Bab 18

Muntilan, Magelang, Jawa Tengah

Adlia dan Sriyani duduk berdampingan di tepi ranjang kamar Adlia, di antara mereka terletak sebuah kotak tua berwarna cokelat. Kotak itu berisi barang-barang peninggalan ibu kandung Adlia, sebuah warisan yang memiliki petunjuk tentang Adlia.

"Semua ini Ibu serahkan padamu, Nduk. Bawalah barang-barang ini. Ibu sudah cukup menjaganya," ujar Sriyani.

Wanita paruh baya itu menatap manik mata Adlia. Tidak terasa, bulir bening menetes, membasahi pipi yang sudah mulai berkerut.

"Tidak terasa kamu sudah sebesar ini, Nduk. Sudah saatnya kamu mencari ibu kandungmu." Sriyani terus mengelus tangan Adlia.

Adlia tersenyum hampa, ia menatap kotak yang beberapa saat lalu ia buka. "Apa ada seorang ibu yang sengaja meninggalkan anaknya, Bu?" tanya Adlia.

"Nduk ... ibu kandungmu yang melahirkanmu. Ibu yakin ... kalau dia memiliki alasan yang kuat, sehingga rela berpisah denganmu," ujar Sriyani, meyakinkan Adlia bahwa ibu kandungnya tidak seburuk yang ia pikirkan.

"Kalau memang dia memiliki alasan, kenapa sampai sekarang tidak mencari Lia, Bu? Zaman sudah canggih, panti ini alamatnya juga tidak berubah."

Adlia terdiam sejenak. Ia berusaha menahan air mata yang hendak terjun bebas. "Mungkin ... Lia memang lahir dari rahimnya. Tapi, Lia sudah ditakdirkan menjadi anak ibu dan akhirnya bertemu dengan ayah Edi," imbuh Adlia.

"Benar, Nduk. Bukankah menjadi ibu yang melahirkanmu ... itu juga takdir baginya?" Sriyani semakin kuat meyakinkan Adlia, agar Adlia mau menerima ketetapan yang menjadi takdirnya.

"Tapi, Bu ... Lia sudah sangat bersyukur, memiliki Ibu, adik-adik di sini, mbak Jihan dan Hilmi. Menurut Lia itu sudah lebih dari cukup, Bu." Lagi-lagi Adlia berkilah, ia seakan tetap tidak ingin menerima yang telah terjadi.

"Ibu juga bersyukur punya kamu, Nduk. Allah mengirimkanmu ke panti ini. Kamu ikut mempertahankan panti ini. Adik-adikmu bisa sekolah, bisa kuliah, karena dirimu, Nduk."

Sriyani mengalihkan pandangan, menatap isi dalam kotak cokelat itu. "Tapi ... teka-teki hidupmu harus dipecahkan sendiri, Nduk. Bisa jadi ... dia ibu yang berjuang demi dirimu di sana. Kita tidak tau apa yang terjadi saat itu. Buktinya ... dia meninggalkan semua ini, kamu memiliki identitas, tidak seperti anak lain yang ditinggalkan orang tuanya. Dia juga meninggalkan uang tabungan," terang Sriyani.

Wanita itu kembali teringat bagaimana sosok ibu kandung Adlia datang membawanya. Pada tahun itu, melihat dari penampilan dan cara bicara, ibu kandung Adlia termasuk orang yang memiliki kedudukan. Anggun dan penuh wibawa.

Mendengar penjelasan Sriyani, air mata yang ia tahan akhirnya berhasil lolos. Bulir bening itu menetes dengan sombong.

"Ta ... tapi, Bu ...."

Belum sempat Adlia menyelesaikan ucapannya, Sriyani kembali meraih tangan Adlia. "Carilah dia. Jika dia memang sengaja meninggalkanmu karena tidak menginginkanmu, maka ... maafkanlah dia!" tutur Sriyani.

"Memaafkannya?" lirih Adlia.

Adlia merasa itu tidak perlu dilakukan. Ia merasa tidak ada kebencian dalam dirinya. Karena ia merasa hanya Sriyani ibunya.

"Kenapa Lia harus memaafkannya, Bu? Bahkan Lia sendiri tidak memiliki rasa benci sedikitpun. Lia menganggap hanya Ibu ... ibu bagi Lia," timpal Adlia lagi. Ia tetap kekeh pada pendiriannya.

"Kamu yakin, Nduk?" tanya Sriyani. "Tanyalah pada hatimu. Jangan hanya mengandalkan pikiran, yakinkan dirimu, apa ucapanmu yakin?"

Mendengar ucapan Sriyani, Adlia terdiam. Ia membenarkan ucapan Sriyani. Pikirannya berusaha menutupi perasaan ingin bertemu ibu kandungnya. Adlia kembali meneteskan air mata. Ia melupakan takdir Allah Subhaana wa ta'ala yang sudah digariskan untuknya.

Melihat air mata yang mengalir di pipi Adlia, Sriyani menggeser kotak itu, ia juga menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan Adlia. Dengan penuh kelembutan dan kehangatan, Sriyani mengangkat tangan, menepuk-nepuk punggung Adlia untuk menenangkannya.

