Menyambut Takdir : Ketika Cinta Dipertaruhkan

Menyambut Takdir : Ketika Cinta Dipertaruhkan

Bab 1

Aroma sejuk saat awan gelap menyelimuti langit yang seharusnya menampakkan warna biru. Kumpulan awan meneteskan bulir-bulir bening yang menjadi guyuran deras. Suara angin memberikan irama alam, membuat bulu-bulu halus di kulit berdiri. Embusan angin membuat pepohonan meliukkan setiap ranting, menggerakkan dedaunan menari tak berarah. Suara gemuruh petir sesekali terdengar, menambah kesan dramatis di tengah guyuran hujan. Siang itu cuaca terasa suram, namun keindahan alam yang seolah mengerikan memiliki pesonanya sendiri.

Adlia mengembuskan napas berat, ia terasa mengantuk sekali. Wanita itu mengedarkan pandangan ke seluruh teras masjid. Saat itu, Adlia sedang duduk menanti hujan reda. Ia baru selesai salat zuhur dan ternyata hujan turun dengan deras. Tidak hanya dirinya yang sedang menanti hujan reda. Banyak orang yang sedang berteduh di sana. Terlihat beberapa orang di sana sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang sedang berbincang ringan, ada yang tenggelam dalam kesendirian.

Tatapan Adlia terhenti pada salah satu keluarga kecil yang terlihat sangat hangat. Suami istri itu memiliki dua orang anak yang usianya tidak terpaut jauh. Sang kakak seorang perempuan sepertinya berusia tujuh tahun, sedangkan adik seorang laki-laki sepertinya berusia lima tahun. Senyum kecil terlukis pada wajah Adlia. Ia mengaku sangat iri apabila melihat keluarga yang sangat ceria dan hangat.

Adlia mengembuskan napas berat, terasa ingin merasakan kehangatan keluarga hadir dalam batin. Adlia memang bukan berasal dari keluarga yang penuh kehangatan, bahkan ia tak pernah tau siapa kedua orang tuanya. Adlia tumbuh di panti asuhan sejak dirinya masih mungkin sekitar tujuh bulan — yang Adlia ketahui dari cerita ibu panti. Lamunan Adlia memaksa pikirannya memutar memori saat ibu panti menceritkan siapa ibu dan dirinya.

Saat itu, saat satu keluarga memilih dirinya untuk diadopsi, ibu panti menceritakan siapa ibunya dan memberikan barang-barang peninggalan ibunya. Adlia membuka kotak yang tidak terlalu besar, namun cukup untuk ukuran kertas dokumen. Adlia melihat ada liontin yang sepertinya memiliki pasangan. Terlihat juga beberapa dokumen dengan nama Adlia Azkia Jatmiko. Tatapannya terhenti pada sepucuk surat berwarna biru muda. Surat itu masih terawat meskipun sudah sedikit usang.

“Saat itu, ibumu datang ke sini dengan niat hanya berteduh. Ibumu terlihat pucat sekali. Engkaupun sepertinya sedang flu dan sangat kedinginan. Kakakmu, Fini membawamu untuk mengganti bajumu. Ibumu, Ibu antarkan ke kamar tamu untuk berganti baju dan beristirahat. Ibumu tidak terlihat seperti orang yang tidak mampu. Dari tutur kata dan pakaian yang dikenakan saat itu, ibumu sepertinya orang yang berkecukupan. Tapi, entah masalah apa yang membuatnya lemah tak berdaya,” ucap Sriyani, ibu pengurus panti.

Adlia mendengarkan penjelasan Sriyani. Terasa sakit dalam dadanya, seolah tertusuk beribu sembilu. Selama sebelas tahun ia berpikir orang tuanya membuangnya. Ia berpikir dirinya mungkin seorang anak yang tidak diinginkan kehadirannya. Ia berpikir bahwa ibunya sengaja menitipkannya agar tidak menanggung malu. Bulir bening menetes perlahan membasahi pipi Adlia.

“Ibu ... Lia mohon lanjutkan ceritanya,” mohon Adlia. Sriyani tersenyum dan menganggukkan kepala, wanita itu melanjutkan cerita.

