~Buku Harian Livia 1~
Hari ini aku berulang tahun yang ke-15, Ayah memberiku sebuah buku tulis dan selusin pena sebagai hadiah, Ibu memasak makanan kesukaan ku dengan porsi besar, dan kami memakannya bersama-sama sambil membicarakan banyak hal. Ada banyak hal yang terjadi dalam satu hari ini, dan aku merasa bahwa hari ini adalah hari terbaik yang tidak akan pernah ku lupakan...
——
"Livia~ jangan tidur terlalu malam."
"Baik Bu–"
Aku menutup buku tulis itu kemudian naik ke atas tempat tidur dan menutup kedua mata ku dengan rapat.
Hari ini Ayah dan Ibu menemaniku di rumah selama seharian penuh, mereka seakan melupakan pekerjaan mereka dan hanya berfokus kepadaku saja. Tetapi aku tidak membencinya, justru aku sangat menyukainya karena selama ini mereka berdua sangat jarang berada di rumah untuk menemaniku.
Huh.. aku sama sekali tidak dapat tidur, rasa bahagia ini terlalu besar hingga menyelimuti seluruh hati dan pikiranku. Tak sekalipun aku dapat fokus untuk tidur dan berhenti berfikir.
Namun tanpa ku sadari, rasa kantuk secara perlahan mulai menyelimuti pikiranku dan membawaku ke alam mimpi dalam sekejap mata.
"Apa itu?"
Ujarku sambil memiringkan kepala, tampak di hadapanku ada sebuah rumah? Entahlah apa itu bisa disebut rumah atau tidak, sebab bangunan sederhana itu tengah terbakar dan ada banyak bongkahan dan pecahan dinding yang hancur disekelilingnya.
Entah mengapa ketika melihat rumah terbakar itu aku merasa pernah melihatnya di suatu tempat, di mana aku pernah melihat rumah seperti itu?
Namun saat aku sadar langit-langit kamarku telah memenuhi pandangan, mimpi apa itu barusan? Hal itu sudah cukup untuk membuat ku tidak memikirkan apapun selain rumah terbakar tersebut.
"Livia?"
Aku menoleh ke samping dan menemukan Ibuku yang sedang menatapku dari pintu kamarku dengan kebingungan. Kami saling menatap, entah mengapa aku merasa ada yang aneh dari kontak mata ini.
"Selamat pagi, Ibu-"
Ibuku termenung sendiri sejenak kemudian membalas. "Selamat pagi, kita akan segera sarapan jadi segera bersiap~" Katanya sambil tersenyum.
"Um.." Aku mengangguk.
Perkara rumah terbakar itu akan ku lupakan untuk sementara waktu, sebab ada hal yang lebih penting dari pada hal tersebut yang benar-benar harus aku lakukan.
Yah, aku hanya merapikan tempat tidur dan membasuh wajah saja, setelah bangun tidur aku harus melakukan hal ini terlebih dahulu, sebab jika aku tidak melakukan kedua hal tersebut, sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi.
Aku berjalan ke dapur, sesampainya di sana aku melihat Ibu yang sedang memasak dan Ayah yang sedang duduk santai di meja makan sambil meminum secangkir teh hangat.
"Selamat pagi, Ayah." Sapaku dengan senyum kecil.
Ayah menoleh ke arahku dan membalas dengan senyuman hangat sambil berkata. "Selamat pagi, Livia." dengan suara yang penuh kasih.
Ibu memasang senyuman diwajahnya saat menyadari kehadiranku di sana, dengan sigap Ibu segera menyelesaikan masakannya ketika sudah matang, kemudian menghidangkan semua hasil masakannya di atas meja makan, ada berbagai jenis makanan di sana dan semuanya ditata dengan rapi oleh Ibu.
Setelah menunggu beberapa saat Ibu akhirnya bergabung dengan kami di meja makan, sehabis berdoa kepada Dewa kami pun menyantap makanan yang dihidangkan dengan lahap.
Menurutku keseharian yang biasa seperti ini tidaklah buruk, sebab hidup tanpa masalah adalah yang terbaik. Tetapi, apakah hidup tanpa masalah itu benar-benar ada? Tentu saja hal yang seperti mimpi itu sama sekali tidak ada.
"Hari ini, Ibu dan Ayah akan pergi ke mana?" Aku bertanya kepada Ayah yang sedang menulis diatas secarik kertas.
