Bab 8

Adlia termenung di ruang keluarga. Ia menatap kosong foto berukuran 40 x 60 cm. Foto yang terbingkai rapi, yang menampakkan kebahagiaan. Foto dirinya bersama keluarga angkatnya, saat Edi Pranoto, ayah angkatnya masih bersama mereka.

Adlia tidak pernah bertemu oleh ibu Jihan dan Hilmi, karena ibu mereka meninggal dunia saat melahirkan Hilmi. Adlia terus menatap foto yang diambil saat Hilmi dan dirinya wisuda. Tanpa Adlia sadari, air matanya menetes, membasahi pipinya yang cabi.

"Kenapa jadi begini, yah?" lirih Adlia, yang tidak mungkin mendapat jawaban dari siapapun. Wanita itu seakan bertanya pada Almarhum Edi.

Tiba-tiba terdengar bel rumah berbunyi, Adlia menyeka air mata. Ia terdiam sejenak, mengatur napas sebelum menemui tamunya. Sekali lagi, bel rumah kembali berbunyi. Terlihat bi Minah datang tergopoh-gopoh, masih memegang sapu.

"Eh ... ada mbak Lia. Saya pikir mbak Lia tidak ada," tutur bi Minah, saat dirinya melihat Adlia berada di ruang keluarga.

Melihat bi Minah yang terburu-buru, Adlia tersenyum dan berkata, "Biar saya saja yang buka, Bi. Terima kasih ya, Bi."

"Baik, Mbak. Kalau begitu, saya ke belakang lagi ya, Mbak." Adlia mengangguk menjawab bi Minah. Setelah bi Minah kembali ke dapur, Adlia berjalan menuju ruang tamu untuk membuka pintu.

Adlia memutar handle, pintu pun terbuka, menampakkan sosok dua pria yang sangat ia kenal. Hilmi dan Azam.

"Assalaamu'laikum." Hilmi dan Azam mengucap salam secara bersamaan.

"Wa'alaikumussalam ..." jawab Lia heran.

"Lia ..." lirih Azam. Terlihat jelas gurat panik pada wajah Azam. "Jihan ada di sini?" tanya Azam, terdengar resah.

Adlia menatap lekat Hilmi. Wanita itu meminta penjelasan, kenapa mencari Jihan pagi-pagi di rumahnya.

"Mbak Jihan tidak ada di rumah, Lia!" ungkap Hilmi. Berbeda dengan Azam yang terlihat resah, sorot mata Hilmi tajam. Ia seakan menahan emosinya yang sudah di ubun-ubun.

"Apa dia ada di sini?" timpal Azam, kembali bertanya.

"Tidak ada! Kalian berdua tau tadi malam saya pulang sendiri!" papar Adlia, mencoba meredam rasa paniknya. "Silakan masuk dahulu!" tawar Adlia, melangkah masuk diikuti oleh Hilmi dan Azam.

"Silakan duduk, Mi, Mas Azam." Adlia menawarkan Hilmi dan Azam duduk. Wanita itu juga ikut mendudukkan tubuhnya.

Ruang tamu Adlia yang bernuansa putih dan abu muda, serta dikombinasi dengan hitam dan warna gold, seharusnya membuat kesan nyaman dan tenang. Akan tetapi, pagi itu, kedatangan Hilmi dan Azam malah membuat ruangan estetik seakan mencengkam.

"Kalian ke mana? Bagaimana bisa kalian tidak tau ke mana mbak Jihan?" cecar Adlia. Ia merasa geram dengan dua pria di hadapannya.

"Kami tadi subuh di masjid. Saat kami hendak ke masjid, pintu kamar masih terkunci. Lalu, kami pulang dari masjid, saya mencoba mengetuk pintu, tidak ada jawaban, saya putar handle dan membuka pintu ... ternyata kamar kosong. Saya cek ke kamar mandi, tidak ada juga. Jihan juga tidak membawa hp," ungkap Azam, menjelaskan pada Jihan.

"Kenapa Mas Azam tidak salat di rumah saja? Di saat begini, tidak masalah Mas Azam salat di rumah. Istrimu sedang kalut, Mas. Dia butuh kamu. Kita tau bagaimana sifat mbak Jihan. Keras kepala. Di luar dia seakan marah, tapi di hatinya butuh sentuhan," sesal Adlia. Ia merasa sangat kesal karena cerita Azam.

"Saya sudah mengatakan pada mas Azam, untuk salat di rumah saja, tapi ..."

"Jangan menyalahkan, Mi! Kamu juga ... kamu harusnya peka, bagaimana situasi mbak Jihan saat ini." