NovelToon NovelToon

Despair Of Being

Arc 1: SUFFERING; Chapter 1: Buku Harian Livia

~Buku Harian Livia 1~

Hari ini aku berulang tahun yang ke-15, Ayah memberiku sebuah buku tulis dan selusin pena sebagai hadiah, Ibu memasak makanan kesukaan ku dengan porsi besar, dan kami memakannya bersama-sama sambil membicarakan banyak hal. Ada banyak hal yang terjadi dalam satu hari ini, dan aku merasa bahwa hari ini adalah hari terbaik yang tidak akan pernah ku lupakan...

——

"Livia~ jangan tidur terlalu malam."

"Baik Bu–"

Aku menutup buku tulis itu kemudian naik ke atas tempat tidur dan menutup kedua mata ku dengan rapat.

Hari ini, Ayah dan Ibu menemaniku di rumah selama seharian penuh, mereka seakan melupakan pekerjaan mereka dan hanya berfokus kepadaku saja. Tetapi aku tidak membencinya, justru aku sangat menyukainya karena selama ini mereka berdua sangat jarang berada di rumah untuk menemaniku.

"Huh.."

Aku sama sekali tidak bisa tidur, rasa bahagia ini terlalu besar hingga menyelimuti seluruh hati dan pikiranku. Tak sekalipun aku dapat fokus untuk tidur dan berhenti memikirkannya.

Namun, tanpa ku sadari, rasa kantuk mulai menarik pikiranku dan membawaku ke alam mimpi dalam sekejap mata.

"Apa itu?"

Ujarku sambil memiringkan kepala, tampak di hadapanku ada sebuah rumah? Entahlah, apakah itu bisa disebut rumah atau tidak? Sebab bangunan sederhana itu tengah terbakar dan ada banyak bongkahan dan pecahan dinding yang hancur disekelilingnya.

Hanya saja, ketika melihat rumah terbakar itu, aku merasa pernah melihatnya di suatu tempat, tapi di mana aku pernah melihat rumah seperti itu?

Namun, saat aku sadar, langit-langit kamarku telah memenuhi pandangan. Mimpi apa itu barusan? Hal itu sudah cukup untuk membuat ku tidak memikirkan apapun selain rumah terbakar tersebut.

"Livia?"

Aku menoleh ke samping dan menemukan Ibuku yang sedang menatapku dari pintu kamarku dengan kebingungan. Kami saling menatap, entah mengapa aku merasa ada yang aneh dari kontak mata ini.

"Selamat pagi, Ibu..?"

Ibuku termenung sendiri sejenak, kemudian membalas, "Selamat pagi, kita akan sarapan jadi segera bersiap~" Katanya sambil tersenyum.

"Um.." Aku mengangguk.

Perkara rumah terbakar itu akan ku lupakan untuk sementara waktu, sebab ada hal yang lebih penting dari pada hal tersebut yang benar-benar harus aku lakukan.

Ya, aku hanya merapikan tempat tidur dan membasuh wajah saja, setelah bangun tidur aku harus melakukan hal ini terlebih dahulu, sebab jika aku tidak melakukan kedua hal tersebut, sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi.

Aku berjalan ke dapur, sesampainya di sana aku melihat Ibu yang sedang memasak dan Ayah yang sedang duduk santai di meja makan sambil meminum secangkir teh hangat.

"Selamat pagi, Ayah!" Sapaku dengan senyum kecil.

Ayah menoleh ke arahku dan membalas dengan senyuman hangat sambil berkata. "Selamat pagi, Livia." dengan suara tenang yang penuh kasih.

Ibu memasang senyuman diwajahnya saat menyadari kehadiranku di sana. Dengan sigap, Ibu segera menyelesaikan masakannya ketika sudah matang, kemudian menghidangkan semua hasil masakannya di atas meja makan. Ada berbagai jenis makanan di sana, dan semuanya ditata dengan rapi oleh Ibu.

Setelah menunggu beberapa saat, Ibu akhirnya bergabung dengan kami di meja makan. Sehabis berdoa kepada Dewa, kami pun menyantap makanan yang dihidangkan dengan lahap.

Menurutku, keseharian yang biasa seperti ini tidaklah buruk, sebab hidup tanpa masalah adalah yang terbaik. Tetapi, apakah hidup tanpa masalah itu benar-benar ada? Tentu saja hal yang seperti mimpi itu sama sekali tidak ada.

