Bab 9

Di tengah rindu yang bergelora. Air mata Jihan berderai, membasahi wajahnya yang cantik. Matanya yang belok, biasanya memancarkan aura indah, kini sayu dan membengkak.

Wanita itu duduk di antara pusara mendiang orang tuanya. Ia bersimpuh, menceritakan apa yang terjadi dalam hidupnya. Jihan memeluk nisan ayahnya, ia sangat begitu merindukan sang ayah.

Kenapa harus begini, Yah? Rasanya aku tak sanggup. Aku ingin bersamamu, Yah. Aku rindu Ayah.

Jihan mengungkapkan rindu dalam batinnya. Tidak ada suara dari bibirnya, bahkan tangisnya tak lagi terdengar. Hanya air mata yang mampu menceritakan segala sesak dalam dada.

"Ayah ..." lirih Jihan. Ia mengusap nama Edi Pranoto yang tertulis di batu nisan. Jihan kembali berkata, "Aku hanya ingin Adlia yang menikah dengan suamiku. Aku tidak percaya wanita lain, Yah."

Jihan meratap, ia seakan mengadu pada ayahnya yang tidak mungkin bisa menjawab. Suara Jihan terdengar oleh tiga pasang telinga yang tengah menatapnya. Adlia, Azam, dan Hilmi. Ketiga insan itu merasa pilu melihat sosok yang dicari bersimpuh memeluk nisan orang tuanya.

Azam dan Hilmi mendekati Jihan. Akan tetapi, tidak dengan Adlia. Ia tidak bisa menampakkan diri pada Jihan. Wanita itu hanya berdiri, menatap kakak angkatnya yang tengah merintih.

Hilmi memeluk Jihan yang terkejut akan kedatangan mereka. Jihan tidak menolak perlakuan adiknya, ia juga mengeratkan cengkeraman pada lengan Hilmi.

"Kita pulang ya, Mbak ..." ajak Hilmi pelan.

Tidak ada jawaban dari Jihan, lidahnya keluh, bibirnya seakan terkunci rapat. Hilmi semakin mengeratkan pelukan, sembari mencium pucuk kepala Jihan yang tertutup hijab.

"Saya mohon kita pulang ya, Mbak ..." pinta Hilmi, masih memeluk Jihan.

"Aku tidak akan pulang, kalau Adlia tidak bersedia, Mi!" tutur Jihan, membuat ketiga insan itu terkejut.

"Saya mohon ... jangan Adlia, Mbak!" lirih Hilmi.

Jihan melepaskan diri dari pelukan Hilmi. Ia menatap tajam adik yang selalu melindunginya.

"Kenapa?" selidik Jihan. Ia menyeka sisa air mata yang sudah mengering.

Hilmi terdiam. Ia beralih pandang, menatap sosok Adlia yang masih pada tempatnya. Sorot mata Hilmi menyiratkan segala rasa yang terpendam.

Hilmi pun berkata, "Saya mencintai Adlia, Mbak."

Suara Hilmi tidak kuat, namun masih bisa didengar oleh Adlia. Wanita itu kaget bukan kepalang. Ia melangkah pergi meninggalkan area pemakaman.

Menatap kepergian Adlia, ia hanya bisa diam. Ia tidak mungkin mengejar Adlia saat itu. Pengakuan Hilmi yang tiba-tiba jelas tidak hanya membuat Adlia terkejut, begitu juga dengan Jihan dan Azam. Meskipun Azam merasa bahwa Hilmi memang menyukai Adlia, namun ia juga sama terkejutnya.

Jihan menatap tajam Hilmi yang hanya menundukkan pandangan. Rasa bersalah menyusup dalam hatinya, akan tetapi, bagi Jihan hanya Adlia yang ia percaya menikah dengan suaminya.

"Maafkan aku, Mi. Aku mohon ... jangan menyukai Adlia. Aku hanya mau jika Adlia yang menikah dengan bang Azam!" kekeh Jihan.

