Bab Tujuh Belas

Syifa menoleh ke arah suara yang memanggil namanya. Dia seolah terpaku melihat pria yang pernah mengisi hidupnya itu dari jarak sedekat ini.

Haikal yang sedang menggendong Adam membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Harris. Dia lalu tersenyum menanggapi panggilan pria itu.

"Pak Harris, saya kira siapa!" seru Haikal.

Syifa masih diam terpaku di tempatnya berdiri. Rasanya kerongkongannya tersekat tak bisa bicara. Dadanya juga terasa sesak.

"Syifa ...," sapa Harris lagi.

"Pak Harris kenal Syifa?" tanya Haikal. Dia memandangi kedua orang itu. Terlihat sekali jika mereka gugup.

Haikal ikut terdiam. Dia menebak ada sesuatu antara keduanya. Mungkin hubungan pribadi. Namun, sebagai orang luar dia tak ingin ikut campur.

"Apa kabar, Syifa?" tanya Harris dengan mata berkaca. Akhirnya setelah lima tahun pencarian, dia menemukan wanita itu lagi. Perubahan pada dirinya sangat jauh. Syifa tampak lebih cantik dan segar. Sepertinya lebih bahagia.

"Alhamdulillah aku baik-baik saja, seperti yang Mas lihat," jawab Syifa.

Harris menghapus air mata yang tak bisa dia tahan. Dia tak bisa mengungkapkan dengan kata-kata betapa bahagianya karena dapat bertemu lagi dengan wanita yang dulu pernah dia sakiti.

"Aku tak menyangka kita bisa bertemu di sini," balas Harris lagi.

Adam memandangi Harris dengan pandangan menyelidik. Mungkin heran karena pria itu mengenal bundanya.

"Maaf, bagaimana jika kita duduk. Pasti tak enak mengobrol dengan berdiri begini," ucap Haikal.

Syifa tersenyum menanggapi ucapan pria itu. Dia lalu berjalan menuju sofa yang ada di lobi. Harris mengikuti dari belakang.

Adam masih betah di pangkuan Haikal, membuat Harris memandangi tanpa kedip. Dia yakin itu putranya. Nyeri rasanya melihat darah daging sendiri lebih akrab dengan pria lain.

"Syifa, aku sudah mencari kamu selama lima tahun ini. Kenapa kamu pergi?" tanya Harris dengan suara pelan dan gugup. Tak tahu harus bicara apa lagi.

Haikal yang merasa kalau pembicaraan keduanya pasti mengenai hubungan pribadi menjadi tak enak jika masih berada di antara mereka. Dia lalu berdiri dan ingin pamit.

"Sepertinya aku harus pergi. Kalian berdua pasti ingin mengobrol sesuatu yang pribadi," ucap Haikal.

Syifa memandangi Harris. Matanya tak sengaja melihat Nadia yang berjalan menuju mereka. Hatinya kembali terasa perih.

"Kamu tetap di sini saja, Mas. Aku dan Mas Harris tidak ada hubungan apa pun. Jadi tak ada omongan pribadi antara aku dan Mas Harris," ucap Syifa.

Ucapan Syifa itu seperti pedang yang menusuk langsung ke jantung Harris. Dia merasa sangat nyeri.

Nadia yang baru sampai, memandangi Syifa tanpa kedip. Sepertinya tak percaya dengan penglihatannya.

"Syifa ...?" tanya Nadia dengan suara pelan hampir tak terdengar.

Syifa hanya membalas dengan senyuman. Nadia memilih duduk di samping Harris. Adam yang masih duduk dipangkuan Haikal memandangi wajah-wajah orang dewasa di sekitarnya dengan penuh tanda tanya.

"Apa kabar, Mbak Nadia?" tanya Syifa dengan mengulurkan tangannya. Nadia menyambut uluran tangan itu dengan ragu. Mereka bersalaman.

"Jadi selama lima tahun ini kamu ada di kota ini?" tanya Nadia lagi. Harris masih belum bisa berucap. Pandangannya masih fokus dengan keakraban Adam dan Haikal.

"Iya, selama lima tahun ini aku menata hidupku di kota ini. Alhamdulillah semua berjalan lancar dan hidupku jauh lebih baik," jawab Syifa.

"Apakah Adam ini anak kita?" tanya Harris. Akhirnya dia membuka suara. Setelah mengumpulkan keberanian agar bisa menanyakan hal yang dia anggap sangat penting.

"Adam adalah anakku. Kenapa, Mas?" tanya Syifa dengan penuh penekanan.

"Apakah itu berarti dia anakku?" tanya Harris lagi.

Syifa tampak tersenyum miris. Dia memandangi Adam dengan tatapan sendu. Haikal kembali berdiri. Dia merasa hal yang akan dibahas tidak perlu di dengar bocah itu.

"Aku bawa Adam bermain ke taman dulu. Kamu bicaralah dengan Harris, nanti jika sudah selesai, hubungi aku. Baru kita pulang," ucap Haikal dengan suara lembut.

"Terima kasih, Mas," balas Syifa tak kalah lembut.

"Bunda, tak ikut dengan Abi dan Adam?" tanya Adam.

"Adam bermain dengan Abi dulu. Masih ada yang perlu Bunda bahas. Hanya sebentar," jawab Syifa.

"Baiklah, Bunda. Aku bermain berdua Abi saja. Bunda hati-hati," balas Adam.

"Adam dan Abi juga hati-hati," ujar Syifa. Dalam hati wanita itu ada rasa syukur karena sang putra memanggil Abi sama Haikal. Karena itu mampu membuat Harris dan Nadia memandangi bocahnya tanpa kedip.

Setelah Haikal dan Adam menjauh, kembali Syifa fokus memandangi kedua orang yang ada dihadapannya saat ini. Dia menarik napas untuk meredakan sesak di dada. Dia merasa kekurangan oksigen.

"Syifa, aku ingin mengulang pertanyaan tadi. Apakah Adam itu putraku?" tanya Harris.

"Kenapa sekarang kamu ingin tahu hal itu? Bukankah dulu kehadirannya tak diharapkan. Apa kamu lupa pernah mengatakan, jika anakku tak akan merasa kehilangan sosok ayah, karena dia belum mengenalmu, Mas? Makanya aku tak pernah mengenalkan siapa ayahnya sesuai keinginan kamu, Mas!" ucap Syifa dengan penuh penekanan.

...----------------...

Terpopuler

Comments

Rahmawati

Rahmawati

sokorrrr km harris

2024-04-25

0

sherly

sherly

kami nanya yakin nanya? pikir aja sendiri

2024-04-23

0

Alivaaaa

Alivaaaa

baguus Syifa 👏

2024-04-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!