Tiga hari berlalu dengan cepat, dan aku hanya menghabiskan waktu dengan menulis di buku harianku seperti biasa. Terkadang aku mencoret kan gambar-gambar aneh yang bahkan aku sendiri tak paham artinya, lalu tenggelam dalam lamunan tentang hal-hal tak masuk akal, seperti langit yang tiba-tiba runtuh.
Untuk makanan, Ibu telah menyiapkan segalanya dengan sangat telaten sebelum ia pergi. Di atas meja kayu di dapur, ada berbagai roti kering, daging asap, dan sup yang diawetkan dengan rempah. Setiap hari aku hanya perlu memanaskan sebagian dari persediaan itu di atas perapian. Ibu bahkan menyusunnya berdasarkan hari, menaruh yang paling cepat basi di bagian depan, dan yang tahan lama di bagian belakang.
Semuanya terasa terlalu tenang... terlalu sepi...
Sejujurnya, aku masih tidak mengerti alasan Ayah melarang ku keluar dari rumah. Selama beberapa hari ini, tak satu pun orang yang datang bahkan sekadar mengetuk pintu. Rasanya seperti rumah ini terputus dari dunia luar, seolah aku hidup di dalam kotak tertutup yang perlahan menggerogoti kewarasanku. Kalau bukan karena teknik melamun ku yang sudah mencapai level dewa, mungkin aku sudah benar-benar kehilangan akal dan menjadi gila!
Kadang aku berbicara sendiri seperti sekarang. Kadang aku melakukan hal-hal aneh hanya untuk mengusir kebosanan, berlari mengelilingi rumah, melompat-lompat di ruang tengah, bahkan menirukan suara-suara aneh hanya untuk memastikan aku masih bisa tertawa. Sesekali juga terlintas keinginan untuk keluar, hanya sebentar, menghirup udara luar.
Tapi, setiap kali aku mendekati pintu dan mengingat pesan Ayah, tubuhku seperti membeku, dan langkahku mundur perlahan. Ada sesuatu yang menahan ku, lebih kuat dari rasa penasaran, mungkin rasa takut, atau firasat buruk yang tak bisa ku jelaskan.
"Langit-langit menjadi gelap, apa ini sudah malam?"
Aku segera meraih batu api dan baja dari atas meja, lalu menyulut api untuk menyalakan lentera seperti biasa. Lentera minyak ini adalah satu-satunya penerangan yang bisa ku gunakan di dalam rumah. Tanpa cahaya darinya, rumah ini akan tenggelam dalam kegelapan pekat—begitu pekat hingga seolah-olah malam itu tak pernah berakhir.
"Huh..."
Aku menghela napas pelan. Sejujurnya, ada sedikit rasa kesal di dadaku. Hampir setiap minggu, Ayah dan Ibu pergi meninggalkanku sendirian di rumah ini, jauh di tengah hutan. Mereka bilang aku masih terlalu kecil untuk ikut. Mereka selalu berkata bahwa aku boleh ikut jika sudah cukup umur, dan itu berarti masih dua tahun lagi, dua tahun lagi sebelum aku menjadi seorang gadis remaja, menurut mereka.
Namun berbeda dengan biasanya, kali ini Ayah melarang ku untuk keluar rumah. Bahkan satu langkah pun tidak boleh. Padahal sebelumnya, mereka hanya bilang untuk menjaga rumah, tanpa larangan yang sekeras ini. Aku sudah berusaha bersabar selama ini, menunggu waktu itu tiba... dan rasanya penantian itu hampir terbayar. Tapi sekarang, segalanya terasa lebih aneh. Lebih sunyi. Lebih menakutkan.
Entah aku sedang berbicara kepada siapa, tapi kalau aku tidak bicara, kalau aku tidak mengeluarkan isi kepalaku, aku rasa aku akan perlahan-lahan kehilangan akal sehatku. Sendirian di rumah selama seminggu penuh... tanpa suara, tanpa wajah lain, hanya suara angin yang merayap pelan di sela-sela kayu dinding.
"Sebaiknya aku makan terlebih dahulu sebelum tidur, kemarin aku tidak sempat makan karena ketiduran." Aku tertawa kecil ketika mengingatnya lagi.