"Hari ini, Ibu dan Ayah akan pergi ke mana?" Aku bertanya kepada Ayah yang sedang menulis diatas secarik kertas.

"Kami akan pergi ke kota Ureia yang berada di sebelah barat. Perjalanannya membutuhkan waktu 2 hari dengan kuda, sedangkan urusan Ayah dan Ibumu sepertinya akan memakan banyak waktu paling banyak 3 hari, setelah itu kami akan pulang." Jawab ayah dengan rinci.

"Begitu ya, semoga perjalanannya dapat berlangsung dengan lancar." Aku berkata sambil tertawa kecil, Ayah melihat itu dan hanya tersenyum, sepertinya ada hal yang mengganggu pikirannya.

Ayah meletakkan pena yang ia pegang di atas meja kemudian menatap lurus padaku, sepertinya Ayah ingin mengutarakan sesuatu yang penting.

"Livia, dengar ya. Ayah dan Ibu akan pergi dari Rumah selama 1 Minggu penuh. Selama waktu itu, kamu sama sekali tidak boleh membuka pintu, jendela, ataupun pintu kecil di atap rumah. Kemudian jika ada orang lain yang mengetuk pintu, kamu sama sekali tidak boleh meresponnya!"

Aku merasa aneh, ada apa dengan Ayah hari ini? Padahal selama ini aku sering di tinggal sendirian di rumah, tetapi baru kali ini Ayah sampai seperti ini menasihati dan memperingatiku.

"Kenapa?" Aku bertanya sambil memiringkan kepala.

Ayah hanya tersenyum saat aku menanyakan hal itu. "Cukup lakukan apa yang Ayah katakan saja, dan jika kamu mencium bau asap, segera keluar dari pintu belakang." Katanya sambil mengelus rambutku dengan tangannya yang hangat.

Yah, Jika Ayah berkata seperti itu aku hanya bisa menurutinya, bagaimana pun semua yang dikatakan oleh Ayah selalu benar.

Waktu berlalu dengan cepat, tidak terasa hari sudah siang. Ayah dan Ibu telah bersiap-siap untuk melakukan perjalanan panjang, mereka membawa berbagai jenis peralatan bertahan hidup dan bahan makanan.

Perlengkapan mereka juga menjadi lebih banyak dari yang biasanya, apa karena perjalanannya lebih panjang dari sebelumnya? Entahlah, aku sama sekali tidak mengerti.

"Livia, jaga dirimu baik-baik." Ibu memelukku dengan erat, seakan-akan diriku akan pergi ke tempat yang jauh dan ia tidak ingin melepaskan ku.

Tetapi, bukankah yang akan pergi itu Ayah dan Ibu? Kenapa adegan ini terasa sangat menyedihkan?

Aku berfikir dengan keras hingga menemukan satu jawaban, mungkin saja Ibu tidak ingin melepaskan pelukannya karena ingin bersamaku lebih lama? Jika sudah pergi, hanya perasaan rindu yang melanda hati.

Ya, pasti seperti itu!

Aku pun membalas pelukan Ibu dengan erat juga, "Ibu juga, jaga diri baik-baik. Livia akan sangat merindukan kalian nantinya." Aku berbisik dengan suara pelan.

Ibu mendengarnya dan memelukku semakin erat, aku merasa sesuatu membasahi punggungku, apa itu?

Yah, karena aku tidak bisa melihatnya, aku pun mengabaikannya dan fokus untuk merasakan kehangatan Ibu yang menenangkan.

Beberapa saat kemudian, Ibu melepaskan pelukannya dan menatapku dengan mata yang sedikit memerah, aku hampir tidak menyadarinya karena bayangan membuat wajahnya terlihat sedikit gelap.

"Sampai jumpa, Livia. Putri kecilku tersayang."

Jantungku berdetak dengan keras, apa itu tadi? Entah mengapa aku merasa tidak ingin mendengar kalimat itu.

"Ah.." Tanpa ku sadari aku melamun.

Saat aku sadar, Ibu dan Ayah telah pergi jauh dan hanya menyisakan bayangan berbentuk manusia di kejauhan.

Apa itu tadi? Entah mengapa dadaku terasa sesak, apa aku merasa tidak enak badan?

Sepertinya aku harus minum air hangat...