"Dinda ... Abang tidak akan menikahi siapapun. Janji Abang dengan ayah, tidak akan pernah Abang ingkari!" tutur Azam. Pria itu membuka suara, karena tidak tahan dengan rintihan istrinya.

"Aku tidak berbicara dengan Abang, aku juga tidak meminta persetujuan Abang. Abang cukup diam ... dan turuti keinginan mak!"

Mendengar ucapan Jihan, Azam kembali terdiam. Ia tidak mungkin mendebat istrinya saat seperti ini. Azam tertunduk, ia menyesali sikap ibunya yang menyudutkan istrinya.

"Aku mohon, Mi! Jangan Adlia ..." rintih Jihan. Ia menggenggam tangan Hilmi yang mengeras.

"Mbak ... saya sangat mencintai Adlia. Saya mohon jangan dia! Saya ..." Hilmi terdiam, ia menatap Azam yang tengah diam membisu. Hilmi pun berkata, "Saya tidak sanggup harus melihat Adlia bersama pria lain. Terlebih lagi, pria itu Abang ipar saya!"

"Jika begitu ... dirimu ingin melihat rumah tanggaku selesai, Mi!" tutur Jihan, membuat Azam mengangkat pandangan, menatap dirinya.

"Apa itu yang engkau inginkan, Dinda?" tanya Azam, yang geram dengan pernyataan istrinya.

Jihan menatap lekat Azam. Wanita itu tersenyum getir. "Mak yang menginginkan ini, Bang! Bukan saya!" sergah Jihan.

"Mak lagi, mak lagi. Kau bisa menolaknya, Jihan!" tegas Azam.

"Kenapa bukan Abang yang menolaknya?" berang Hilmi. Ia tidak tahan mendengar Azam menyudutkan kakaknya, Jihan.

Hilmi kembali berkata, "Saya bukan ingin ikut campur, tapi jika dirimu terus menyalahkan kakak saya ... saya juga tidak terima. Kamu bisa menolak ibumu, Bang. Jangan salahkan istrimu terus!"

Azam menatap tajam Hilmi, ia membenarkan semua ucapan adik iparnya itu. Akan tetapi, ia merasa tidak bisa membantah ibunya. Keras kepala ibunya sama seperti Jihan. Jika ia membantah, maka akan ada hal yang membuat Jihan jauh lebih sakit.

Jihan tersenyum getir menatap suaminya. Ia merasa bahwa suaminya juga tertekan akan sikap mertuanya. Jihan mengalihkan pandangan, menatap nama batu nisan ayahnya.

"Hilmi ... dirimu selalu berjanji untuk menjagaku, kan? Janjimu pada ayah disaat terakhir ayah? Ingat, kan?" tutur Jihan.

Hilmi hanya terdiam, ia juga beralih pandang menatap nisan ayahnya. Ada suatu gejolak rindu yang tidak pernah bisa diungkapkan.

"Saat itu kamu berjanji untuk selalu menjagaku dan Adlia. Kamu berjanji akan menuruti permintaanku sama seperti ayah menurutiku," timpal Jihan.

"Mbak ..." lirih Hilmi.

"Bisakah tepati janji itu, Dek?" tanya Jihan, menatap senduh wajah adiknya. Ia tahu, bahwa permintaannya akan membuat adiknya sakit hati.

Hilmi tidak menjawab, ia masih terus menatap nisan ayahnya. Ingatannya memaksa memutar memori saat terakhir ayahnya. Air matanya menetes, ada sakit yang tidak bisa diungkapkan.

Melihat air mata Hilmi menetes, hati Jihan juga merasakan sakit. Ia tahu betul, bahwa adiknya akan memenuhi permintaannya. Hilmi menarik Jihan ke pelukannya.

"Haruskah saya pertaruhkan cinta ini, Mbak?" lirih Hilmi sembari mengusap kepala Jihan.

"Maafkan aku, Mi ...."

"Jika memang itu yang membuat Mbak bahagia, baiklah ... cinta ini akan saya padamkan, ntah bagaimana caranya." Hilmi terdiam, ia terus mengusap kepala Jihan yang mulai sesenggukkan.