"Kami akan pergi ke kota Ureia yang berada di sebelah barat. Perjalanannya membutuhkan waktu 2 hari dengan kuda, sedangkan urusan Ayah dan Ibumu sepertinya akan memakan banyak waktu paling banyak 3 hari, setelah itu kami akan pulang." Jawab ayah dengan rinci.
"Begitu ya, semoga perjalanannya dapat berlangsung dengan baik." Aku berkata sambil tertawa kecil, Ayah melihat itu dan hanya tersenyum, sepertinya ada hal yang mengganggu pikirannya.
Ayah meletakkan pena yang ia pegang di atas meja kemudian menatap lurus padaku, sepertinya Ayah ingin mengutarakan sesuatu yang penting.
"Livia, dengar ya. Ayah dan Ibu akan pergi dari Rumah selama 1 Minggu penuh. Selama itu, kamu sama sekali tidak boleh membuka pintu, jendela, ataupun pintu kecil di atap rumah. Kemudian jika ada orang lain yang mengetuk pintu kamu sama sekali tidak boleh meresponnya."
Aku merasa aneh, ada apa dengan Ayah hari ini? Padahal selama ini aku sering di tinggal sendirian di rumah, tetapi baru kali ini Ayah sampai seperti ini menasihati dan memperingati ku.
"Kenapa?" Aku bertanya sambil memiringkan kepala.
Ayah hanya tersenyum saat aku menanyakan hal itu. "Cukup lakukan apa yang Ayah katakan saja, dan jika kamu mencium bau asap, segera keluar dari pintu belakang." Katanya sambil mengelus rambutku dengan tangannya yang hangat.
Yah, Jika Ayah berkata seperti itu aku hanya bisa menurutinya, bagaimana pun semua yang dikatakan oleh Ayah selalu benar.
Waktu berlalu dengan cepat, tidak terasa hari sudah siang. Ayah dan Ibu telah bersiap-siap untuk melakukan perjalanan panjang, mereka membawa berbagai jenis peralatan bertahan hidup dan bahan makanan.
Perlengkapan mereka juga menjadi lebih banyak dari yang biasanya, apa karena perjalanannya lebih panjang dari sebelumnya? Entahlah, aku sama sekali tidak mengerti.
"Livia, jaga dirimu baik-baik." Ibu memelukku dengan erat, seakan diriku akan pergi ke tempat yang jauh dan ia tidak ingin melepaskannya.
Tetapi, bukankah yang akan pergi itu Ayah dan Ibu? Kenapa adegan ini terasa sangat menyedihkan?
Aku berfikir dengan keras hingga menemukan satu jawaban, mungkin saja Ibu tidak ingin melepaskan pelukannya karena ingin bersamaku lebih lama? Jika sudah pergi maka hanya perasaan rindu yang akan melanda hati.
Ya, pasti seperti itu.
Aku pun membalas pelukan Ibu dengan erat juga, "Ibu juga, jaga diri baik-baik. Livia akan sangat merindukan kalian nantinya." Aku berbisik dengan suara pelan.
Ibu mendengarnya dan memelukku dengan semakin erat, aku merasa sesuatu membasahi punggungku, apa itu?
Yah karena aku tidak bisa melihatnya, aku pun mengabaikannya dan fokus untuk merasakan kehangatan Ibu yang menenangkan.
Beberapa saat kemudian Ibu melepaskan pelukannya dan menatapku dengan mata yang sedikit memerah, aku hampir tidak menyadarinya karena bayangan membuat tempat itu sedikit gelap.
"Sampai jumpa, Livia. Putri kecilku tersayang."
Jantungku berdetak dengan keras, apa itu tadi? Entah mengapa aku merasa tidak ingin mendengar kalimat itu.
"Ah.." Tanpa ku sadari aku melamun.
Saat aku sadar, Ibu dan Ayah telah pergi jauh dan hanya menyisakan bayangan berbentuk manusia di kejauhan.
Apa itu tadi? Entah mengapa dadaku terasa sesak, apa aku merasa tidak enak badan? Sepertinya aku harus minum air hangat.
Seperti apa yang diperingati oleh Ayah, aku menutup semua jendela serta pintu yang ada di rumah kemudian menguncinya dengan rapat. Aku hanya menyisakan lentera di ruang tengah dan mematikan lentera lainya di dalam rumah.
Biasanya aku hanya akan tertidur, melamun, atau membaca buku di kamar Ayah di saat kedua orangtuaku sedang pergi untuk bekerja. Tetapi karena aku telah memiliki buku harian ku sendiri, aku pun menulis apa yang aku lakukan dalam satu hari ini di dalam buku tersebut, untuk mengisi waktu luang.
