Kamilia merapikan mukena yang baru saja dilepasnya. Selepas Subuh dia tak langsung melepasnya, memilih menenggelamkan diri dalam rutinitas tilawah hingga matahari mulai menunjukkan sinarnya, menghangatkan bumi, mengiringi segala aktifitas setiap insan di hari yang baru, harapan yang baru pula Kamilia memilih melanjutkan munajat dalam shalat Syuruqnya.
Hari ini dia akan kembali ke ibu kota, dua hari mengajukan cuti dengan alasan ada urusan keluarga. Rencananya sekitar pukul sembilan dia akan ke stasiun, tiket kereta api yang akan membawanya ke ibu kota sudah siap. Barang-barang bawaan yang terdiri dari oleh-oleh pun sudah di tata rapi oleh sang ayah dibantu Athar adiknya semalam.
"Teh, sarapan dulu" Ibu mengetuk pintu kamar Kamilia, memberitahukan jika sarapan sudah siap.
"Iya Bu, sebentar" jawab Kamilia yang kembali memastikan kamarnya sudah rapi sebelum ditinggalkan.
Sarapan pagi ini terasa berbeda bagi Kamilia, jika kemarin dia masih bisa bersikap biasa, tersenyum bahkan sesekali tertawa dengan keseruan bersama sepupu-sepupunya, namun tidak untuk hari ini.
Matanya terlihat sedikit sembab, semalam rentetan peristiwa yang dialaminya dua hari ini membuatnya tak bisa memejamkan mata. Kamilia tidak habis pikir dengan keadaannya saat ini, penantiannya selesai dan berakhir dengar menjadi tunangan laki-laki yang sama sekali tidak pernah terpikirkan akan menjadi tunangannya.
"Jaga diri baik-baik, batasi pergaulan, terutama dengan lawan jenis, ingat kamu sekarang sudah ada yang meminang" Ibu mengingatkan sang putri satu-satunya itu dengan lembut, Kamilia hanya mengangguk tanpa ada niat menjawab dengan kata-kata.
Melihat respon putrinya Bapak hanya menghembuskan nafasnya perlahan. Sebagai seorang ayah yang begitu dekat dengan putri satu-satunya sejak kecil dia sangat tahu bagaimana keadaan sang anak jika sedang tidak baik-baik saja.
Waktu bergulir terasa cepat bagi Kamilia, inginnya masih tetap pagi agar masih bisa bersantai di kamarnya yang selalu dapat menentramkannya. Tapi apa boleh buat, matahari semakin meninggi meninggalkan jejak kehangatan beralih pada teriknya.
"Teh, sudah siap?" suara Bapak terdengar dari ambang pintu, pintu yang sedikit terbuka membuat Kamilia mendengar jelas panggilan sang ayah.
"Iya Pak" Kamilia buru-buru bangun, dia rapikan kembali seprei yang sedikit kusut bekas rebahannya.
"Teh, Bapak hanya ingin bilang, bahwa tidak ada yang bisa menyakitimu selain pikiranmu sendiri. Tidak ada yang membatasimu kecuali ketakutanmu, dan tidak ada yang mengendalikanmu kecuali itu keyakinanmu sendiri"
"Bapak tahu, apa yang kamu hadapi saat ini tidak mudah. Bapak juga tahu sebenarnya kamu sedang patah hati."
Deg ...
Kamilia menoleh dia menatap sang ayah penuh tanya. Darimana ayahnya itu tahu tentang dirinya yang patah hati.
"Ayah tahu kamu sedang menunggu seseorang" Kamilia kembali terlihat terkejut, selama ini dia merasa rapi menyimpan semuanya sendirian, tapi hari ini ternyata ayahnya tahu. Ada rasa khawatir di hatinya namun juga lega karena sang ayah ternyata mengetahuinya.
"Iya ayah, aku menunggunya selama ini" lirih Kamilia dengan suara bergetar, tangis yang sejak kemarin ditahannya sudah tidak kuat lagi ditahannya.
Ayah Kamilia mengerti dengan perasaan putrinya saat ini, tanpa bicara Bapak merangkul bahu Kamilia dan membawanya ke dalam pelukannya. Dan akhirnya tanggul air mata Kamilia pun jebol di dada membasahi dada sang ayah yang berbalut baju koko.
"Menangislah, Teh. Jangan ditahan, ada ayah yang akan menemani teteh dan menghapusnya jika teteh sudah merasa cukup lega" ucap bapak yang membuat Kamilia semakin tersedu menumpahkan segala rasa yang ada dalam hatinya.
Pukul sembilan harusnya Kamilia sudah berangkat ke stasiun, tapi karena momen yang tak direncanakan ini dirinya harus terlambat dan kemungkinan akan ketinggalan kereta.