"Nduk ..." panggil Sriyani dengan lirih. "Jangan terlalu sering menangis."

Adlia menatap Sriyani, matanya merah dan bengkak, semakin terlihat sipit. Adlia mencoba tersenyum, namun air mata masih terus mengalir. Sriyani merasa hatinya teriris melihat Adlia dalam keadaan pilu.

Dengan gerakan yang lembut dan penuh kasih sayang, Sriyani menghapus air mata Adlia dengan ibu jarinya. Wanita itu membawa Adlia ke dalam pelukannya. "Semuanya akan baik-baik saja, Nduk," ujarnya dengan suara yang penuh kehangatan.

Adlia menangis dalam pelukan Sriyani. Ia bersyukur dipertemukan oleh Sriyani, seseorang yang menjadi rumah untuknya.

Sriyani melepas pelukannya. Ia kembali menatap Adlia. "Sudah ... jangan menangis!" Sriyani kembali menyeka air mata Adlia. "Kamu tenangkan diri. Ibu tinggal, ya?" ujar Sriyani, ia berdiri dari duduknya.

"Matursuwun nggih, Bu," ujar Adlia, yang dibalas usapan lembut di pucuk kepalanya.

Sriyani berlalu pergi, menuju ke pintu. Ia membuka pintu dan melangkah keluar kamar. Sriyani kembali menutup pintu, meninggalkan Adlia dalam kesendirian.

Sepeninggalan Sriyani, Adlia kembali menarik kotak itu agar lebih dekat dengannya. Ia menatap diari berukuran A5. Diari itu sudah terlihat usang, namun masih terawat dengan baik. Adlia menarik simpul tali yang menjadi kunci diari itu.

Adlia membuka diari itu, pada halaman pertama, ia menemukan kartu nama tahun akhir 80-an. Ia membaca nama yang tertera pada kartu itu.

"Didik H. J. General Manager Mill Djaya Tea?" gumam Adlia.

Ia terdiam, seakan mengingat sesuatu. Sewaktu Adlia kecil, sebelum ia ikut ke Sumatera bersama ayah angkatnya, Sriyani sudah pernah menunjukkan kartu itu. Akan tetapi, saat itu Adlia masih belum paham betul apa yang harus ia lakukan.

Adlia membolak-balik kartu itu. Matanya tertuju pada alamat yang tertera. "Pekalongan, Jawa Tengah."

Adlia kembali bermonolog pada dirinya sendiri. Ia mencoba mengingat sesuatu. "Pengelolaan teh di Pekalongan setauku milik Kencana Agro. Tapi, ini ..." gumam Adlia lagi.

Cukup lama Adlia terdiam, pikirannya tidak menemukan petunjuk soal Djaya Tea di Pekalongan. "Ah ... entahlah!" kesal Adlia.

Adlia meletakkan kembali kartu nama itu pada halaman pertama diari. Ia menyimpulkan kembali tali diari usang itu. Adlia beranjak dari duduknya, ia melangkah menuju lemari, mengeluarkan ransel miliknya yang sengaja ia tinggal di panti.

Adlia kembali mendekat ke ranjang, ia memindakan isi kotak tersebut ke dalam ransel. Adlia berniat membawa miliknya ke rumahnya, di Riau. Setelah mengembalikan kotak yang telah kosong ke lemari, Adlia meraih ponsel di atas nakas dan kembali duduk di tepi ranjang.

Tengah memainkan ponselnya, tiba-tiba pikiran Adlia tertuju pada Jihan. Ia merasa perasaannya tidak enak terhadap Jihan. Tanpa menunggu lama, Adlia membuka whatsapp, ia menekan nama Jihan pada daftar obrolan chat. Adlia menekan ikon panggilan suara pada nomor kontak Jihan.

Berdering sekali. Berdering dua kali. Adlia menunggu Jihan menjawab panggilan teleponnya. Cukup lama Adlia menunggu, akhirnya panggilan itu diterima oleh Jihan.

"Assalaamu'alaikum." Alih-alih mendengar suara Jihan, Adlia malah mendengar suara Azam mengucap salam.

Adlia terdiam sejenak. Ia kembali memastikan bahwa yang ia hubungi benar nomor kontak Jihan, bukan Azam. Setelah memastikan benar Jihan yang dihubungi, Adlia menjawab salam dan langsung bertanya keberadaan Jihan.

"Wa'alaikumussalam. Di mana mbak Jihan?"

"Lia ..." lirih Azam, suaranya terdenga penuh kekhawatiran. "Kakak kalian sedang dirawat, di Awal Bros. Dia belum sadarkan diri," ujar Azam.

"Apa? Dirawat? Kok bisa, Mas?" Mendengar Jihan dirawat dan belum sadarkan diri, Adlia terkejut bukan main, ia langsung berdiri dari duduknya.

"Maafkan saya yang lalai menjaga kakak kalian," tutur Azam penuh penyesalan.

"Apa yang terjadi, Mas?" Adlia semakin mencecar Azam dari balik ponsel.

