secepatnya melarikan diri. Karena lebih cepat mereka kabur masuk ke dalam hutan Tua, makin cepat pula proses keadilan yang akan mereka dapatkan.

“Lihat, lihat mereka sungguh masuk ke dalam hutan Tua!” heboh warga yang mengejar, dan kenyataan tersebut benar-benar membuat pak Yusna senang.

Tak semata karena akhirnya warga makin yakin bahwa kedua orang yang tengah mereka kejar memang pelaku peristiwa mencekam di kampung mereka tinggal. Sebab keputusan pak Handoyo dan Syukur masuk ke dalam hutan Tua, juga membuat pak Yusna tak perlu repot-repot menyeret Syukur ke dalam hutan Tua.

“Aku akan mendapatkan darah Syukur secepatnya!” batin pak Yusna jadi makin bersemangat.

Untuk pertama kalinya, pak Handoyo masuk hutan Tua. Namun di kesempatan kali ini, Syukur sengaja membimbing sang kakek. Sebab sebelumnya, Syukur sudah beberapa kali ke sana. Termasuk itu perjalanan Syukur ketika di mimpi.

Syukur mengingat-ingat mimpinya. Perlahan tapi pasti, ia bahkan merasakan suasana yang sangat mirip dengan suasana di dalam mimpinya. Suasana gelap dan membuatnya dikelilingi kunang-kunang. Yang mana, dari mahkluk terbang berukuran mungil bercahaya itu pula, Syukur melanjutkan langkahnya.

“Ayo, Kek! Ini mirip banget dengan yang ada di mimpiku!” sergah Syukur sangat bersemangat.

“Hah? Mimpi? Sebenarnya Syukur juga indigo, apa gimana? Kok kesannya Syukur serba tahu banget,” pikir pak Handoyo.

Makin lama Syukur mendekati semak-semak di bagian paling samping, makin terdengar jelas pula suara mirip air mancur yang jatuh ke sungai. Aroma segar juga sudah terasa mengiringi embusan angin lengkap dengan rasa dingin.

“Iya, ini beneran mirip yang di mimpi!” batin Syukur sangat tidak sabar. Senyum indah merekah di wajahnya, apalagi ketika akhirnya ia menyibak semak-semak di hadapannya.

Air terjun itu sungguh nyata, persis seperti yang ada di mimpi Syukur. Kemudian, yang langsung Syukur cari ialah sosok wanita yang mengaku sebagai mamanya. Syukur langsung mengawasi sekitar bawah air mancur, tapi di sana tidak ada apa-apa, termasuk juga wanita yang mengaku sebagai mamanya.

Di lain sisi, pak Handoyo malah terusik oleh keberadaan bekas pembakaran kemenyan maupun dupa, lengkap dengan sesajen. “Benar, ini beneran enggak beres. Semoga mas Rain dan polisi segera datang,” batin pak Handoyo yang juga jadi makin deg-degan. Karena adanya mereka apalagi Syukur di sana, sama saja dengan menumbalkan diri.

Syukur melepaskan diri dari sang kakek. Ia melepaskan gandengan mereka. Sambil terus mencari-cari, bibir mungilnya berseru, “Ma ...? Mama ...? Mama di mana?”

Merinding, hati pak Handoyo terenyuh menyaksikan kenyataan kini. Menyaksikan sang cucu mencari-cari mamanya, membuat hati pak Handoyo campur aduk.

“Mama, ... Mama di mana?” seru Syukur makin lama makin sedih. Ia sengaja turun ke sungai dan bermaksud mencari di bawah air sungai. Syukur takut, efek air terjun yang terlalu deras membuat mamanya tak terlihat andai memang ada di sana.

“Syukur, ....” Pak Handoyo tersedu-sedu menyusul sang cucu.

Sementara itu di luar hutan, warga masih menunggu. Mereka bahkan belum mengizinkan pak Yusna dan Ibrahim masuk, meski pal Yusna sudah bersikeras meyakinkan.

“Kita enggak tahu apa yang mereka lakukan di dalam, jangan sampai mereka sudah beraksi dan mengerahkan para ibl is untuk mengganggu kita!” tegas pak Yusna terus mengompor-ngompori warga.