"Athar, ayo cepetan ..." pekik Kamilia yang sudah mulai membaik setelah menumpahkan semua rasanya dalam tangis pada sang ayah.
"Iya Teh ..." sahut Athar sembari menyampirkan tas kecil di bahunya.
"Bu, teteh pergi dulu ya ..." pamit Kamilia pada sang ibu, diciumnya punggung tangan sang ibu penuh takdzim, kemudian dibalas sang ibu dengan mencium kedua pipi dan kening Kamilia dengan sayang. Selanjutnya Kamilia pun beralih pada Bapak, hal yang sama pun dilakukan olehnya.
Kamilia setengah berlari mengejar adiknya yang sudah lebih dulu menunggu di halaman. Semua barang bawaan yang merupakan oleh-oleh khas kampungnya sudah ditata di bagian depan motor.
"Dek, ayo!" seru Kamilia saat sudah keluar dari pintu depan rumahnya.
Langkah Kamilia yang akan menghampiri sang adik berhenti ketika sebuah mobil yang tidak asing bagi Laila telah terparkir di halaman rumahnya. Hal yang tak kalah membuatnya kaget adalah ketika melihat Athar sedang memindahkan semua bawaan dari atas motor ke dalam bagasi mobil itu.
"Lho, Nak Cakra?" Ibu yang melihat Cakra sedang membantu Athar merapikan barang bawaan Kamilia menyapa dengan raut wajah terkejut sekaligus senang.
"Assalamu'alaikum, Bu, Pak, maaf saya terlambat menjemput Kamilia" ucap Cakra sopan, dia menyalami kedua orang tua Kamilia dengan takdzim.
"Wa'alaikumsalam. Nak Cakra masih di sini? Bukannya kemarin langsung kembali ke ibu kota?" tanya Bapak penasaran, pasalnya jelas-jelas kemarin keluarga Cakra terlihat buru-buru karena harus segera kembali ke Ibu Kota.
"Iya Pak, sengaja saya balik lagi untuk menjemput Kamilia" jawab Cakra tenang.dia tidak dia tidak terganggu sama sekali dengan wajah Kamilia yang tampak terkejut.
Perjalan menuju ibu kota pun dimulai. Suasana canggung jelas tercipta di dalam, dalam mobil hanya keheningan yang ada.
"Eheummm ..." Cakra berdehem mengusir kecanggungan saat akan memulai berbicara.
"Maaf" ucapnya tak jelas,
"Maaf untuk apa?" tanya Kamilia menanggapi,
"Maaf jika kamu tidak nyaman aku jemput" jelas Cakra sesekali menoleh ke arah Kamilia, namun setelahnya kembali dia menatap lurus ke depan, fokus mengemudi.
"Mama yang nyuruh aku buat jemput kamu, jadi ..." sambungnya lagi karena Kamilia tak langsung menjawab,
"Maaf jadi merepotkan" potong Kamilia cepat, dia tahu tidak mungkin rasanya jika Cakra berinisiatif sendiri untuk menjemputnya.
"Eh ...?" Cakra mengerem mobilnya tiba-tiba, mendengar intonasi bicara Kamilia dia tahu jika gadis itu jadi merasa bersalah.
"Maksudku bukan begitu" jelas Cakra setelah mobil yang dikemudikannya berhenti, dia terlihat serba salah.
"Kenapa berhenti?" tanya Kamilia mengalihkan pembicaraan,
"Hah?" Cakra kembali tidak bisa berkutik, dia kelihatan bingung harus menjawab apa,
Teeettt ...
Belum juga Cakra menjawab suara klakson dari mobil yang ada di belakangnya membuat kedua penumpang di dalam mobil itu terlonjak.
"Mas, ayo maju" seru Kamilia cepat
"Iya ...iya ..." gugup Cakra,
Mobil pun kembali melaju setelah beberapa saat membuat kemacetan karena berhenti mendadak yang membuat keduanya mendapat serangan bunyi klakson yang bersahutan dari arah belakang mobil mereka.
"Huufft ..."kompak keduanya menghembuskan nafas kasar, menghempaskan ketegangan serangan klakson yang membuat keduanya panik.
Tanpa sadar karena suara hembusan nafas keduanya yang berbarengan, mereka kompak saling menoleh, beberapa detik beradu tatap hingga "hhaaha.." keduanya tergelak bersamaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
Arkan Nuril
emmm co cweet 😄
2024-10-27
1
Mukmini Salasiyanti
🤣🤣
2024-05-01
1
Yhanie Shalue
semoga hubungan kalian akan langgeng amp tiba waktunya🤲🏼
2024-03-05
1