Sebagaimana yang diperingati oleh Ayah, aku menutup semua jendela serta pintu yang ada di rumah, kemudian menguncinya dengan rapat. Aku hanya menyisakan lentera di ruang tengah dan mematikan lentera lainya di dalam rumah.

Biasanya aku hanya akan tertidur, melamun, atau membaca buku di kamar Ayah di saat kedua orangtuaku sedang pergi untuk bekerja. Tetapi karena aku sudah memiliki buku harian ku sendiri, aku pun menulis apa yang aku lakukan dalam satu hari ini di dalam buku tersebut untuk mengisi waktu luang.

"Semoga Ayah dan Ibu pulang dengan Selamat."

Arc 1: SUFFERING; Chapter 2: Rasa Takut

Tiga hari berlalu dengan cepat, dan aku hanya menghabiskan waktu dengan menulis di buku harianku seperti biasa. Terkadang aku mencoret kan gambar-gambar aneh yang bahkan aku sendiri tak paham artinya, lalu tenggelam dalam lamunan tentang hal-hal tak masuk akal, seperti langit yang tiba-tiba runtuh.

Untuk makanan, Ibu telah menyiapkan segalanya dengan sangat telaten sebelum ia pergi. Di atas meja kayu di dapur, ada berbagai roti kering, daging asap, dan sup yang diawetkan dengan rempah. Setiap hari aku hanya perlu memanaskan sebagian dari persediaan itu di atas perapian. Ibu bahkan menyusunnya berdasarkan hari, menaruh yang paling cepat basi di bagian depan, dan yang tahan lama di bagian belakang.

Semuanya terasa terlalu tenang... terlalu sepi...

Sejujurnya, aku masih tidak mengerti alasan Ayah melarang ku keluar dari rumah. Selama beberapa hari ini, tak satu pun orang yang datang bahkan sekadar mengetuk pintu. Rasanya seperti rumah ini terputus dari dunia luar, seolah aku hidup di dalam kotak tertutup yang perlahan menggerogoti kewarasanku. Kalau bukan karena teknik melamun ku yang sudah mencapai level dewa, mungkin aku sudah benar-benar kehilangan akal dan menjadi gila!

Kadang aku berbicara sendiri seperti sekarang. Kadang aku melakukan hal-hal aneh hanya untuk mengusir kebosanan, berlari mengelilingi rumah, melompat-lompat di ruang tengah, bahkan menirukan suara-suara aneh hanya untuk memastikan aku masih bisa tertawa. Sesekali juga terlintas keinginan untuk keluar, hanya sebentar, menghirup udara luar.

Tapi, setiap kali aku mendekati pintu dan mengingat pesan Ayah, tubuhku seperti membeku, dan langkahku mundur perlahan. Ada sesuatu yang menahan ku, lebih kuat dari rasa penasaran, mungkin rasa takut, atau firasat buruk yang tak bisa ku jelaskan.

"Langit-langit menjadi gelap, apa ini sudah malam?"

Aku segera meraih batu api dan baja dari atas meja, lalu menyulut api untuk menyalakan lentera seperti biasa. Lentera minyak ini adalah satu-satunya penerangan yang bisa ku gunakan di dalam rumah. Tanpa cahaya darinya, rumah ini akan tenggelam dalam kegelapan pekat—begitu pekat hingga seolah-olah malam itu tak pernah berakhir.

"Huh..."

Aku menghela napas pelan. Sejujurnya, ada sedikit rasa kesal di dadaku. Hampir setiap minggu, Ayah dan Ibu pergi meninggalkanku sendirian di rumah ini, jauh di tengah hutan. Mereka bilang aku masih terlalu kecil untuk ikut. Mereka selalu berkata bahwa aku boleh ikut jika sudah cukup umur, dan itu berarti masih dua tahun lagi, dua tahun lagi sebelum aku menjadi seorang gadis remaja, menurut mereka.

Namun berbeda dengan biasanya, kali ini Ayah melarang ku untuk keluar rumah. Bahkan satu langkah pun tidak boleh. Padahal sebelumnya, mereka hanya bilang untuk menjaga rumah, tanpa larangan yang sekeras ini. Aku sudah berusaha bersabar selama ini, menunggu waktu itu tiba... dan rasanya penantian itu hampir terbayar. Tapi sekarang, segalanya terasa lebih aneh. Lebih sunyi. Lebih menakutkan.