"Semoga Ayah dan Ibu pulang dengan Selamat."
Jika tidak salah, 3 hari sudah berlalu dan aku hanya menulis di buku harian ku seperti biasanya. Terkadang aku menggambar hal-hal tidak jelas, dan melamunkan berbagai kejadian yang tidak masuk akal.
Untuk makanan ada banyak, Ibu telah menyiapkan berbagai jenis makanan yang akan bertahan selama seminggu penuh, ia bahkan telah menandainya seperti mana yang harus dimakan hari ini dan mana yang harus di makan untuk besok atau lusa.
Sejujurnya aku sama sekali tidak mengerti tentang apa alasan Ayah melarang ku untuk pergi keluar dari rumah. Selama beberapa hari ini, tidak seorang pun datang ke rumah dan mengetuk pintu. Kalau bukan karena teknik melamun ku yang mencapai level maksimal, sudah dipastikan aku akan menjadi gila seketika karena tidak berinteraksi dengan siapapun selama beberapa hari.
Terkadang aku berbicara sendiri seperti saat ini, terkadang aku melakukan hal-hal aneh seperti berlari mengelilingi rumah dan melompat-lompat tidak jelas di ruang tengah. Terkadang aku juga berfikir untuk keluar dari rumah meski hanya sebentar, tetapi saat mengingat pesan dari ayah, aku langsung mengurungkan niat ku dan menjauh dari pintu rumah.
"Langit-langit menjadi gelap, apa ini sudah malam?" Gumam ku.
Dengan segera aku langsung mengambil korek diatas meja, kemudian menyalakan api untuk menghidupkan Lentera seperti biasanya. Lentera ini merupakan salah satu-satunya penerangan yang bisa ku gunakan di dalam rumah, jika aku tidak menyalakannya maka rumah ini akan menjadi sangat gelap.
"Huh.."
Sebenarnya aku merasa sangat bosan karena hampir setiap minggunya Ayah dan Ibu pergi meninggalkan ku sendirian di rumah. Mereka tidak ingin membawaku karena masih terlalu kecil, mereka baru mengizinkan ku untuk ikut jika sudah remaja dan butuh 2 tahun lagi agar aku seutuhnya menjadi gadis remaja.
Baru kali ini Ayah menyuruhku untuk tidak keluar dari rumah, padahal sebelumnya sama sekali tidak seperti ini. Selama ini aku selalu bersabar dan sepertinya penantian tersebut akan segera berakhir dalam dua tahun.
Entah aku berbicara kepada siapa tetapi, kalau tidak seperti ini aku akan menjadi gila karena harus sendirian di dalam rumah selama satu minggu penuh.
"Sebaiknya aku makan terlebih dahulu sebelum tidur, kemarin aku tidak sempat makan karena ketiduran." Aku tertawa kecil.
Dengan malas aku berjalan ke dapur untuk mengambil makanan yang telah disiapkan oleh Ibu berhari-hari yang lalu.
Pada saat itu.
Tok..tok..tok..
Seseorang mengetuk pintu rumah, aku yang berada di dapur pun terdiam membeku karena sangat terkejut, aku tidak tahu harus berbuat apa dan bertanya-tanya di dalam hati mengenai kejadian ini.
"Apa yang harus aku lakukan?!" Aku masih terdiam seperti patung karena terlalu syok.
Tok..tok..tok...
Ayah berpesan untuk tidak merespon ketukan pintu, tetapi bagaimana caranya agar aku dapat menahan diri jika tamunya terus mengetuk pintu dengan sangat keras? Hal tersebut membuat ku panik hingga membuat otakku secara refleks menggerakkan tubuh untuk bersembunyi dibawah meja makan.
Aku sangat ketakutan, biasanya jika seseorang datang untuk bertamu mereka akan mengetuk sambil mengeluarkan suara untuk memanggil pemilik rumah. Namun, seseorang yang mengetuk pintu rumah ku terus-menerus mengetuk pintu rumah tanpa mengeluarkan suaranya sama sekali.
Tok..Tok..Tok..
"Sudah berapa lama ia mengetuk seperti itu? Apa aku harus membuka pintunya? Mengapa ia tidak mau berhenti? Mengapa ia tidak pergi saja? Aku takut, sangat menakutkan! Ayah..."
Air mataku menetes, namun aku harus menahan suara tangisanku agar tidak terdengar. Jika semisal seseorang yang mengetuk pintu rumah mendengar suara tangisan ku, dia pasti akan langsung mendobraknya dan sesuatu yang buruk akan terjadi!
TOK..TOK..TOK...
Aku tidak tahu sudah berapa lama ia mengetuk pintu, apa tangannya sama sekali tidak terasa sakit? Terlebih lagi dia mengetuk dengan sangat keras, aku harap ia segera pergi dari sini.
Di saat aku sudah pasrah dan tidak tahu harus berbuat apa, secara tiba-tiba suara ketukan itu menghilang.
"Sudah berhenti?" Aku berbisik dengan suara yang sangat pelan.
Ketukan itu benar-benar berhenti, apa dia sudah kelelahan atau semacamnya? Aku mulai bertanya-tanya di dalam hati.
Sebenarnya pintu rumah ini memiliki sebuah lubang yang sangat kecil untuk mengintip seseorang yang berada persis di depan pintu, posisinya berada di tengah-tengah dan tidak terlihat jika dari luar.
Aku pergi menuju pintu dengan mengendap-endap, berusaha agar suara sekecil apapun tidak terdengar ketika aku berjalan dengan sangat perlahan.
Tinggi lubang ini sama persis dengan mata ku, berkatnya aku tidak perlu menunduk ataupun jinjit untuk mengintip keluar.
Ketika aku menutup sebelah mata dan mulai memfokuskan pandangan ku pada lubang tersebut, tampaklah beberapa orang berpakaian aneh yang membawa banyak senjata dipunggung mereka, beberapa dari mereka juga membawa obor.
Aku mematung di depan pintu, siapa sangka jumlah mereka akan menjadi sangat banyak
"Aku sama sekali tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan..."
Di saat aku sedang fokus memperhatikan orang-orang asing itu, aku mencium bau aneh yang berbau seperti kayu terbakar, dari mana asalnya itu? Juga, entah mengapa aku merasa udara di rumah ini semakin panas.
Saat aku menyadarinya, atap rumah ku telah terbakar dengan sangat hebat.
"Mustahil, sejak kapan-?!"
Tidak ada waktu untuk berdiam diri, dengan sigap aku langsung berlari menuju pintu belakang sesuai dengan arahan dari Ayah, tentu aku berusaha agar suara langkah kakiku tidak terdengar keluar.
Penyebaran apinya sangatlah cepat, mengapa bisa secepat itu? Apakah mereka menggunakan minyak tanah sebagai pemicu kebakarannya?
Ketika aku sampai di dapur, setengah dari ruangan itu telah ditelan oleh api yang membara, beruntung pintu belakang rumah ini tidak hanya satu.
Aku langsung berlari menuju kamar Ayah dan Ibu, di sana ada sebuah pintu yang mengarah langsung keluar rumah, meski tampak mencolok namun aku tidak memiliki pilihan lain selain keluar melalui pintu ini.
Ketika aku ingin membuka pintu, aku sama sekali tidak dapat menariknya meski sudah mengeluarkan segenap tenagaku.
"Mengapa? Apa ini sedang macet?" Aku mengintip dari lubang kuncinya.
Ternyata pintu itu dikunci, betapa bodohnya diriku padahal aku sendiri yang menguncinya.
Seingatku kuncinya ada di ruangan ini juga, aku membuka laci-laci di kamar itu dengan terburu-buru sebab api akan segera menjalar keruangan ini dan membakar semuanya hingga hangus!
"Di mana, di mana kuncinya? Kumohon, kumohon tunjukkan dirimu!" Aku bergumam dengan suara kecil.
Setelah di laci aku mencarinya di lemari dan membongkar satu persatu pakaian dari dalam sana, hingga akhirnya menemukan kunci pintu yang sudah aku cari sejak tadi.
"Cepat sekali!" Ujarku dengan kaget saat melihat api yang sudah merambat masuk ke dalam ruangan ini.
Dengan segera aku langsung membuka pintu tersebut kemudian keluar dengan terburu-buru sambil terus berlari tanpa arah tujuan. Aku sama sekali tidak memperlambat langkah ku, meskipun nafasku sudah terasa sangat sesak aku terus berlari sekuat tenaga agar para penjahat itu tidak menemukan jejak ku sama sekali.
"Mengapa ini terjadi?" Aku bertanya di dalam hati.
Meski Ayah sudah memperingati ku mengenai hal ini, tetap saja aku tidak dapat menerimanya setelah menjadi kenyataan, apa kedua orangtuaku telah menyinggung beberapa orang jahat? Apa alasan mereka membakar rumahku? Apa untuk membalaskan dendam?
