5 : Yang Ditakutkan Pun Terjadi

“Pasti si Syukur ini, yang ngajak anak-anak masuk hutan Tua!” semua orang tua kembali menyalahkan Syukur. Syukur, dan Syukur, terus begitu. Bahkan meski anak-anak di sana kompak menyebut nama Iman sebagai dalang alasan anak-anak masuk ke Hutan Tua. Yang ada, anak-anak di sana kompak dimarahi.

“Syukur ...!” Hati pak Handoyo hancur. Pria itu memutuskan untuk langsung mencari ke hutan Tua. Sebelum anak-anak melangkah lebih jauh, dan fatalnya ditemukan oleh penjaga hutan.

“Biarkan saya saja yang masuk hutan!” tegas pak Yusna yang melangkah saja tertatih. Sebab selain tangan kanannya diperban, kaki kirinya juga. Namun, ayah dari Ibrahim itu tetap nekat masuk hutan, bahkan meski sang istri melarangnya.

“Ayah baru jatuh dari motor dan luka Ayah saja belum sembuh, Yah!” ucap ibu Rokayah tersedu-sedu. Namun, sang suami yang memang masih sakit, tetap masuk ke dalam hutan.

“Pak Handoyo tunggu saja. Biar saya yang masuk hutan. Apalagi saya lihat, Pak Handoyo penuh luka. Takutnya, darah dari Bapak malah mengusik penunggu hutan yang menang sangat sensiti.f pada aroma darah segar. Mohon doanya saja!” ucap pak Yusna wanti-wanti kepada pak Handoyo.

Demi kebaikan sekaligus keselamatan bersama—begitu kiranya yang pak Yusna tegaskan kepada pak Handoyo. Hingga mereka yang menyimak dan membenarkan anggapan pak Yusna, juga berlomba-lomba mengo.lok-ol.ok pak Handoyo.

“Cari masalah saja si pak Handoyo! Cucu sama kakek, sama saja. Sama-sama berbakat bikin masalah!” ucap ibu Rokayah.

Percaya tak percaya, setelah apa yang ibu Rokayah katakan, angin kencang mendadak berembus. Yang mana detik itu juga, semuanya kompak mengaitkan kejadian tersebut dengan kuntilanak selaku anak pak Handoyo, ibu dari Syukur.

“Ada kuntilanak ... ada kuntilanak!” bisik mereka kompak diam, tak lagi sibuk menghakimi pak Handoyo.

“Ya Allah ... cobaan apa lagi ini ya Allah? Semoga Syukur dan teman-temannya, baik-baik saja ya Allah!” batin pak Handoyo terduduk pasrah di depan perbatasan hutan tua.

Dalam diamnya, pak Handoyo langsung memanjatkan banyak doa untuk keselamatan cucunya.

Di dalam hutan, sebenarnya Syukur dan Ibrahim sudah mengajak yang lain untuk pulang. Toh selain suasana sudah makin gelap, mereka memang tidak menemukan tanda-tanda ada manusia kerdil dan semacamnya. Termasuk semak-semak berjalan, Syukur yang masih merahasiakan itu, juga belum melihatnya.

“Pantang pulang sebelum menemukan bukti!” ucap Iman masih saja keras kepala.

“Kalau begitu, aku mau pulang!” tegas Ibrahim yang kemudian mengajak Syukur untuk pulang. “Ayo kita pulang. Kamu harus menemaniku pulang! Lagian buat apa juga kita di sini. Sudah malam, gelap, dan kita pun enggak izin orang tua kita. Mereka pasti khawatir!”

“Ayo, Iman. Kamu mau pulang, enggak?” sergah Syukur yang setuju dengan cara pikir Ibrahim.

Sebenarnya, dari tampang keempat anak-anak di saba, mereka setuju dengan cara pikir Ibrahim. Akan tetapi, mereka cenderung takut kepada Iman.

“Ya sudah sana. Yang mau pulang, pulang saja. Kalau aku mah mau di sini. Aku mau membuktikan mitos dari orang-orang. Lagian aku juga yakin, mereka pasti juga belum pada tahu, kalau di sini, sampai ada rumah bagus!” ucap Iman.

“Kalau gitu, kita pulang dulu. Kita kabarkan ini ke orang tua kita. Biar nanti, kita bisa ke sini lagi ditemani orang dewasa!” tegas Ibrahim.

“Sudah, sudah, sana kamu pulang! Lama-lama bikin emosi kamu ya Ibra!” kesal Iman.