Entah aku sedang berbicara kepada siapa, tapi kalau aku tidak bicara, kalau aku tidak mengeluarkan isi kepalaku, aku rasa aku akan perlahan-lahan kehilangan akal sehatku. Sendirian di rumah selama seminggu penuh... tanpa suara, tanpa wajah lain, hanya suara angin yang merayap pelan di sela-sela kayu dinding.

"Sebaiknya aku makan terlebih dahulu sebelum tidur, kemarin aku tidak sempat makan karena ketiduran." Aku tertawa kecil ketika mengingatnya lagi.

Aku melangkah menuju dapur, hendak mengambil makanan yang telah disiapkan Ibu beberapa hari lalu. Setiap sudut rumah sunyi senyap, hanya suara pijakan kakiku di lantai kayu yang terdengar samar. Namun ketika tanganku hampir meraih penutup wadah makanan...

Tok… tok… tok…

Suara ketukan menggema dari arah pintu.

Tubuhku seketika membeku.

Aku berdiri kaku di tengah dapur, seolah-olah seluruh darah dalam tubuhku mendadak berhenti mengalir. Suara itu begitu nyata, namun terasa asing, ganjil. Jantungku berdetak begitu kencang hingga rasanya memekakkan telinga. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Suara itu... tak seharusnya ada.

"Apa yang harus kulakukan...?" pikirku panik, mulutku bergetar tanpa suara.

Tok… tok… tok…

Suara itu datang lagi. Lambat, tapi keras dan berat. Suara kayu dipukul oleh tangan, atau sesuatu.

Ayah pernah berpesan dengan sangat serius: “Jangan buka pintu, apapun yang terjadi.” Tapi bagaimana bisa aku menahan diri, jika ketukan itu terus menggema… tanpa henti… seolah menuntut?

Tubuhku bergerak sendiri. Aku menjatuhkan diri dan merangkak perlahan ke bawah meja makan, bersembunyi seperti binatang kecil yang diburu.

Rasa takut mulai mencengkeram ku.

Biasanya, tamu akan memanggil, menyapa, atau menyebut nama. Tapi suara ini… hanya ketukan. Dingin. Tanpa suara. Tanpa niat baik.

Tok… tok… tok…

"Sudah berapa lama…?" pikirku, menutup mulutku dengan kedua tangan agar tangisku tak terdengar. "Mengapa ia tidak pergi? Mengapa terus mengetuk? Apa yang ia inginkan dariku…?"

Air mataku menetes di lantai, tapi aku menahan napas kuat-kuat. Aku tahu… jika suara tangisku terdengar, jika aku memberi tanda bahwa aku ada di sini… ia akan mendobrak pintu itu. Dan bila itu terjadi—aku tak yakin bisa selamat.

TOK… TOK… TOK…

Ketukannya semakin keras. Lebih cepat. Lebih bengis. Seolah-olah sesuatu di balik pintu itu sedang mencoba menghancurkan batas antara dunia luar dan tempat perlindunganku. Apakah tangannya tidak sakit? Atau… apakah itu bukan tangan manusia?

Aku meringkuk, tubuhku gemetar hebat. Rasa takut melumpuhkan ku, membuat waktu terasa berhenti.

Dan kemudian… tiba-tiba…

Sunyi.

Suara ketukan itu lenyap. Tak ada suara apa pun. Bahkan suara angin pun seolah menghilang.

“...Sudah berhenti?” bisikku nyaris tak terdengar.

Ketukan itu benar-benar berhenti. Tak ada bunyi apa pun lagi, hanya keheningan yang menyelimuti rumah seperti kabut tebal di pagi buta.

“Apa dia kelelahan...? Atau... sudah pergi...?” pikirku, meski hatiku tak mampu percaya sepenuhnya. Rasa curiga mengendap dalam pikiranku seperti bisikan halus yang merayap.

Pintu rumah ini memiliki sebuah lubang kecil, lubang pengintip yang terletak tepat di tengah pintu. Dari luar, lubang itu tersembunyi, tak tampak sama sekali. Ayah yang membuatnya, katanya agar kami bisa melihat siapa yang datang tanpa terlihat.

Dengan langkah pelan dan napas yang ku tahan, aku mengendap-endap mendekati pintu. Setiap pijakan terasa seperti suara denting logam di dalam keheningan. Jantungku terus berdetak keras, seakan memukul-mukul tulang rusukku dari dalam.

