Perjalanan yang ditempuh hampir lima jam itu tidak terasa kini akan segera berakhir. Kecanggungan yang sempat tercipta di awal kebersamaan mereka ternyata tidak berlangsung lama.
Sepanjang perjalanan keduanya asik mengobrol berbagai hal, tentang Feli menjadi topik yang perbincangan paling panjang mereka .
"Kita berhenti dulu di sini ya, aku pingin ngopi dulu, boleh?" Cakra kembali memarkirkan mobilnya ketika melintas di depan sebuah kafe, sebelumnya mereka sempat berhenti di rest area untuk shalat dzuhur.
"Boleh" jawab Kamilia singkat,
Keduanya berjalan menuju kafe itu, tepatnya Cakra yang berjalan lebih dulu dan Kamilia mengikuti dari belakang.
"Ayo" Cakra menghentikan langkah agar sejajar dengan Kamelia.
Secangkir kopi dan segelas jus sudah terhidang di hadapan keduanya. Cakra sibuk dengan ponselnya, sementara Kamilia memilih menikmati pemandangan kafe yang terlihat estetik.
"Pernah ke sini sebelumnya?" menyadari Kamilia yang mengedarkan pandangannya melihat-lihat kafe Cakra menghentikan interaksi dengan ponselnya,
"Belum" jawab Kamilia jujur,
"Sudah berapa lama di sini?"
"Sekarang menginjak tahun kedua"
"Sudah cukup lama ternyata"
"Memangnya kenapa?" tanya Kamilia yang mendengar jawaban Cakra dengan intonasi berbeda,
"Kafe ini kan tidak jauh dari tempat kamu mengajar, masa iya belum pernah mampir" entah pertanyaan atau pernyataan yang diucapkan Cakra,
"Belum pernah emang"
"Serius?" Cakra kembali meyakinkan jawaban Kamilia.
"Iya" jawab Kamilia apa adanya,
"Hha ..." gelak Cakra, yang hanya direspon cuek oleh Kamilia.
Obrolan mereka pun kembali mengalir, tepatnya Cakra yang lebih banyak bertanya perihal Kamilia sebagai pendatang di kota ini. Cakra tidak menyangka ternyata Kamilia sangat nyaman untuk diajak bicara, dia pun bisa mengimbangi setiap topik yang dibahas dalam obrolan mereka.
Tidak sulit untuk membuat gadis itu berbicara, setiap topik baru yang dilemparkan Cakra selalu mampu merespon dengan baik dan mengimbangi. Pantas saja keponakannya yang terkenal pemilih dalam berteman langsung cocok dengan gurunya yang satu ini.
"Oya, tentang pernikahan kita ..." Cakra menjeda ucapannya, melihat respon Kamilia.
Kamilia yang sedang menyeruput jusnya seketika menghentikan gerakannya dan hal itu jelas tertangkap oleh Cakra.
"Saya tahu kamu mungkin tidak nyaman dengan kedatangan keluarga saya kemarin yang sangat mendadak, entahlah mama sangat yakin jika kamu adalah wanita yang tepat untuk menjadi istri saya, padahal ..." ucapan Cakra kembali terjeda,
"Padahal apa?" tak disangka ternyata Kamilia merespon cepat,
"Padahal ...padahal aku ..."
"Mas sudah punya kekasih" sahut Kamilia cepat,
"Kamu tahu?"
"Ya"
"Pasti dari Feli"
"Bukan"
"Mas pasti lupa, waktu itu kita pernah bertemu di pusat perbelanjaan" jawaban Kamilia membuat ingatan Cakra menerawang, dan dalam hitungan detik dia pun mengerjapkan matanya, ingatannya kembali.
"Iya iya, kita pernah bertemu waktu itu. Tapi sekarang yang ingin aku bilang bukan tentang itu" Cakra tampak menarik nafasnya dalam sebelum melanjutkan bercerita,
"Aku dan dia sudah berakhir" hening, Cakra menunduk setelah mengatakannya, walau bagaimana pun kebersamaannya dengan gadis pujaannya tidaklah sebentar, banyak cerita dan kebersamaan indah mereka yang kini tinggal kenangan.
Jujur, setiap kali ingatan tentang kenangan itu menghampiri ada rasa sakit yang dirasakan Cakra jika ternyata sang kekasih kini telah tiada, dia memilih karirnya dan pergi dari sisinya. Sebegitu tidak berharganya kah dirinya jika dibanding dengan karir wanita itu.
Keheningan tercipta, Kamilia menatap sosok gagah yang kini tengah tertunduk, dilihat dari caranya menyampaikan perihal fakta hubungannya dengan kekasih yang kandas, Kamilia tahu jika laki-laki itu sedang tidak baik-baik saja.
