Bab 20

Adlia menarik tangan, melepaskan genggamannya pada Jihan. Tatapan Adlia penuh kekecewaan. Setelah melewati drama permintaan Jihan yang gila, kini Adlia harus melewati permintaan Jihan yang melanggar kesepakatan.

"Maaf, Mbak!" tutur Adlia. "Bukankah kita sudah sepakat akan hal itu?" timpal Adlia.

Mendengar pertanyaan Adlia, Jihan merasa disudutkan. Ia merasa Adlia tidak terima dengan permintaannya. Jihan beralih menatap suaminya, ia ingin menaikkan sandaran tempat tidur agar dirinya dalam posisi duduk.

"Bang ... tolong naikkan sandarannya, aku ingin duduk!" pinta Jihan yang langsung dilakukan oleh Azam.

Jihan sudah dengan posisi duduk, ia kembali menatap Adlia. Senyum pahit, tatapan iba, Jihan berikan pada Adlia. Ia merintih, memohon agar Adlia menerima permintaannya.

"Tolong, Lia. Ini sangat berat untukku. Aku ... aku ... ingin segera keluar dari rumah itu!"

Pernyataan Jihan membuat keenam pasang mata terbelalak, baik Adlia, Hilmi maupun Azam, lagi-lagi mereka terkejut akan jalan pikiran Jihan.

"Masalah itu tidak ada hubungannya dengan Lia, Dinda. Abang sudah meminta Yoga mencari rumah untuk kita. Rumah sederhana, namun penuh kenyamanan. Setelah kamu sembuh, kita akan pindah ke rumah kita," tutur Azam, mencoba menenangkan Jihan.

Jihan menatap Azam. Tatapan pilu yang Jihan berikan sungguh menyayat hati Azam. Adlia dan Hilmi hanya memperhatikan, dan mencari jawaban alasan Jihan ingin pisah rumah dari Nurliyah.

"Itu tetap tidak akan membantu, Bang. Segeralah menikah dengan Adlia, agar aku tidak mendengar lagi keinginan mak yang segera menimang cucu dari Lia!" sergah Jihan.

"Mbak ... tenangkan pikiran. Jangan terlalu gegabah mengambil keputusan! Bisa jadi waktu pernikahan Lia yang sebulan bisa mendapat jawaban lain!"

Kini giliran Hilmi yang bersuara. Lagi-lagi ia tidak terima Jihan selalu membuat Adlia tidak bisa memilih jalan hidupnya. Ia menatap Adlia, namun beralih menatap Jihan kembali.

"Sudah cukup membuat Lia tertekan dengan permintanmu sebelumnya, Mbak. Jangan menambah masalah baru!" timpal Hilmi.

Merasa tidak terima dengan ucapan Hilmi, dengan matanya yang sudah memerah, dan wajah yang menahan emosi, Jihan tersenyum sinis pada Hilmi.

"Apa kau mencoba menggagalkan pernikahan Lia dan suamiku?"

Pertanyaan Jihan membuat Adlia dan Azam spontan menatap Hilmi. Pria itu hanya diam membisu. Dalam hati Hilmi membenarkan ucapan Jihan.

"Dengan waktu yang sebulan, kau berharap Lia batal menikah dengan suamiku. Benar, kan?" timpal Jihan, semakin membuat Hilmi habis kesabaran.

"Iya. Itu yang kuharapkan. Aku berharap akan ada cerita lain di antara kalian. Kita tidak tahu Allah menyiapkan takdir yang bagaimana kedepannya, Mbak. Jadi, tolong ... jangan seperti ini!" sanggah Hilmi.

"Dan membiarkan suamiku menikah dengan wanita lain?" Lagi-lagi Jihan membuat Hilmi tidak bisa berkata.

"Bukan itu maksudku, Mbak!" ujar Hilmi.

"Lalu apa? Berharap aku hamil? Padahal jelas aku terbukti mandul! Itu yang kau harapkan?"

Suara Jihan naik satu oktaf, membuat Zidan dan Fira yan baru masuk menjinjing plastik belanjaan menghentikan langkah. Mereka berdua saling pandang, seolah saling bertanya apa yang terjadi.