Sesampainya di pintu, aku berdiri tepat di depan lubang kecil itu. Tingginya sejajar dengan mataku, sehingga aku tidak perlu membungkuk atau berjinjit.

Aku menutup sebelah mata… lalu mendekatkan wajahku… dan mengintip.

Pandangan mataku langsung menangkap sosok-sosok yang berdiri di luar.

Beberapa orang, tak ku kenal, berpakaian aneh dan gelap. Masing-masing membawa senjata dipunggung mereka, bentuknya besar, tajam, menyeramkan. Beberapa dari mereka memegang obor yang menyala, api itu memantulkan bayangan menari-nari di wajah mereka yang tak ramah.

Aku mematung. Tubuhku terasa membeku seketika.

Jumlah mereka… sangat banyak.

Lebih dari yang bisa ku hitung. Entah sejak kapan mereka berkumpul di depan rumah ini. Diam. Tak bergerak. Tak satu pun dari mereka mengucapkan sepatah kata. Aku hanya melihat bibir mereka bergerak, tapi tak ada suara yang sampai ke telingaku.

“Aku… tak bisa mendengar mereka…” bisikku dalam hati, seakan berusaha memahami apa yang sedang terjadi.

Namun satu hal pasti, apa pun alasan mereka berada di sini, itu bukanlah sesuatu yang baik.

Aku masih berdiri membeku di depan pintu.

Mataku tak bisa berpaling dari lubang kecil itu. Mereka, orang-orang asing yang membawa senjata dan obor, masih berdiri di sana. Tidak bergerak, tidak bersuara. Seolah-olah mereka tahu aku sedang mengintip. Seolah-olah... mereka sedang menungguku membuka pintu.

Jantungku berdebar begitu kencang hingga suara denyutnya memenuhi kepalaku. Aku tak berani menarik napas dalam-dalam. Takut terdengar. Takut mereka tahu aku ada di sini.

Lalu...

Salah satu dari mereka menoleh. Wajahnya tertutup tudung gelap, tapi aku yakin... matanya menatap lurus ke arah lubang kecil tempatku mengintip.

Aku langsung mundur refleks. Jatuh terduduk dengan tubuh gemetar hebat. Seolah tatapan itu menembus pintu, menembus kulit, dan mencengkeram jiwaku.

Tok.

Satu ketukan. Pelan. Lambat.

Tok.. Tok.. Tok..

Kembali lagi. Suaranya tak terlalu keras, tapi ada sesuatu yang sangat tidak wajar. Bukan seperti orang yang meminta izin masuk, lebih seperti... seseorang yang ingin menyiksa lebih dulu lewat suara.

TOK.. TOK.. TOK..

Tiba-tiba ketukan berubah menjadi hantaman. Menggelegar. Seakan tangan itu sudah bukan mengetuk, melainkan memukul pintu dengan sesuatu yang berat. Kayu pintu bergetar. Debu halus runtuh dari langit-langit.

Aku menjerit dalam hati. Tanganku refleks menutup mulut sendiri, kuat-kuat, menahan suara agar tak keluar.

“Jangan bersuara... jangan bergerak... jangan bernapas...!!”

Kepalaku dipenuhi suara Ayah. Pesannya terngiang terus, mengalahkan segalanya.

DOOOR!

Suara hantaman keras membuatku melompat dari tempatku duduk. Suaranya bukan lagi ketukan, tapi seperti seseorang menabrak pintu dengan seluruh tubuhnya. Pintu itu menjerit, bunyi engselnya meringkih, seakan siap copot dari tempatnya.

Aku berlari ke bawah meja, tubuhku mengecil sekecil mungkin. Suhu di dalam rumah terasa menurun drastis. Ujung jemariku dingin. Napas ku tersengal, terputus-putus.

Lalu tiba-tiba...

Semua suara berhenti.

Keheningan yang datang begitu tiba-tiba itu jauh lebih menakutkan daripada ketukan keras tadi. Sunyi. Hampa. Seolah dunia terhenti... atau sesuatu sedang mengintai dalam diam.

Aku tak tahu sudah berapa lama aku bersembunyi. Detik terasa seperti menit. Menit terasa seperti jam.

Dan kemudian…

Sesuatu menempel di jendela depan. Itu adalah satu-satunya jendela yang memiliki kaca di rumah ini.

Suara napas. Lembab. Panjang. Berat.

Aku menoleh perlahan.