Kamilia tahu bagaimana rasa sakitnya karena kehilangan, jangankan Cakra yang punya kenangan indah begitu banyak, dirinya saja yang tak punya kenangan apapun selain tumpukan surat di masa putih abu tetap saja sampai saat ini luka itu tetap menganga.
Entah kebetulan apa ini, di balik semua peristiwa yang dialaminya, dirinya yang tengah patah hati malah dipertemukan dengan orang yang sama-sama patah hati.
"Jadi ceritanya aku jadi pelarian nih?"
Deg ...pertanyaan menohok Kamilia seketika membuat Cakra mendongak. Fakta jika Kamila adalah pelarian bagi Cakra harusnya menjadi sesuatu yang menyakitkan bagi gadis itu, tapi anehnya Kamilia justru tertawa mendapati fakta demikian. Hatinya biasa saja, justru malah ingin menggoda laki-laki itu.
"Maaf" hanya itu yang diucapkan Cakra, sementara Kamilia memilih melengos menghindari tatapan Cakra.
"Mungkin awalnya akan sedikit sulit, tapi tidak ada salahnya jika kita mencoba. Aku tahu mama sangat menginginkannya, dan perlu kamu tahu jika wanita pertama yang akan aku jamin kebahagiaannya adalah mama" ucap Cakra mantap, Kamilia hanya mengangguk-anggukan kepala menanggapinya.
Kisah cinta Cakra yang kandas mengingatkan Kamilia akan kisah cintanya sendiri yang bahkan sudah layu sebelum berkembang, jika Cakra pernah melewati waktu bersama, dirinya justru melewati waktu dalam penantian. Jika Cakra punya kenangan yang bisa diingat, dirinya justru tak kuasa untuk sekedar berucap rindu.
Entah hubungan seperti apa yang selama ini dijalaninya, hubungan tanpa timbal balik apapun, hanya mengandalkan ucapan di masa putih abu-abu, dia meyakinkan hatinya untuk menanti.
Kamilia terkadang merutuki keputusan dirinya sendiri, terlalu percaya diri jika janji di masa putih abu itu akan menjadi nyata namun ternyata ekspektasinya terlalu tinggi. Namun apa yang terjadi tak mungkin bisa diulangi,
"Bagaimana?" pertanyaan Cakra menghentikan keheningan yang tercipta di antara keduanya.
"Hah? Bagaimana apanya?" Kamilia yang juga tengah larut dalam lamunannya hilang fokus saat ditanya oleh Cakra,
"Kesiapan kamu untuk melangkah ke jenjang selanjutnya bersama aku dan semua masa laluku" Cakra menatap dalam perempuan yang ada di hadapannya itu. Kebersamaan mereka sedekat ini terhitung baru beberapa jam yang lalu, tapi sejujurnya dalam hati Cakra merasakan kenyamanan yang sebelumnya belum pernah dia rasakan saat bersama orang baru.
Laki-laki dingin dan seperlunya itu kini merasa menemukan hal baru yang membuat hidupnya sedikit membaik. Rasa sakit karena ditinggalkan sang kekasih yang dirasakannya perlahan mulai menguap seiring kenyamanan yang dirasakannya saat bersama Kamilia.
Tatapan mata teduh gadis itu benar-benar membuat dia tak ingin beralih dari menatapnya.
"Insya Allah" jawab Kamilia lirih, sikapnya yang malu-malu dan selalu menghindar saat beradu tatap membuat Cakra dengan leluasa mengembangkan senyumnya.
Meninggalkan dua insan yang sepakat akan mulai saling membuka hati, berdamai dengan keadaan, berdamai dengan diri sendiri. Menerima apa yang sudah tertakdir atas diri mereka, mencoba sabar dengan sesadar-sadarnya jika di Lauhil Mahfudz jodoh mereka telah tertulis dengan pasti.
Seorang pemuda tampan dan gagah dengan berbalut jas putih yang menandakan profesinya tengah berdiri di ketinggian tiga puluh lantai.
Di saat penat dari rutinitas hariannya, roop top gedung menjadi tempat favorit untuknya sejenak menyingkir. Satu tangannya di masukkan ke dalam saku, sementara satu tangan lainnya menggenggam erat pas foto berukuran tiga kali empat, foto seorang gadis berjilbab putih tengah tersenyum manis menunjukkan dua lesung pipinya yang membuatnya semakin menawan. Belum lagi binar mata dengan bulu mata yang lentik membuat siapapun terpesona dengan kecantikan alaminya.
"Milia, tunggu sebentar lagi. Aku akan datang, bersabarlah" monolognya,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
Yunita Sri wahyuni
laaa.... kelamaan bro...da disabar org ...si teteh da dilamar duluan..
2024-11-01
2
Sungoesdown
lohhh?
2024-09-30
0
Mbing
kesalahan Ariq kenapa gak kasih kabar ke Kamilia
2024-06-25
1