Azam menjelaskan pada Adlia apa yang telah terjadi. Dari mereka ribut, dan akhirnya Azam menemukan Jihan sudah terbaring di lantai. Azam juga menceritakan bahwa ia overdosis mengkonsumsi pil tidur.

"Kenapa bisa mbak Jihan minum pil tidur?" tanya Adlia, ia merasa kesal atas kelalaian Azam.

"Saya tidak tahu, Lia. Saya benar-benar lalai menjaga Jihan."

"Ya, sudahlah! Saya akan memberitahu Hilmi dan segera kembali ke Riau. Wassalaamu'alaikum."

Tanpa basa-basi, Adlia langsung mengakhiri panggilannya setelah Azam menjawab salam darinya. Adlia langsung melangkah menuju pintu, ia berniat mencari dan memberitahu Hilmi.

Akan tetapi, layaknya pepatah mengatakan pucuk dicinta ulam pun tiba, saat Adlia membuka pintu, Hilmi sudah berada di hadapannya. Pria itu dengan posisi akan mengetuk pintu kamar.

"Eh ... Lia!" Hilmi sedikit terkejut karena Adlia tiba-tiba berada di hadapannya.

"Mi ... mbak Jihan ..." panik Adlia, matanya sudah mulai berkaca-kaca.

"Ada apa dengan mbak Jihan?" Melihat Adlia panik, Hilmi menjadi khawatir apa yang terjadi dengan Jihan.

"Mbak Jihan ... mbak Jihan ...."

Rasa panik yang menyerang, membuat Adlia sulit memberitahu Hilmi. Adlia merasa jantungnya berdebar kencang. Tangannya gemetar, menatap Hilmi di hadapannya. Ia harus memberitahu Hilmi tentang apa yang terjadi, namun kata-kata tampaknya terjebak di tenggorokannya.

"Lia ..." panggil Hilmi. Ingin rasanya Hilmi meraih dan menggenggam tangan Adlia. Namun ia ingat, bahwa Adlia wanita yang selalu menjaga dirinya dari sentuhan lelaki yang bukan mahram.

"Hilmi ..." lirih Adlia, suaranya bergetar. "Mbak Jihan ... dia ...."

Melihat Adlia yang sudah dikuasai serangan panik. Hilmi menatap Adlia yang menundukkan pandangan. Ia mencoba menenangkan wanita yang telah lama terpatri dalam hatinya.

"Lia ... dengarkan aku! Tenang ... atur napasnya. Istighfar!" tutur Hilmi.

Adlia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengikuti saran Hilmi. "Astaghfirullah ..." ucap Adlia.

Cukup lama Adlia terdiam, panik yang dialami Adlia berangsur mereda. Ia menatap Hilmi yang jelas terlihat khawatir. "Mbak Jihan ... dirawat di Awal Bros, Mi," ujar Adlia, suaranya terdengar berbisik.

Sejenak, keheningan menyelimuti mereka berdua. "Bagaimana bisa?" tanya Hilmi, kini suaranya seakan tercekat di tenggorokan.

Adlia merasa air mata menggenang di pelupuk mata. Adlia menceritakan apa yang ia dengar dari Azam. Ia juga mengatakan bahwa Jihan overdosis pil tidur.

"Pil tidur?" heran Hilmi. Adlia mengangguk menjawab Hilmi. Pria itu kembali berkata, "Bagaimana bisa mbak Jihan mengkonsumsi pil tidur?"

Pertanyaan Hilmi hanya dibalas gelengan lemah oleh Adlia. Ia menatap Hilmi dengan mata berkaca-kaca. Adlia berkata, "Ayo, pulang! Aku khawatir terjadi sesuatu pada mbak Jihan."

"Iya. Kita pulang." Hilmi merogoh ponsel di saku baju. Hilmi kembali menatap Adlia. "Sekarang kamu dan Fira siap-siap. Setelah salat ashar kita berangkat ke Jogja," ujar Hilmi. Adlia hanya mengangguk dan berbalik masuk ke kamar.

Hilmi merasa seketika kepalanya penuh. Rasa khawatir yang ia pendam membuat pikirannya berkecamuk. Hilmi tidak mungkin menampakkan kekhawatirannya di depan Adlia. Ia tahu benar, saat seperti ini dia menjadi tumpuan bagi Adlia dan Jihan.

Bagaimana ini bisa terjadi, mbak?

Hilmi bertanya dalam hati yang jelas tidak akan didengar oleh siapapun, kecuali Yang Maha Esa. Ia merasa geram pada Azam yang akhir-akhir ini tidak bisa menjaga Jihan.

Terpopuler

Comments

Kikan Dwi

Kikan Dwi

jangan nyalahin Azam Hilmi, harusnya kamu tau Jihan seperti apa keras kepala nya masya allah bgt loh

2024-04-14

2

Kikan Dwi

Kikan Dwi

kaya nya Lia itu konglomerat deh

2024-04-14

1

Utayi🌿

Utayi🌿

wihhh ada namaku juga di sini toh 'manik' hahaha 🤣🤣🤣🤣

2024-03-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!