Di balik kaca yang buram oleh embun dan debu, tampak bayangan wajah. Terlalu dekat. Terlalu besar. Diam saja di sana.

Aku tak bisa menjerit. Suara tercekat di tenggorokan.

Dan dalam keheningan itu... mataku bertemu dengan mata yang menatap dari luar.

Mata itu tersenyum.

"!!!"

Napas ku berhenti, dunia seakan tenggelam, mata itu bagaikan mimpi buruk yang menghantui pikiranku.

Di saat aku tenggelam oleh rasa takut, tiba-tiba hidungku menangkap bau aneh, tajam, menyengat, seperti kayu yang terbakar. Asap halus mulai merayap di udara, menyusup ke dalam rumah. Dari mana asalnya bau ini? Dan… kenapa suhu di dalam rumah terasa makin panas?

Saat kesadaranku akhirnya terkumpul, pandanganku tertarik ke atas. Api. Lidah api menari liar di atas kepalaku, menjilat atap rumah.

“Mustahil… Sejak kapan—?!”

Tidak ada waktu untuk terkejut. Tidak ada ruang untuk kebingungan. Dengan panik namun sebisa mungkin tanpa menimbulkan suara, aku berlari menuju pintu belakang—seperti yang Ayah katakan.

Tapi apinya... terlalu cepat. Api itu tidak bergerak seperti kebakaran biasa. Ia menyebar seperti makhluk hidup yang lapar—menggulung dinding, menelan kayu, dan mendesis ganas. Seolah-olah rumah ini disiram minyak sebelum dibakar.

Saat aku tiba di dapur, setengah ruangan itu sudah menjadi neraka. Api membara dari lantai hingga langit-langit. Panasnya menyengat kulit, membakar udara yang ku hirup. Syukurlah, pintu belakang di rumah ini tidak hanya satu.

Tanpa berpikir panjang, aku berbalik dan berlari menuju kamar Ayah dan Ibu. Di sana ada pintu lain—langsung mengarah ke luar. Pintu itu besar dan mudah terlihat, tapi aku tidak punya pilihan lain.

Namun, saat hendak menarik gagangnya...

“Tidak bisa dibuka?!”

Aku menariknya lagi, lebih keras. Tak bergerak.

“Macet?! Atau—”

Aku mengintip dari lubang kunci... dan kesadaran menghantam ku seperti palu. Pintu itu terkunci.

Dan akulah yang menguncinya.

Tubuhku gemetar. Api terus mendekat, suara kayu retak dan ambruk membuatku hampir menangis. Kuncinya... harusnya ada di sini. Dengan tangan gemetar dan napas terbata, aku membongkar laci demi laci, mengobrak-abrik lemari, menjatuhkan pakaian ke lantai.

“Di mana... Di mana kuncinya?! Kumohon! Kumohon, tunjukkan dirimu...!”

Suara bisikanku nyaris tak terdengar, tapi di dalam hatiku aku sudah menjerit.

Dan akhirnya, di balik tumpukan kain yang terbakar di ujungnya, aku menemukannya... kunci!

Tapi ketika aku berbalik, api sudah merambat ke ujung karpet, masuk ke ruangan ini, menjilati pintu.

Aku tak sempat berpikir. Segera ku selipkan kunci ke dalam lubang dan memutarnya secepat mungkin.

Klik!

Pintu terbuka!

Aku menyambar kenop dan menerobos keluar, tubuhku terseret oleh kepanikan. Aku berlari. Dan terus berlari. Tanpa arah, tanpa tujuan. Nafasku kasar, dadaku terasa seperti diremas. Tapi aku tidak boleh berhenti. Tidak sekarang. Tidak ketika mereka mungkin mengejar ku.

“Kenapa...? Kenapa ini terjadi...?” Suara itu hanya bergema di dalam pikiranku, teredam oleh raungan darah di telinga.

Ayah telah memperingatkan ku. Tapi... ini terlalu kejam. Terlalu cepat. Terlalu nyata.

Apa mereka... membalaskan dendam? Apa Ayah dan Ibu menyakiti orang jahat? Apa... mereka tidak akan pernah kembali?

“Haaah... Haaah... Haaah...”

Sakit. Nafasku terbakar di dada. Tapi aku terus berlari, menembus dingin malam dan gelap hutan.

Jika aku berhenti, mereka akan menangkap ku!

Jika aku menangis, mereka akan menemukanku...

“Ayah... Ibu... kumohon... semoga kalian selamat...”