Aku melangkah menuju dapur, hendak mengambil makanan yang telah disiapkan Ibu beberapa hari lalu. Setiap sudut rumah sunyi senyap, hanya suara pijakan kakiku di lantai kayu yang terdengar samar. Namun ketika tanganku hampir meraih penutup wadah makanan...
Tok… tok… tok…
Suara ketukan menggema dari arah pintu.
Tubuhku seketika membeku.
Aku berdiri kaku di tengah dapur, seolah-olah seluruh darah dalam tubuhku mendadak berhenti mengalir. Suara itu begitu nyata, namun terasa asing, ganjil. Jantungku berdetak begitu kencang hingga rasanya memekakkan telinga. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Suara itu... tak seharusnya ada.
"Apa yang harus kulakukan...?" pikirku panik, mulutku bergetar tanpa suara.
Tok… tok… tok…
Suara itu datang lagi. Lambat, tapi keras dan berat. Suara kayu dipukul oleh tangan, atau sesuatu.
Ayah pernah berpesan dengan sangat serius: “Jangan buka pintu, apapun yang terjadi.” Tapi bagaimana bisa aku menahan diri, jika ketukan itu terus menggema… tanpa henti… seolah menuntut?
Tubuhku bergerak sendiri. Aku menjatuhkan diri dan merangkak perlahan ke bawah meja makan, bersembunyi seperti binatang kecil yang diburu.
Rasa takut mulai mencengkeram ku.
Biasanya, tamu akan memanggil, menyapa, atau menyebut nama. Tapi suara ini… hanya ketukan. Dingin. Tanpa suara. Tanpa niat baik.
Tok… tok… tok…
"Sudah berapa lama…?" pikirku, menutup mulutku dengan kedua tangan agar tangisku tak terdengar. "Mengapa ia tidak pergi? Mengapa terus mengetuk? Apa yang ia inginkan dariku…?"
Air mataku menetes di lantai, tapi aku menahan napas kuat-kuat. Aku tahu… jika suara tangisku terdengar, jika aku memberi tanda bahwa aku ada di sini… ia akan mendobrak pintu itu. Dan bila itu terjadi—aku tak yakin bisa selamat.
TOK… TOK… TOK…
Ketukannya semakin keras. Lebih cepat. Lebih bengis. Seolah-olah sesuatu di balik pintu itu sedang mencoba menghancurkan batas antara dunia luar dan tempat perlindunganku. Apakah tangannya tidak sakit? Atau… apakah itu bukan tangan manusia?
Aku meringkuk, tubuhku gemetar hebat. Rasa takut melumpuhkan ku, membuat waktu terasa berhenti.
Dan kemudian… tiba-tiba…
Sunyi.
Suara ketukan itu lenyap. Tak ada suara apa pun. Bahkan suara angin pun seolah menghilang.
“...Sudah berhenti?” bisikku nyaris tak terdengar.
Ketukan itu benar-benar berhenti. Tak ada bunyi apa pun lagi, hanya keheningan yang menyelimuti rumah seperti kabut tebal di pagi buta.
“Apa dia kelelahan...? Atau... sudah pergi...?” pikirku, meski hatiku tak mampu percaya sepenuhnya. Rasa curiga mengendap dalam pikiranku seperti bisikan halus yang merayap.
Pintu rumah ini memiliki sebuah lubang kecil, lubang pengintip yang terletak tepat di tengah pintu. Dari luar, lubang itu tersembunyi, tak tampak sama sekali. Ayah yang membuatnya, katanya agar kami bisa melihat siapa yang datang tanpa terlihat.
Dengan langkah pelan dan napas yang ku tahan, aku mengendap-endap mendekati pintu. Setiap pijakan terasa seperti suara denting logam di dalam keheningan. Jantungku terus berdetak keras, seakan memukul-mukul tulang rusukku dari dalam.
Sesampainya di pintu, aku berdiri tepat di depan lubang kecil itu. Tingginya sejajar dengan mataku, sehingga aku tidak perlu membungkuk atau berjinjit.
Aku menutup sebelah mata… lalu mendekatkan wajahku… dan mengintip.
Pandangan mataku langsung menangkap sosok-sosok yang berdiri di luar.
Beberapa orang, tak ku kenal, berpakaian aneh dan gelap. Masing-masing membawa senjata dipunggung mereka, bentuknya besar, tajam, menyeramkan. Beberapa dari mereka memegang obor yang menyala, api itu memantulkan bayangan menari-nari di wajah mereka yang tak ramah.