"Percaya sama Allah, Mbak. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Mbak sendiri tahu bagaimana kisah Nabi Zakaria. Beliau mendapatkan keturunan di usia senja, Mbak!" sergah Hilmi.

Hilmi berusaha menyadarkan Jihan agar tidak gegabah mengambil keputusan. Ia tidak ingin nantinya Jihan kembali terluka, akhirnya kembali menuntut Adlia.

"Apa aku istri Nabi Zakaria?" kilah Jihan.

"Astaghfirullah! Istighfar, Mbak!" Akhirnya suara Hilmi sudah tidak terkendali.

"Jika kalian tidak menyutujui permintaanku ini, maka ...."

Ucapan Jihan terhenti. Spontan menatap gelas kosong di atas nakas, tepat di sebelahnya. Dengan secepat kilat Jihan meraih gelas itu, kemudian membenturkan gelas di tepi nakas, sehingga gelas yang ia pegang pecah.

Sebagian pecahan gelas jatuh bersama serpihannya, menyisakan separuh pecahan gelas yang terbelah. Jihan menggenggam erat pecahan gelas itu. Ia bergantian menatap orang-orang di ruangan itu.

"Astaghfirullah ..." ucap mereka berlima, hampir bersamaan.

"Lebih baik aku pergi menyusul ayah!" ancam Jihan.

"Gila kamu, Mbak!" Hilmi langsung berpindah tempat dengan Adlia. Ia berusaha mengambil pecahan gelas dari genggaman Jihan.

"Apa yang kamu lakukan, Dinda?" sergah Azam, panik melihat hal gila yang dilakukan Jihan. Azam ikut berusaha memegangi tangan kiri Jihan dan memeluknya dengan erat.

"Lepas, Mbak!" ucap Hilmi.

Jihan terlalu kuat menggenggam pecahan gelas. Semakin Hilmi berusaha mengambil pecahan gelas dari tangan Jihan, semakin erat pula Jihan menggenggam benda itu.

Adlia yang hanya terdiam meneteskan air mata, melihat darah mengalir dari telapak tangan Jihan. Tanpa pikir panjang, Adlia menyatakan hal yang tidak ingin ia katakan.

"Saya menerima permintaanmu, Mbak!" ucap Adlia, setengah berteriak.

Hilmi terdiam, ia berhenti merebut pecahan gelas yang sudah terlepas dari genggaman Jihan. Pecahan gelas itu jatuh di atas paha Jihan, terlihat darah menetes dengan deras. Tanpa disadari, tangan Hilmi juga terkena goresan pecahan gelas.

Sedangkan Azam, melihat telapak tangan Jihan merah berlumur darah, ia langsung menekan bel untuk memanggil dokter.

"Aku tidak salah dengar, Lia?" tanya Hilmi yang tidak menyangka Adlia menyetujui permintaan Jihan.

"Saya menyetujuinya. Tapi, saya mohon berhenti menyiksa dirimu, Mbak!" Adlia tidak mengindahkan pertanyaan Hilmi. Ia semakin memperjelas ucapannya pada Jihan.

"Kamu lebih gila, Lia!" tutur Hilmi.

Adlia menatap lekat Hilmi. Ia tahu bahwa pria di hadapannya itu sangat terluka. Akan tetapi, ia lebih tidak bisa melihat Jihan terluka. Saat melihat darah menetes dari genggaman Jihan. Hati Adlia terdorong untuk menyetujui permintaan Jihan.

"Terserah kamu mau bilang apa. Apa aku bisa memilih?" tanya Adlia, mencoba meminta jawaban yang bisa memuaskan hatinya.

"Kita tidak tahu rencana Allah, Lia. Bisa saja pernikahan kalian batal, dan ...."

Belum sempat Hilmi menyelesaikan kalimatnya, Adlia menatap nyalang pada Hilmi. Wanita itu memotong kalimat Hilmi.

"Dan kamu membiarkan mbak Jihan semakin terluka? Apakah kamu tidak menyadari tangan mbak Jihan sudah penuh dengan darah?"

"Kita bisa mencari jalan lain, Lia! Tidak harus itu! Kecuali kamu memang menyukai bang Azam!"

"Plaaakkk!"

