Bab 11

Pagi sekali, mentari enggan menampakkan diri. Entahlah, payoda seakan mencegahnya tersenyum menyapa kehidupan. Meskipun begitu, kicau burung terdengar merdu. Sarayu pagi menggerakkan dedaunan yang enggan bersua.

Mereka seolah berteriak, Hei ... ini pagi sekali. Aku ingin bersama mentari, bukan bersama air matamu yang menetes di atasku.

Pagi itu, Adlia jalan-jalan di sekitaran blok sawit miliknya. Blok sawit itu merupakan reward yang diberikan oleh ayah angkatnya. Pada saat itu, Adlia dan Hilmi bisa melobi, sehingga memenangkan kebun milik salah satu PT yang sudah tersita bank dengan penawaran yang cukup murah.

Kebun tersebut sekitar 400 hektar yang sekarang menjadi tempat tinggal Adlia, untuk total luas kebun Agro Sejati, nama perkebunan milik almarhum ayah angkat Adlia, di Kecamatan Bukit Kapur sekitar 1500 hektar, Sedangkan di Kecamatan Medang Kampai sekitar 1000 hektar.

Sesuai janji ayah mereka, Adlia dan Hilmi mendapatkan reward dengan nilai yang sama. Akan tetapi, Adlia memilih kebun yang berada di Kelurahan Kampung Baru, sedangkan Hilmi mendapat bagian yang berada di Kelurahan Bukit Kayu Kapur.

Adlia meniti jembatan yang hanya setapak, yang dinamakan titi panen. Ia menelusuri jalan panen atau path yang berada di antar baris tanam, biasa disebut pasar pikul. Pasar pikul terbentuk searah dengan baris tanam.

Dari tempatnya berdiri, Adlia melihat seorang pemanen membawa egrek, alat panen kelapa sawit yang sudah tinggi. Pemanen itu tidak hanya sendiri, ia bersama seorang yang membawa angkong, gerobak pengangkut.

Adlia berjalan, menyusuri pasar pikul yang rumputnya sudah cukup tinggi. Adlia tidak menggunakan gamis, ia menggunakan celana rok berwarna hitam dan baju kaos cokelat muda selutut. Pakaian Adlia tetap syar'i meskipun keliling perkebunan. Ia tetap mengenakan hijab panjang, sempurna menutup tubuhnya hingga ke panggul.

Adlia memiliki prinsip yang dipegang teguh. Prinsip itu adalah bagaimana dirinya membuktikan kalau ia beriman pada Allah Subhaana Wata'ala, jika dirinya tidak melaksanakan aturan islam, yang telah dipilih dan diyakini sebagai agamanya?

Bukankah cinta kepada manusia harus butuh pembuktian? Lantas, mengapa cinta pada Allah Subhaana Wata'ala yang memberikan kehidupan tidak dibuktikan? Bukankah itu dusta? Itulah prinsip yang terus melekat dipikiran dan kalbu Adlia.

Ketika sampai di dekat pemanen, Adlia tersenyum ramah. Sikap tenang, ramah, dan bersahaja, membuat Adlia terlihat anggun dan elegan. Adlia bukanlah sosok yang terlalu cantik, putih, tinggi.

Tinggi Adlia hanya sekitar 157 cm, lebih pendek dibanding Jihan. Kulit Adlia kuning langsat, hidungnya tidak mancung, namun juga tidak pesek. Bibirnya mungil, apalagi terdorong oleh pipinya yang cabi.

Adlia sangat manis, siapapun yang memandang tidak akan bosan. Jika ia tersenyum, akan terbentuk lubang kecil pada sudut bibirnya. Mata Adlia tidak belok, matanya bulat kecil, apabila tersenyum terlihat seperti bulan sabit.

Tatapan Adlia sendu, namun kadangkala menyorot tajam. Wanita itu begitu penuh wibawa. Oleh karena itu, seseorang berhadapan dengan dia akan merasa segan. Keanggunan, wibawa, tutur kata, dan sikap, membuat dirinya terlihat cantik dan elegan.

"Bagaimana kabarnya, Pak?" tanya Adlia, ketika pemanen itu akan berpindah pohon.

Karena melihat bosnya menyapa, pemanen itu menghentikan aktivitasnya. Pemanen itu terdiam beberapa saat. Ia pun berkata, "Alhamdulillah, baik, Bu. Ibu sendiri bagaimana kabarnya?"

"Alhamdulillah, Allah Subhaana Wata'ala masih memberikan kesehatan. Bapak ancaknya di sini saja?" Adlia kembali bertanya.

"Hari ini di sini. Tapi, biasanya juga di blok yang lain, Bu."

Adlia menganggukkan kepala, ia memahami maksud blok lain. Karena, di area tempat tinggalnya itu adalah perkebunan milik almarhum ayah angkatnya, yang sekarang dikelola oleh Adlia dan Hilmi.