"Hahh!! Hahh!! Hahh!!" Dadaku terasa sangat sakit tapi aku tidak bisa berhenti sekarang, mereka akan menemukanku jika aku berhenti berlari!
"Ayah... Ibu... Ku harap kalian baik-baik saja!"
Hari itu sangatlah menakutkan, aku tidak tahu harus berbuat apa saat mereka membakar rumah, jadi aku hanya bisa berlari dan terus berlari seperti seorang pengecut yang meninggalkan tanggung jawabnya.
Meski aku ingin melawan sekalipun, aku tidak bisa berbuat apa-apa karena aku masihlah anak-anak.
Udara dingin dan langit yang gelap, sampai kapan keadaan menyiksa ini akan terus berlanjut? Tubuhku sama sekali tidak dapat digerakkan, mulut ini pun sudah kering dan kaku. Apa aku akan berakhir di tempat seperti ini?
...****************...
Saat aku membuka mata, cahaya matahari yang begitu cerah menerpa wajahku yang dingin, aku bertanya-tanya di dalam kepalaku tentang bagaimana semua ini bisa terjadi? Semuanya terlalu mendadak, kepalaku sama sekali tidak dapat mencerna apa yang telah terjadi beberapa waktu lalu.
"Huh..?"
Sepertinya aku baru saja berhalusinasi, yang menerpa wajahku sama sekali bukanlah cahaya matahari, melainkan sebuah lentera yang digantung tepat di atas wajahku.
Mataku melirik ke sekitar, ini adalah ruangan yang sangat asing bagiku, terlebih lagi aku sama sekali tidak sendiri di dalam sini.
Ketika aku mencoba untuk bangun, aku merasa sesuatu benda yang aneh telah memperberat leher dan kedua tanganku untuk digerakkan, belum lagi benda-benda aneh itu dihubungkan oleh rantai yang cukup besar.
"Ini.."
Aku sama sekali tidak tahu apa yang telah dikenakan pada leher dan kedua tanganku.
"To-tolong jangan aku!! Tidaaakk!!"
Secara tiba-tiba aku mendengar suara teriakan seorang gadis dari ruangan lain, aku tidak tahu mengapa ia berteriak, namun hal yang membuatku terpaku selama beberapa detik adalah, kenyataan bahwa aku bersama beberapa orang anak lainnya telah dikurung di dalam sebuah penjara.
Aku tahu ruangan ini penjara sebab ayah pernah menjelaskan kepadaku bahwa semua penjahat akan di kurung di dalam penjara sebelum diadili. Saat itu ayah menggambar jeruji besi pada selembar kertas, dan itu sangatlah mirip dengan apa yang aku lihat sekarang.
Plakk!!*
Suara tamparan yang sangat keras terdengar, hal tersebut menyadarkan ku dari lamunan sementara.
"Jangan berteriak kepadaku, dasar budak!!" Kata-kata itu berasal dari seorang pria bertubuh besar yang cukup kekar.
"Kalau kau tidak mau diperlakukan dengan baik, maka akan kulakukan dengan cara sebaliknya!"
Sesaat setelah pria itu membentak, suara teriakan kesakitan seorang gadis pun terdengar disepanjang lorong tempat mereka berjalan, aku mendengar suara itu semakin dekat setiap saatnya.
Ketika mereka lewat di depan penjara yang mengurung ku, aku dapat melihat pria bertubuh besar itu dengan jelas. Di tangannya ia memegang rantai yang cukup besar, itu terlihat sama dengan apa yang terpasang di tubuhku saat ini.
Pria itu seakan sedang menarik sesuatu saat memegang rantai tersebut, karena lorong yang terlalu gelap aku tidak dapat melihatnya dengan jelas.
Namun saat pria itu sudah hampir melewati penjara ini, terlihat seorang gadis 17 tahun dengan pakaian lusuh sedang memegang sesuatu di lehernya sambil berteriak, gadis itu terseret di lantai dan terus ditarik dengan kasar oleh pria di depan sana.
Tubuhku bergetar dan nafasku terasa sesak, apa yang baru saja ku lihat? Itu sangat menyeramkan! Bagaimana bisa mereka memperlakukan seseorang dengan cara yang sangat buruk seperti itu? Apa suatu saat aku akan diperlakukan dengan cara yang sama? Apa rantai ini dipasangkan dengan tujuan seperti itu?