Aku mematung. Tubuhku terasa membeku seketika.
Jumlah mereka… sangat banyak.
Lebih dari yang bisa ku hitung. Entah sejak kapan mereka berkumpul di depan rumah ini. Diam. Tak bergerak. Tak satu pun dari mereka mengucapkan sepatah kata. Aku hanya melihat bibir mereka bergerak, tapi tak ada suara yang sampai ke telingaku.
“Aku… tak bisa mendengar mereka…” bisikku dalam hati, seakan berusaha memahami apa yang sedang terjadi.
Namun satu hal pasti, apa pun alasan mereka berada di sini, itu bukanlah sesuatu yang baik.
Aku masih berdiri membeku di depan pintu.
Mataku tak bisa berpaling dari lubang kecil itu. Mereka, orang-orang asing yang membawa senjata dan obor, masih berdiri di sana. Tidak bergerak, tidak bersuara. Seolah-olah mereka tahu aku sedang mengintip. Seolah-olah... mereka sedang menungguku membuka pintu.
Jantungku berdebar begitu kencang hingga suara denyutnya memenuhi kepalaku. Aku tak berani menarik napas dalam-dalam. Takut terdengar. Takut mereka tahu aku ada di sini.
Lalu...
Salah satu dari mereka menoleh. Wajahnya tertutup tudung gelap, tapi aku yakin... matanya menatap lurus ke arah lubang kecil tempatku mengintip.
Aku langsung mundur refleks. Jatuh terduduk dengan tubuh gemetar hebat. Seolah tatapan itu menembus pintu, menembus kulit, dan mencengkeram jiwaku.
Tok.
Satu ketukan. Pelan. Lambat.
Tok.. Tok.. Tok..
Kembali lagi. Suaranya tak terlalu keras, tapi ada sesuatu yang sangat tidak wajar. Bukan seperti orang yang meminta izin masuk, lebih seperti... seseorang yang ingin menyiksa lebih dulu lewat suara.
TOK.. TOK.. TOK..
Tiba-tiba ketukan berubah menjadi hantaman. Menggelegar. Seakan tangan itu sudah bukan mengetuk, melainkan memukul pintu dengan sesuatu yang berat. Kayu pintu bergetar. Debu halus runtuh dari langit-langit.
Aku menjerit dalam hati. Tanganku refleks menutup mulut sendiri, kuat-kuat, menahan suara agar tak keluar.
“Jangan bersuara... jangan bergerak... jangan bernapas...!!”
Kepalaku dipenuhi suara Ayah. Pesannya terngiang terus, mengalahkan segalanya.
DOOOR!
Suara hantaman keras membuatku melompat dari tempatku duduk. Suaranya bukan lagi ketukan, tapi seperti seseorang menabrak pintu dengan seluruh tubuhnya. Pintu itu menjerit, bunyi engselnya meringkih, seakan siap copot dari tempatnya.
Aku berlari ke bawah meja, tubuhku mengecil sekecil mungkin. Suhu di dalam rumah terasa menurun drastis. Ujung jemariku dingin. Napas ku tersengal, terputus-putus.
Lalu tiba-tiba...
Semua suara berhenti.
Keheningan yang datang begitu tiba-tiba itu jauh lebih menakutkan daripada ketukan keras tadi. Sunyi. Hampa. Seolah dunia terhenti... atau sesuatu sedang mengintai dalam diam.
Aku tak tahu sudah berapa lama aku bersembunyi. Detik terasa seperti menit. Menit terasa seperti jam.
Dan kemudian…
Sesuatu menempel di jendela depan. Itu adalah satu-satunya jendela yang memiliki kaca di rumah ini.
Suara napas. Lembab. Panjang. Berat.
Aku menoleh perlahan.
Di balik kaca yang buram oleh embun dan debu, tampak bayangan wajah. Terlalu dekat. Terlalu besar. Diam saja di sana.
Aku tak bisa menjerit. Suara tercekat di tenggorokan.
Dan dalam keheningan itu... mataku bertemu dengan mata yang menatap dari luar.
Mata itu tersenyum.
"!!!"
Napas ku berhenti, dunia seakan tenggelam, mata itu bagaikan mimpi buruk yang menghantui pikiranku.