Adlia sengaja memasukkan rotasi panen blok miliknya, dengan milik almarhum ayah angkatnya. Hanya untuk transportasi angkut ke pabrik yang berbeda, karena setiap blok sawit masing-masing pengangkutannya.

"Saya mau lanjut ya, Bu," pamit pemanen itu.

"Oh, iya. Silakan, Pak. Hati-hati kerjanya, Pak."

Pemanen itu berlalu meninggalkan Adlia, lanjut ke sawit selanjutnya. Sepeninggalan pemanen itu, Adlia membalik badan, melangkah ke arah pertama dia masuk.

Saat Adlia sudah berada di TPH, tempat pengumpulan hasil tandan sawit, seorang asisten kebun menghampiri dirinya.

"Loh ... Ibu kenapa di sini?" tanya Riski, asisten kebun yang direkrut dan ditempatkan untuk mengawasi, serta mengatur kebun Red Estate yang luasnya 700 hektar.

"Tidak ada apa-apa, Pak. Saya hanya melihat-lihat saja," jawab Adlia. "Bagaimana kondisi kebun kita saat ini, Pak?" imbuh Adlia, kembali bertanya.

"Sampai saat ini masih aman, Bu. Tapi, seminggu lalu, di blok A25, terjadi pencurian," jawab Riski.

"Oh, iya, Pak. Pak EM sudah memberitahu saya. Cukup banyak juga yang diambil ya, Pak."

"Begitulah, Bu. Kemarin Asisten Humas juga merekrut bagian pengamanan, Bu. Bisa dibilang, kita kurang dalam pengamanan."

"Belum ada laporan ke saya, ya?" tanya Adlia heran.

"Dua hari lalu, saat kami rapat, pak EM menghubungi ibu. Tapi, ibu tidak bisa dihubungi."

Adlia terdiam sejenak, ia ingat bahwa dalam satu minggu ini, dia sibuk akan masalah yang menerpa Jihan. "Iya, Pak. Saya ada sedikit urusan satu minggu ini," jawab Adlia.

Riski manggut-manggut mendengar jawaban atasannya. Ia pun berkata, "Kalau begitu, saya permisi ya, Bu. Mau ke blok lain."

"Oh, iya, Pak. Hati-hati kerjanya, Pak."

Setelah mendapat izin dari atasannya, Riski selaku Asisten Red Estate, mengendarai motor mengawasi setiap pekerjaan.

Beberapa menit kemudian, terlihat motor bebek yang ia kenal menuju ke arahnya. Fira, sesuai yang telah dijanjikan, ia datang dengan membawa banyak kantong plastik yang berisi oleh-oleh.

Masih dengan mesin motor yang menyala, Fira berkata, "Mbak kenapa di sini?"

"Tidak ada, hanya jalan-jalan." Adlia tersenyum menjawab pertanyaan adiknya.

"Ayo, Mbak. Saya lapar, belum sarapan. Saya beli lontong, loh!" tutur Fira, sangat antusias.

"Kamu ini. Ya sudah, ayo!"

Adlia langsung naik dan duduk di belakang Fira. Merasa kakaknya sudah naik, Fira menjalankan motor, menuju ke rumah Adlia, yang berada di blok kebun miliknya sendiri.

Tidak membutuhkan waktu lama, Fira memarkirkan motor di garasi, tepat di sebelah motor Adlia. Fira dan Adlia menenteng kantong plastik yang cukup banyak. Mereka masuk dan menuju ke dapur.

Fira yang sudah lapar, langsung mengambil dua piring untuknya dan Adlia. Ia membuka bungkusan dan menuang lontong ke piring. Melihat kegiatan Fira, Adlia beranjak mengambil sendok dan dua gelas air.

Kakak beradik yang menjadi keluarga saat sudah masuk panti, makan lontong dengan tenang. Adlia menatap Fira, ia tersenyum melihat adiknya yang bernasib sama dengannya. Ditinggal di panti, sendiri, hanya diurus oleh Sriyani dan beberapa anak panti yang sudah beranjak dewasa.

Sekarang, Adlia dan Hilmi yang menyokong dana untuk panti. Karena sebelumnya, ayah angkat Adlia menjadi penyokong dana panti di mana Adlia tinggal.

"Fira ..." panggil Adlia lirih.

Merasa namanya dipanggil, Fira mengangkat pandangannya. Ia mengalihkan tatapan dari piring menatap Adlia. Fira menjawab, "Iya, Mbak?"

"Kamu berhenti dari kafe, ya!"Pernyataan Adlia membuat Fira terkejut, ia langsung menelan makanan yang belum selesai dikunyah.

"Mbak mau mulangkan saya ke Jawa?" Alih-alih menjawab, Fira merasa khawatir, kalau kepulangan Adlia ke Jawa untuk mengantarkannya.