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Hilmi. Mata Adlia merah, nyalang menatap Hilmi. Kecewa. Marah. Sedih. Saat itu semua perasaan bercampur jadi satu dalam jiwa Adlia. Ia tidak menyangka, bahwa Hilmi, pria yang ia sukai mengatakan hal yang jelas semakin membuat dirinya terluka.

"Obati tanganmu!" tutur Adlia.

Adlia langsung melangkah pergi menuju keluar ruangan. Hatinya terlanjur sakit dengan ucapan Hilmi. Ia bahkan melewati Fira tanpa kata yang sejak masuk hanya berdiri diam di samping Zidan.

"Mbak!" panggil Fira setengah berteriak.

Adlia tidak menghiraukan panggilan Fira. Ia langsung membuka dan menutup pintu dengan keras. Fira beralih menatap Hilmi yang baru menyadari bahwa telapak tangannya terluka. Ia menatap tajam dan marah pada Hilmi.

Tidak. Bukan hanya pada Hilmi. Tapi pada semua yang ada di ruangan itu. Fira meletakkan plastik belanjaan ke atas meja. Ia kembali menatap Hilmi.

"Seharusnya dirimu tidak mengatakan hal itu pada wanita yang mencintaimu, Mas!" hardik Fira.

"Apa maksudmu?" ucap Hilmi, ia terkejut akan pengakuan Fira.

"Seharusnya Mas Hilmi menyadari bahwa mbak Lia menyukai Mas Hilmi. Tapi, apa? Mas Hilmi menyakitinya. Mas Hilmi membuat mbak Lia kecewa!"

Fira menyeka air matanya yang mulai menetes. Ia jelas merasa marah dengan tuntutan Jihan, ditambah lagi pernyataan Hilmi yang membuat wanita manapun akan terluka.

"Fira ... saya sungguh tidak menyadarinya. Tidak ada niat saya menyakiti Lia!" tutur Hilmi, ia merasa bersalah.

"Mbak Lia juga tidak mau seperti ini, Mas! Merasakan luka, mengorbankan cinta pertamanya, demi kebahagiaan orang lain, dengan dalih balas budi. Kalian semua jahat! Kalian semua yang gila!"

Fira beralih menatap Jihan yang menangis di pelukan Azam. Fira tersenyum getir. Matanya terbuka lebar menahan amarah.

"Kami ... terlebih mbak Lia, yang dibesarkan tanpa orang tua kandung, harus menahan pahitnya hidup tinggal bersama orang lain, lebih memilih kebahagiaan orang lain. Seharusnya kalian menyadari ... mbak Lia rela mengorbankan kebahagiaan demi kalian! Bukan semakin menuntut dengan alasan balas budi! Kalian semua keterlaluan!"

Fira menghardik, meninggikan nada suaranya. Puas dengan emosi yang ia luapkan, Fira bergegas melangkah keluar. Ia berniat mencari Adlia, yang ia yakin pasti sedang menangis.

"Fira!" teriak Hilmi, memanggil Fira yang sudah tidak terlihat saat pintu kembali tertutup.

Setelah Fira keluar, dokter yang datang langsung mengobati luka Jihan. Azam memeluk Jihan membiarkan istrinya menangis dalam dekapannya.

Lia menyukaiku?

Hilmi bertanya dalam hatinya, ia melirik Jihan yang sedang diobati oleh dokter.

Ya Allah ... bagaimana aku bisa menerima ini? Aku mencintainya, namun aku juga tidak bisa mencegah permintaan mbakku. Takdir indah apa yang Engkau siapkan untuk kami, Ya Allah?

Lia ... maafkan aku yang telah melukaimu!

Hilmi kembali berkata dalam hatinya, ia menyesali ucapannya yang melukai Adlia. Hilmi melangkah menuju ke pintu, ia membuka pintu dan keluar dari ruangan itu. Zidan yang bingung harus bagaimana, akhirnya mengikuti Hilmi keluar dari ruang rawat Jihan.

Terpopuler

Comments

Kikan Dwi

Kikan Dwi

fira aku padamu

2024-04-15

0

Kikan Dwi

Kikan Dwi

bagus fira Hilmi bisa-bisanya kamu ngomong gitu

2024-04-15

0

Kikan Dwi

Kikan Dwi

iya lia gila 😂tapi itu demi mbak my yg egois itu

2024-04-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!