“Ibu tidak tau bagaimana ibumu pergi. Ibu mengetuk pintu kamar membawakan teh panas dan roti untuk mengisi perut ibumu, yang Ibu yakin ibumu sangat lapar. Ternyata ibumu sudah tidak ada di kamar. Ibu menemukan liontin dan semua dokumen serta surat ini," tutur Sriyani sembari mengeluarkan semua dokumen dari dalam kotak.

Sriyani terdiam sejenak, matanya tertuju pada sepucuk surat berisi amanah dari ibu kandung Adlia. Sriyani melanjutkan cerita dan berkata, "Ibu juga memiliki surat dari ibumu, dia meminta ibu untuk merawatmu dengan uang tabungan yang ia miliki. Ibu diminta untuk menemui seseorang untuk mengurus pengambilan dana untuk biayamu. Namun, Ibu tidak menemui orang itu, Ibu tidak mengambil dana untuk biayamu.” Sriyani meneteskan air mata, ia kembali teringat saat bertemu Adlia bayi dan ibunya.

“Mengapa Ibu ... Ibu tidak ... mengambilnya? Itu bisa menjadi tambahan biaya untuk Ibu,” ucap Adlia di sela tangis.

“Tidak.” Sriyani tersenyum dan mengelus kepala Adlia dan berkata, “Saat itu Ibu merasa seperti bertemu dengan anak dan cucu sendiri. Ibu merasa Allah Taala sudah menentukan takdir untuk kita. Ibu hanya menjalankan amanah dari ibumu, untuk memberitahumu saat ada yang ingin mengadopsimu. Jika tidak ada yang mengadopsimu, ibumu berpesan untuk memberitahumu saat sudah berusia 19 tahun.” Sriyani menjelaskan dengan sesekali menyeka air mata dan mengusap kepala Adlia. “Nak?” panggil Sriyani dengan lembut.

“Iya, Bu?” Adlia kecil menjawab dengan tatapan nanar.

“Simpanlah ini, semua ini milikmu. Jika engkau ingin menemui seseorang itu, temuilah saat engkau telah dewasa nanti. Tanya padanya keberadaan ibumu. Ibu yakin kalau ibumu adalah orang yang baik dan tulus. Hanya saja keadaan memaksanya untuk meninggalkanmu di sini. Persiapkan dirimu, karena Ibu tidak ingin luka yang dialami ibumu akan membuatmu terluka. Sesekali datang ke sini, ini tetap rumahmu sampai kapanpun. Ibu tetap Ibumu dan mereka tetap saudaramu.” Sriyani memberikan nasihat kepada Adlia kecil.

Adlia kecil yang rapuh menghambur ke dalam pelukan Sriyani. Dia menangis bersyukur dipertemukan oleh ibu panti yang hangat. Meski tidak dapat dipungkiri, Adlia mengharapkan ibu kandungnya saat ini berada di hadapannya. Adlia ingin memeluk, mencium dan merawat ibunya sampai tua meskipun harapan itu hanyalah sebuah harapan yang entah kapan akan terpenuhi. Namun, Adlia tetap bersyukur, ibu panti yang telah membesarkannya, sangat menyayanginya layaknya ibu kandung, baginya itu lebih dari cukup untuk mensyukuri nikmat-Nya.

“Ibu tetap Ibu bagi Lia. Sampai kapanpun Ibu ... Ibu tetap Ibunya Lia. Lia ... Lia akan selalu main ke sini. Kalau Lia nanti sukses, kita sama-sama merawat panti ini.” Isak tangis Adlia membuat ucapannya terputus-putus. Ia menyampaikan niat hatinya pada Sriyani yang sudah membesarkan dan merawatnya dengan baik.

Lamunan Adlia buyar karena seorang anak kecil menabraknya, sehingga membuatnya tersadar dari nostalgia. Adlia tersenyum lembut menatap anak kecil itu. Ternyata anak itu adalah anak yang ia perhatikan. Anak itu jatuh terduduk, ia menatap Adlia dengan bola mata yang sangat indah. Tatapannya begitu polos, namun terasa bahwa anak itu seolah meminta maaf pada Adlia. Kakak dari anak itu pun menghampiri mereka, ia tersenyum manis.