"Mbak sudah tidak mau saya tinggal di sini?" Fira kembali bertanya pada Adlia.

"He ... bukan. Duh ... ini anak," Adlia menyentil dahi Fira, yang langsung meringis merasa perih.

"Jadi apa, dong?" cicit Fira.

"Kamu tinggal di sini sama Mbak, jangan ngontrak lagi, jangan kerja di kafe lagi. Kamu jadi asisten Mbak, nanti ke mana Mbak pergi, kamu ikut."

"Ooooohhh, begituuu. Saya pikir Mbak mau mengantar saya ke Jawa," tutur Fira, ber oh ria sembari menyengir, menampakkan barisan giginya yang putih dan bersih.

"Dasar ... kamu ini."

"Mbak?" Adlia yang masih menyuapkan lontong ke mulutnya, mendongak menatap Fira sekilas. "Mbak belum ada niat menikah?" tanya Fira, membuat Adlia terdiam.

Adlia menatap lekat Fira. Air mukanya sangat serius. Adlia pun berkata, "Mbak mau menyampaikan sesuatu. Hanya saja, Mbak mohon, setelah mendengar cerita Mbak, jangan pernah membenci atau meninggalkan Mbak."

"Mbak itu jangan terlalu serius, dong. Apapun yang terjadi, saya tidak akan membenci Mbak. Beneran!"

Adlia tersenyum, wanita itu mengingat peristiwa yang telah ia lalui. Ia mulai bercerita, bahwa dirinya diminta untuk menikah dengan Azam oleh Jihan. Hingga pada akhirnya, tanpa diduga Adlia menerima lamaran Azam, suami dari Jihan.

Fira terdiam, seketika air matanya menetes. Ia pikir, wanita di hadapannya ini selalu tenang tanpa masalah. Akan tetapi, ternyata Adlia menyimpan seluruhnya sendiri.

"Apa Mbak jahat, Fir?" tanya Adlia.

Fira menggeleng, ia menyeka air mata. "Mbak ... kali ini saja ... jangan pikirkan kebahagiaan orang lain. Pikirkan kebahagiaan Mbak. Dari dulu Mbak selalu mengalah pada kami, Mbak sudah ada keluarga pun, Mbak tetap kerja dan memberikan kami kebahagiaan." Fira terdiam sejenak, ia mengatur napas.

"Mbak menyekolahkan kami, memberikan kami uang jajan. Semua yang Mbak lakukan untuk kebahagiaan orang lain. Mbak tidak harus menuruti mbak Jihan. Mbak punya hak di sini. Bukan mbak Jihan yang membiayai hidup Mbak, tapi almarhum pak Edi. Mbak juga bukan hanya menerima, Mbak bekerja untuknya, Mbak membuat perushaannya semakin meluas. Mbak tidak harus balas budi!" lanjut Fira, bagai kereta api yang melaju.

"Fira ... saya terluka melihat mbak Jihan seperti itu. Entah mengapa, hati saya menyetujui pernikahan ini. Saya khawatir ... kalau mbak Jihan beneran berpisah dengan mas Azam."

"Mbak cemas kalau mbak Jihan tidak bahagia?" tanya Fira.

"Iya."

"Lantas ... akankah mbak bahagia dengan pernikahan ini nantinya?"

Pertanyaan Fira membuat Adlia terdiam. Ia memang sudah terpikir akan hal itu. Hanya saja, seorang Adlia lebih memilih menderita demi kebahagiaan orang yang dicintai.

"Mbak tidak tau, kan? Egois sedikit untuk diri sendiri itu perlu, Mbak!" timpal Fira, melanjutkan ucapannya.

"Mbak yakin ... akan bahagia, Fir. Karena itu, kamu tinggal di sini, kamu jadi asisten Mbak saja. Mbak butuh dukunganmu, Fir." Adlia menggenggam tangan Fira. Air matanya mengalir dengan lembut.

"Apapun yang terjadi ... saya akan selalu bersama Mbak."

Kakak beradik tanpa ikatan darah itu saling menguatkan. Fira merasakan rasa sakit yang dirasakan Adlia. Ikatan batin mereka begitu kuat.

Kali ini ... aku yang akan menjaga kebahagiaanmu, Mbak. Tidak akan kubiarkan seorang pun merusak kebahagiaanmu!

Fira berjanji dalam batinnya.

Terpopuler

Comments

MentariSenja

MentariSenja

🌹untuk Fira

2024-05-03

1

MentariSenja

MentariSenja

naif kali kau Lia...

2024-05-03

1

MentariSenja

MentariSenja

kita sepemikiran Fira, buat apa memikirkan kebahagian orang lain, belum tentu orang lain mikirin kebahagiaan kita, menindas iya

2024-05-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!