Ibrahim yang juga tipikal judes, tak bisa kesenggol kata-kata nyelekit, langsung pergi. Hingga keadaan mendadak terbagi jadi dua. Sebab meski yang lain kompak akan berpihak ke Ibrahim, mereka mendadak tak jadi. Lirikan menyeramkan dari Iman menjadi alasannya.

“Ibra, ... tunggu!” seru Syukur sambil mengejar Ibrahim yang telanjur ngambek.

“Dasar tukang ngambek! Dasar anak mami!” sebal Iman tetap tiduran di lantai rumah mereka istirahat.

“Tapi Bos. Bukankah alangkah baiknya kita juga pulang?” ucap Guntur yang sampai detik ini masih memijat-mijat tangan Iman.

“Ngapain kita pulang, kalau orang tua kita saja bakalan ke sini? Percaya deh, orang tua kita pasti nyusul kita ke sini. Apalagi kan anak-anak yang lain, tahu kita masuk hutan. Masa iya, orang tua kita enggak datang buat nyusul anak tersayang?” ucap Iman dan bagi keempat temannya, memang masuk akal.

“Kreket ......”

Dari luar, terdengar ada yang membuka pintu dan itu dilakukan dengan sangat hati-hati.

“Nah kan, ... belum apa-apa sudah balik. Kelakuan Ibra si anak mami memang bikin emosi!” ucap Iman dan disambut tawa oleh keempat temannya dan sampai sekarang, keempatnya masih sibuk memijatnya.

“Ibra tunggu! Kita harus pulang bareng-bareng karena ke sini saja, kita bareng!” tegas Syukur masih mengejar Ibrahim. Sebab bocah itu melangkah dengan sangat buru-buru dan memang efek ngambek.

“Aku enggak suka dengan cara Iman yang terus ngata-ngatain aku, Kur! Dia jahat!” tegas Ibrahim sambil terus melangkah cepat.

“Ya tapikan kasihan kalau sampai kenapa-kenapa,” ucap Syukur yang seketika terdiam sekaligus berhenti melangkah. Sebab dari belakang. Dari rumah yang baru mereka tinggalkan, anak-anak yang mereka tinggal terdengar kompak menjerit sekaligus meminta tolong.

“Im ... Baim! Itu, ... itu kenapa, Im?!” ucap Syukur langsung panik.

Namun, alih-alih mau menyusul ke rumah yang belum lama mereka tinggalkan layaknya arahan Syukur, Ibrahim malah kabur. Ibrahim lari sangat kencang meninggalkan hutan.

“Ini ... ini aku harus bagaimana?” pikir Syukur bingung.

“Syukur ....”

Suara wanita tanpa penampakan, kembali terdengar. Suara yang menjadi alasan Syukur memilih kembali ke rumah di mana Iman dan keempat temannya ada di sana.

Suasana sudah tak seheboh tadi, tapi Syukur malah makin khawatir. Syukur khawatir, alasan di sana sepi efek semuanya sudah mati.

“Apakah semak-semak berjalan itu penyebabnya? Apakah dia telah memenggal setiap kepala teman-temanku?” pikir Syukur tak berani langsung masuk.

Yang Syukur lakukan ialah mengintip dari sela kayu. Suasana malam di sana memang sampai dihiasi lampu sumbu dan sebelumnya sengaja Syukur nyalakan untuk penerang.

Cairan merah Syukur dapati menghiasi lantai kayu di sekitar lampu. Kenyataan yang sudah langsung membuat piiiran Syukur tidak baik-baik saja. Kemudian, kepala Iman. Kepala dari bocah bertubuh gendut itu tak lagi disertai tubuh!

“T—tolong!” suara meminta tolong dari belakang rumah, mengusik Syukur.

Syukur terkejut dan refleks balik badan untuk memastikan. “Semak-semak berjalan!” batin Syukur sungguh menjumpai sosok itu lagi.

Masih ada dua bocah yang berlarian dan tengah dikejar oleh semak-semak berjalan. Lantas, kenapa dari tadi, semak-semak itu, tidak datang? Dan kenapa juga, Ibrahim yang harusnya sudah keluar dari hutan, malah ada di sana?

Terpopuler

Comments

Ida Qurratul 'Ain

Ida Qurratul 'Ain

kayanya yg jadi semak semak berjalan itu pak yusna deh

2024-05-19

0

Firli Putrawan

Firli Putrawan

y allah serem y tar yg d salahin s syukur lg padahal dia yg mau k hutan s iman iih dsr anak

2024-04-16

1

IG : Rosit92❣️❣️🏆🏆💪🤲

IG : Rosit92❣️❣️🏆🏆💪🤲

Mau nulis lanjutannya kok rasanya lemes bnget yaa

2024-03-23

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 45 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!