“Manis sekali,” gumam Adlia.

“Maafkan adik Cika ya, Tante. Adik Cika sudah menabrak Tante,” ucap sang kakak yang menyebut dirinya Cika.

“Ini adik Cika?” Adlia bertanya seolah tidak tahu bahwa itu adiknya. “Kalau Tante boleh tau nama adik Cika siapa?”

“Nama saya Ciko, saya lima tahun.” Anak laki-laki yang menyebut namanya Ciko menjawab Adlia dengan sangat menggemaskan. Adlia tidak tahan untuk tidak mencubit pipi Ciko.

“Adik minta maaf sama Tante, kata umi kalau kita membuat kesalahan harus minta maaf.” Cika seolah menasihati Ciko dengan suara yang menggemaskan.

“Ciko minta maaf ya, Tante. Ciko janji ndak lali-lali lagi,” janji Ciko dengan suara khas anak kecil yang sedang memelas. Lebih menggemaskan lagi ternyata Ciko belum bisa mengucapkan huruf R.

“Iya anak pintar.” Adlia menanggapi dua bersaudara itu dengan mengusap kepala mereka secara bergantian.

Dari jarak beberapa meter, seorang wanita berjalan mendekati Adlia dan dua bersaudara itu berada. Wanita itu ternyata ibu Cika dan Ciko yang sama-sama berteduh. Wanita itu terlihat sangat anggun dengan balutan gamis dan hijab panjang. Wanita itu tersenyum pada Adlia dan mendekati dua anaknya.

“Duh ... maaf ya, Mbak, mereka terlalu lasak dan usil.” Wanita itu meminta maaf pada Adlia dengan suaranya yang lembut dan hangat.

“Iya, Mbak. Tidak apa-apa. Biasa itu, Mbak. Lagian mereka sudah minta maaf. Mereka sangat pintar, Mbak.” Adlia membalas senyum wanita itu dengan senyum menyejukkan dari bibirnya.

“Saya pamit ya, Mbak? Kebetulan hujan sudah berhenti.”

Adlia yang mendengar penuturan bahwa hujan sudah berhenti langsung menatap ke luar. Akibat lamunan singkatnya, Adlia tidak sadar bahwa hujan sudah berhenti. Ia kembali mengalihkan pandangan ke arah ibu dan dua anaknya. Adlia tersenyum lagi dan mengangguk menyetujui ucapan wanita itu.

“Kami pamit ya, Tante. Nanti kita ketemu lagi,” pamit Cika.

“Salim dulu dong sama Tantenya,” tutur ibu Cika dan Ciko, menyuruh kedua anaknya untuk salam dan mencium punggung telapak tangan Adlia.

“Duh, anak pintar. Jadi anak saleh dan salihah, ya.” ucap Adlia tulus.

“Kalau begitu kami pamit ya, Mbak.”

“Iya, Mbak. Hati-hati di jalan,” jawab Adlia ramah.

“Mari, Mbak. Assalaamu’alaikum,” ucap ibu Cika dan Ciko sembari tersenyum ramah dan menganggukkan kepala.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah," jawab Adlia turut menganggukkan kepala.

Cika dan Ciko serta ibunya berlalu meninggalkan Adlia yang tinggal seorang diri. Dia menatap langit yang masih menyisakan awan kelam. Aroma hujan yang masih tercium membuatnya menarik napas dalam. Adlia mengancingkan zipperhoddie dan memakai sarung tangan. Ia memastikan tidak ada barang yang tertinggal, karena sesungguhnya ia sangat ceroboh dan pelupa. Adlia menuju parkiran di mana motornya berada. Motor putih itu dengan setia menunggu Adlia dari derasnya hujan. Ia menyalakan dan memanaskan motornya sebentar, kemudian langsung tancap gas meninggalkan pekarangan masjid menuju kafe miliknya.

Terpopuler

Comments

🌟~Emp🌾

🌟~Emp🌾

maaf, baru ketemu akun mu 🙏

2024-10-22

1

bagus bnget

2024-07-26

1

Amelia

Amelia

salam kenal ❤️🙏

2024-05-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!