“Bagaimana jika kita menghubungi polisi saja?” usul pak Hamim. “Sebagai ketua RT, saya takut mengambil risiko. Demi keamanan bersama!”

“Kalaupun lapor polisi, pasti ada prosesnya, kan, Pak RT? Kita harus menunggu,” balas pak Yusna.

“Bagaimana jika kita masuk sama-sama saja?” sergah Ibrahim yang sampai detik ini masih diemban.

“Benar!” pak Yusna sibuk mengangguk-angguk membenarkan usul putranya. Karena memang lebih baik segera masuk, daripada ia harus menunda lagi. “Apa lagi kalau memang sudah ada di dalam, aku bisa lebih mudah dalam bertindak!” batinnya.

Akan tetapi, para warga yang di sana, termasuk pak RT, belum apa-apa sudah ketakutan.

“Jujur, saya kurang berani pak Yusna. Apalagi istri saya masih sakit. Istri saya masih sangat butuh saya,” ucap pak Hamim sengaja cari aman. Ia sungguh tidak mau mati konyol hanya karena ikut serta masuk ke dalam hutan.

Para warga di sana juga sepemikiran dengan pak Hamim. Mereka tidak berani masuk ke dalam hutan Tua. Apalagi kini di dalam sana ada pak Handoyo dan Syukur—dua orang yang mereka yakini sebagai dalang dari kejadian mencekam di sana.

“Kalau begitu, ... mending pak Yusna dan Ibrahim dulu yang masuk. Namun jika lebih dari satu jam kalian tidak keluar dari hutan, kami akan segera menyusul!” ucap perwakilan dari warga dan tentu saja langsung membuat pak Yusna lega. Karena memang itu yang pak Yusna mau.

“Baik kalau begitu, ... tolong doakan kami!” sergah pak Yusna yang langsung menjadi pahlawan bagi warga.

Warga termasuk pak Hamim sampai menitikkan air mata hanya karena melepas kepergian pak Yusna dan Ibrahim.

Ibrahim yang awalnya dituntun pak Yusna, perlahan digendong. Padahal sampai sekarang, pak Yusna jalan saja masih pin.cang.

“Akhirnya yang ditunggu-tunggu tiba!” batin pak Yusna.

“Syukur ... akhirnya kamu kalah!” batin Ibrahim.

Di air mancur, Syukur dan pak Handoyo sudah kuyup. Syukur sudah putus asa dan perlahan menunduk pasrah.

“Ayo kita bersembunyi Kur, ... tunggu bantuan datang!” ucap pak Handoyo.

Mau tak mau, Syukur menurut. Ia mengikuti tuntunan sang kakek. Akan tetapi, ada bayang-bayang pantulan putih di air sungai dan setelah ia amati, itu sosok wanita. Wanita itu ternyata ada di atas sana. Jaraknya ada satu meter dari tinggi tubuh Syukur. Kedua kaki wanita itu tak sampai menyentuh permukaan.

“E—Echaaaaa?!” ucap pak Handoyo benar-benar terkejut.

Sosok berpakaian putih tersebut memang Echa, mama Syukur. Echa menatap lurus kedua mata Syukur. Tatapan yang nyaris tak berkedip bahkan meski air mata terus berjatuhan dan sebagiannya nyaris menimpa Syukur.

“Syukur ...,” lirih Echa.

Pak Handoyo yang mengenali wanita di atas mereka memang Echa sang putri, sudah tersedu-sedu. “Chaaa, kenapa kamu begini lagi? Bukankah kamu harusnya sudah tenang?” ucapnya.

Terpopuler

Comments

Firli Putrawan

Firli Putrawan

y allah kasian echa

2024-04-16

1

Dessy Sugiarti

Dessy Sugiarti

Janji Echa klo Bapak sama Anaknya disakitin dy pst Muncul pak Handoyo...
Lanjut kak...
Semangat Update nya...

2024-04-02

0

Yuliana Tunru

Yuliana Tunru

bakal tegang ini smoga polisi dan rain datang biar semua jelas dan tertangkap..asnawi siap2 ya knp jg asnawi blm modar2 jg thorr

2024-04-02

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 45 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!