Di saat aku tenggelam oleh rasa takut, tiba-tiba hidungku menangkap bau aneh, tajam, menyengat, seperti kayu yang terbakar. Asap halus mulai merayap di udara, menyusup ke dalam rumah. Dari mana asalnya bau ini? Dan… kenapa suhu di dalam rumah terasa makin panas?
Saat kesadaranku akhirnya terkumpul, pandanganku tertarik ke atas. Api. Lidah api menari liar di atas kepalaku, menjilat atap rumah.
“Mustahil… Sejak kapan—?!”
Tidak ada waktu untuk terkejut. Tidak ada ruang untuk kebingungan. Dengan panik namun sebisa mungkin tanpa menimbulkan suara, aku berlari menuju pintu belakang—seperti yang Ayah katakan.
Tapi apinya... terlalu cepat. Api itu tidak bergerak seperti kebakaran biasa. Ia menyebar seperti makhluk hidup yang lapar—menggulung dinding, menelan kayu, dan mendesis ganas. Seolah-olah rumah ini disiram minyak sebelum dibakar.
Saat aku tiba di dapur, setengah ruangan itu sudah menjadi neraka. Api membara dari lantai hingga langit-langit. Panasnya menyengat kulit, membakar udara yang ku hirup. Syukurlah, pintu belakang di rumah ini tidak hanya satu.
Tanpa berpikir panjang, aku berbalik dan berlari menuju kamar Ayah dan Ibu. Di sana ada pintu lain—langsung mengarah ke luar. Pintu itu besar dan mudah terlihat, tapi aku tidak punya pilihan lain.
Namun, saat hendak menarik gagangnya...
“Tidak bisa dibuka?!”
Aku menariknya lagi, lebih keras. Tak bergerak.
“Macet?! Atau—”
Aku mengintip dari lubang kunci... dan kesadaran menghantam ku seperti palu. Pintu itu terkunci.
Dan akulah yang menguncinya.
Tubuhku gemetar. Api terus mendekat, suara kayu retak dan ambruk membuatku hampir menangis. Kuncinya... harusnya ada di sini. Dengan tangan gemetar dan napas terbata, aku membongkar laci demi laci, mengobrak-abrik lemari, menjatuhkan pakaian ke lantai.
“Di mana... Di mana kuncinya?! Kumohon! Kumohon, tunjukkan dirimu...!”
Suara bisikanku nyaris tak terdengar, tapi di dalam hatiku aku sudah menjerit.
Dan akhirnya, di balik tumpukan kain yang terbakar di ujungnya, aku menemukannya... kunci!
Tapi ketika aku berbalik, api sudah merambat ke ujung karpet, masuk ke ruangan ini, menjilati pintu.
Aku tak sempat berpikir. Segera ku selipkan kunci ke dalam lubang dan memutarnya secepat mungkin.
Klik!
Pintu terbuka!
Aku menyambar kenop dan menerobos keluar, tubuhku terseret oleh kepanikan. Aku berlari. Dan terus berlari. Tanpa arah, tanpa tujuan. Nafasku kasar, dadaku terasa seperti diremas. Tapi aku tidak boleh berhenti. Tidak sekarang. Tidak ketika mereka mungkin mengejar ku.
“Kenapa...? Kenapa ini terjadi...?” Suara itu hanya bergema di dalam pikiranku, teredam oleh raungan darah di telinga.
Ayah telah memperingatkan ku. Tapi... ini terlalu kejam. Terlalu cepat. Terlalu nyata.
Apa mereka... membalaskan dendam? Apa Ayah dan Ibu menyakiti orang jahat? Apa... mereka tidak akan pernah kembali?
“Haaah... Haaah... Haaah...”
Sakit. Nafasku terbakar di dada. Tapi aku terus berlari, menembus dingin malam dan gelap hutan.
Jika aku berhenti, mereka akan menangkap ku!
Jika aku menangis, mereka akan menemukanku...
“Ayah... Ibu... kumohon... semoga kalian selamat...”
Langkahku terpincang, pandanganku mulai buram, tapi aku tidak akan menyerah. Tidak di sini. Tidak malam ini!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Amara
Aku udah negatif thingking yang di luar itu monster besar
2024-05-09
0
🎀
apa orang tuanya ikut sekte sesat gitu ya?
2024-05-09
0
🎀
kayanya ada sesuatu deh
2024-05-09
0