Langkahku terpincang, pandanganku mulai buram, tapi aku tidak akan menyerah. Tidak di sini. Tidak malam ini!

Arc 1: SUFFERING; Chapter 3: Budak

Hari itu sangatlah menakutkan, aku tidak tahu harus berbuat apa saat mereka membakar rumah, jadi aku hanya bisa berlari dan terus berlari seperti seorang pengecut yang meninggalkan tanggung jawabnya.

Meski aku ingin melawan sekalipun, aku tidak bisa berbuat apa-apa karena aku masihlah anak-anak.

Udara dingin dan langit yang gelap, sampai kapan keadaan menyiksa ini akan terus berlanjut? Tubuhku sama sekali tidak dapat digerakkan, mulut ini pun sudah kering dan kaku. Apa aku akan berakhir di tempat seperti ini?

...****************...

Saat aku membuka mata, cahaya matahari yang begitu cerah menerpa wajahku yang dingin, aku bertanya-tanya di dalam kepalaku tentang bagaimana semua ini bisa terjadi? Semuanya terlalu mendadak, kepalaku sama sekali tidak dapat mencerna apa yang telah terjadi beberapa waktu lalu.

"Huh..?"

Sepertinya aku baru saja berhalusinasi, yang menerpa wajahku sama sekali bukanlah cahaya matahari, melainkan sebuah lentera yang digantung tepat di atas wajahku.

Mataku melirik ke sekitar, ini adalah ruangan yang sangat asing bagiku, terlebih lagi aku sama sekali tidak sendiri di dalam sini.

Ketika aku mencoba untuk bangun, aku merasa sesuatu benda yang aneh telah memperberat leher dan kedua tanganku untuk digerakkan, belum lagi benda-benda aneh itu dihubungkan oleh rantai yang cukup besar.

"Ini.."

Aku sama sekali tidak tahu apa yang telah dikenakan pada leher dan kedua tanganku.

"To-tolong jangan aku!! Tidaaakk!!"

Secara tiba-tiba aku mendengar suara teriakan seorang gadis dari ruangan lain, aku tidak tahu mengapa ia berteriak, namun hal yang membuatku terpaku selama beberapa detik adalah, kenyataan bahwa aku bersama beberapa orang anak lainnya telah dikurung di dalam sebuah penjara.

Aku tahu ruangan ini penjara sebab ayah pernah menjelaskan kepadaku bahwa semua penjahat akan di kurung di dalam penjara sebelum diadili. Saat itu ayah menggambar jeruji besi pada selembar kertas, dan itu sangatlah mirip dengan apa yang aku lihat sekarang.

Plakk!!*

Suara tamparan yang sangat keras terdengar, hal tersebut menyadarkan ku dari lamunan sementara.

"Jangan berteriak kepadaku, dasar budak!!" Kata-kata itu berasal dari seorang pria bertubuh besar yang cukup kekar.

"Kalau kau tidak mau diperlakukan dengan baik, maka akan kulakukan dengan cara sebaliknya!"

Sesaat setelah pria itu membentak, suara teriakan kesakitan seorang gadis pun terdengar disepanjang lorong tempat mereka berjalan, aku mendengar suara itu semakin dekat setiap saatnya.

Ketika mereka lewat di depan penjara yang mengurung ku, aku dapat melihat pria bertubuh besar itu dengan jelas. Di tangannya ia memegang rantai yang cukup besar, itu terlihat sama dengan apa yang terpasang di tubuhku saat ini.

Pria itu seakan sedang menarik sesuatu saat memegang rantai tersebut, karena lorong yang terlalu gelap aku tidak dapat melihatnya dengan jelas.

Namun saat pria itu sudah hampir melewati penjara ini, terlihat seorang gadis 17 tahun dengan pakaian lusuh sedang memegang sesuatu di lehernya sambil berteriak, gadis itu terseret di lantai dan terus ditarik dengan kasar oleh pria di depan sana.

Tubuhku bergetar dan nafasku terasa sesak, apa yang baru saja ku lihat? Itu sangat menyeramkan! Bagaimana bisa mereka memperlakukan seseorang dengan cara yang sangat buruk seperti itu? Apa suatu saat aku akan diperlakukan dengan cara yang sama? Apa rantai ini dipasangkan dengan tujuan seperti itu?