Di saat aku sedang hanyut dalam pemikiran buruk yang tiada habisnya, seseorang memegang pundak ku dari belakang dengan lembut, tangannya kecil dan terasa agak kasar.
Ketika aku menoleh kebelakang, aku dapat melihat seorang gadis berambut pendek yang menatapku dengan lembut.
"Jangan takut, kau akan kehilangan akal jika terus memikirkannya." Gadis itu berkata dengan suara yang lemah.
Aku tidak tahu harus berkata apa di situasi itu, dengan senyuman hangat ia mengelus kepalaku kemudian berkata. "Aku akan menemani mu, ok? Jadi, jangan takut dan atur pernapasan mu."
Suaranya begitu halus dan menenangkan. Aku tidak tahu dia siapa, tapi melalui ekspresinya aku tahu bahwa dia sudah cukup lama berada di tempat ini.
"Namaku Grace, aku sudah cukup lama berada di tempat ini, jadi jangan terlalu kaku saat berbicara dengan ku, ok?" Ia berkata dengan senyum kecil diwajahnya.
Meski aku belum mengenalnya terlalu dekat, melalui cara perkenalannya ini aku tahu bahwa ia adalah orang baik, namun tidak sepenuhnya seperti itu.
"Li-livia.."
Lidahku masih terlalu sulit untuk digerakkan, sepertinya aku akan kesulitan untuk berbicara selama beberapa waktu.
"Livia? Apa itu namamu?" Ia bertanya, dan aku hanya dapat mengangguk untuk menjawab pertanyaannya.
"Nama yang indah! Sangat cocok dengan wajahmu yang begitu cantik." Ujarnya, "Tetapi, di tempat ini kecantikan adalah sebuah kutukan, sebaiknya kau menutupi wajahmu yang seperti bidadari itu dengan lumpur." Katanya sambil menatapku dengan serius.
"Ke-na-pa?" Aku memiringkan kepala karena merasa heran.
"Kau akan menjadi seperti gadis tadi jika berwajah cantik." Jelasnya dengan singkat, hingga membuatku merinding dan terdiam di tempat.
"Me-mengapa?" Aku bertanya.
"Karena kita adalah budak, sebagian orang diluar sana menginginkan budak yang cantik untuk dijadikan mainan, jadi selama kau jelek maka kau tidak akan diperlakukan seperti tadi." Jelas Grace dengan senyum masam.
"Mainan?" Aku memiringkan kepala.
"Ah.. jadi kau termasuk gadis yang masih polos yah-" Dia menggumamkan hal aneh yang sama sekali tidak ku mengerti.
Grace menatapku kemudian mengangguk,
"Maksudku berkata akan dijadikan mainan adalah, kau tidak akan dapat hidup dengan tenang jika mereka mengambil mu, setiap harimu akan dipenuhi dengan rasa takut." Ucapnya dengan ekspresi jelek.
Yah, kurang lebih aku mengerti maksud ucapannya. Jika mereka mengambilku maka pada saat itu aku sudah berakhir.
"Mati?" Aku bertanya.
"Em.. kau tidak akan langsung mati tapi, yah~ pada akhirnya juga akan menjadi seperti itu." Ucapnya dengan begitu mudah.
"Kalau begitu..."
Grace menatapku yang kebingungan dengan rumit, aku tidak mengerti mengapa ia memasang wajah seperti itu.
Tanpa berkata sepatah katapun gadis itu langsung menarik ku ke sudut ruangan. Di sana ada sedikit air yang menggenang di atas tanah.
"Air itu berasal dari hujan yang menembus atap ruangan ini, hampir keseluruhan atap ruangan ini berlubang jadi aku selalu kesulitan di buatnya." Grace menggeleng karena tidak ingin mengingat masa lalu. "Tetapi, berkat itu kita dapat menutupi wajah kita jadi tidak semua hal selalu berdampak buruk, pasti akan ada sedikit keuntungan yang terselip." Lanjutnya.
Grace mengambil sedikit air dengan tangannya kemudian membasahi tanah yang tak jauh dari genangan itu
Tanah yang sudah basah di ambilnya, kemudian didekatkan pada wajahku.
"Tutup matamu Livia, ini tidak lama jadi bertahanlah untuk sementara waktu sampai lumpur ini mengering di wajahmu."
Setelah ia mengatakan hal tersebut, aku menutup kedua mataku kemudian Grace segera menggosok lumpur itu ke wajahku dengan perlahan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!