"Aku ... aku minta ... maaf ..." sesal Jihan.

"Sekarang kita pulang, Mbak. Ini sudah mau hujan," ungkap Hilmi menatap langit yang sudah menghitam.

Jihan melepas pelukan Hilmi, ia beralih pandang pada Azam yang hanya diam membisu. Ia menatap nanar pada suaminya. Rasa sakit kembali terasa. Air mata Jihan kembali menetes.

"Bang ..." panggil Jihan pelan. Merasa namanya dipanggil, Azam menoleh menatap istrinya.

"Iya, Sayang," jawab Azam.

"Cintamu begitu indah, Bang. Perlakuanmu, kasihmu, selalu membuatku mencintaimu. Aku yakin ... cinta Abang tidak akan pernah pudar."

Jihan menggeser tubuhnya, ia berpegangan pada tepi pusara ayahnya. Wanita itu mendekati suaminya, Azam. Ia tersenyum indah, menatap wajah Azam. Jihan membelai wajah Azam yang selalu ia rindukan.

"Kumohon ... menikahlah dengan Adlia, Bang!" pinta Jihan.

"Dinda ..." lirih Azam. Ia menarik tubuh Jihan yang beberapa hari ini tidak bisa ia peluk.

Air mata sepasang kekasih halal itu mengucur, membasahi wajah yang tengah dilema. Seakan mengerti dengan suasana saat itu, awan yang menghitam ikut meneteska air mata.

Setetes. Dua tetes. Gerimis perlahan menjadi rintik hujan yang rapat. Akhirnya, hujan mengguyur dengan deras. Saat itu pula, Adlia datang dengan membawa dua payung.

Tangan kiri Adlia terjulur, memayungi Jihan dan Azam yang tengah berpelukan. Sedangkan tangan kanannya memayungi Hilmi yang tengah bersimpuh.

Merasa tubuhnya tidak lagi terkena hujan, Hilmi mengangkat pandangan. Adlia. Wanita itu berdiri tegak menahan derasnya hujan. Melihat itu, Hilmi langsung berdiri merebut payung yang dipegang Adlia. Kini Adlia dan Hilmi berada di bawah payung yang sama, meskipun bahu kanan Hilmi masih terkena hujan.

Azam melepas pelukannya, ia menatap wajah wanita yang selalu dicintai. Dengan derai air mata yang sudah tidak terlihat karena diterpa hujan. Azam mencium kening Jihan dengan penuh hikmat.

"Aku akan selalu mencintaimu, Dinda. Maafkan aku yang menyakitimu!" tutur Azam, mengusap kepala Jihan.

"Aku ... Jihan Nur Almaira ..." Jihan berhenti sejenak, ia mendongakkan kepala menatap Adlia sesaat. "Mengizinkan ... Abang me ... menikah lagi ..." timpal Jihan terpotong-potong karena isak tangis.

Azam tertunduk sesaat, ia langsung bangun dari duduknya. Jihan berusaha ikut berdiri, yang dibantu oleh suaminya. Azam menggantikan Adlia memegang payung. Ia memayungi Jihan yang berada di sampingnya, pria itu merangkul istrinya agar tidak terkena hujan.

Azam menatap lekat pada Adlia. Ia mengembuskan napas berat. Entah apa yang mendorong dirinya, pria itu mengungkapkan hal yang tidak pernah diduga.

Terpopuler

Comments

Albirru Novan

Albirru Novan

hilmi kmu kasihan sekali harus mempertaruhkan cintamu demi menuruti keinginan kakaknya smoga hati kmu kuat dan sabar dalam menghadapi cobaan

2024-05-07

1

MentariSenja

MentariSenja

kasihan hilmi, jihan, katanya saudara tp ucapan jg ditagih, klo bgt apa artinya kekuarga klo perhitungan, kebaikan kok diungkit

2024-05-02

1

MentariSenja

MentariSenja

1 iklan

2024-05-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!