Di saat aku sedang hanyut dalam pemikiran buruk yang tiada habisnya, seseorang memegang pundak ku dari belakang dengan lembut, tangannya kecil dan terasa agak kasar.

Ketika aku menoleh kebelakang, aku dapat melihat seorang gadis berambut pendek yang menatapku dengan lembut.

"Jangan takut, kau akan kehilangan akal jika terus memikirkannya." Gadis itu berkata dengan suara yang lemah.

Aku tidak tahu harus berkata apa di situasi itu, dengan senyuman hangat ia mengelus kepalaku kemudian berkata. "Aku akan menemani mu, ok? Jadi, jangan takut dan atur pernapasan mu."

Suaranya begitu halus dan menenangkan. Aku tidak tahu dia siapa, tapi melalui ekspresinya aku tahu bahwa dia sudah cukup lama berada di tempat ini.

"Namaku Grace, aku sudah cukup lama berada di tempat ini, jadi jangan terlalu kaku saat berbicara dengan ku, ok?" Ia berkata dengan senyum kecil diwajahnya.

Meski aku belum mengenalnya terlalu dekat, melalui cara perkenalannya ini aku tahu bahwa ia adalah orang baik, namun tidak sepenuhnya seperti itu.

"Li-livia.."

Lidahku masih terlalu sulit untuk digerakkan, sepertinya aku akan kesulitan untuk berbicara selama beberapa waktu.

"Livia? Apa itu namamu?" Ia bertanya, dan aku hanya dapat mengangguk untuk menjawab pertanyaannya.

"Nama yang indah! Sangat cocok dengan wajahmu yang begitu cantik." Ujarnya, "Tetapi, di tempat ini kecantikan adalah sebuah kutukan, sebaiknya kau menutupi wajahmu yang seperti bidadari itu dengan lumpur." Katanya sambil menatapku dengan serius.

"Ke-na-pa?" Aku memiringkan kepala karena merasa heran.

"Kau akan menjadi seperti gadis tadi jika berwajah cantik." Jelasnya dengan singkat, hingga membuatku merinding dan terdiam di tempat.

"Me-mengapa?" Aku bertanya.

"Karena kita adalah budak, sebagian orang diluar sana menginginkan budak yang cantik untuk dijadikan mainan, jadi selama kau jelek maka kau tidak akan diperlakukan seperti tadi." Jelas Grace dengan senyum masam.

"Mainan?" Aku memiringkan kepala.

"Ah.. jadi kau termasuk gadis yang masih polos yah-" Dia menggumamkan hal aneh yang sama sekali tidak ku mengerti.

Grace menatapku kemudian mengangguk,

"Maksudku berkata akan dijadikan mainan adalah, kau tidak akan dapat hidup dengan tenang jika mereka mengambil mu, setiap harimu akan dipenuhi dengan rasa takut." Ucapnya dengan ekspresi jelek.

Yah, kurang lebih aku mengerti maksud ucapannya. Jika mereka mengambilku maka pada saat itu aku sudah berakhir.

"Mati?" Aku bertanya.

"Em.. kau tidak akan langsung mati tapi, yah~ pada akhirnya juga akan menjadi seperti itu." Ucapnya dengan begitu mudah.

"Kalau begitu..."

Grace menatapku yang kebingungan dengan rumit, aku tidak mengerti mengapa ia memasang wajah seperti itu.

Tanpa berkata sepatah katapun gadis itu langsung menarik ku ke sudut ruangan. Di sana ada sedikit air yang menggenang di atas tanah.

"Air itu berasal dari hujan yang menembus atap ruangan ini, hampir keseluruhan atap ruangan ini berlubang jadi aku selalu kesulitan di buatnya." Grace menggeleng karena tidak ingin mengingat masa lalu. "Tetapi, berkat itu kita dapat menutupi wajah kita jadi tidak semua hal selalu berdampak buruk, pasti akan ada sedikit keuntungan yang terselip." Lanjutnya.

Grace mengambil sedikit air dengan tangannya kemudian membasahi tanah yang tak jauh dari genangan itu

Tanah yang sudah basah di ambilnya, kemudian didekatkan pada wajahku.

"Tutup matamu Livia, ini tidak lama jadi bertahanlah untuk sementara waktu sampai lumpur ini mengering di wajahmu."

Setelah ia mengatakan hal tersebut, aku menutup kedua mataku kemudian Grace segera menggosok lumpur itu ke wajahku dengan perlahan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!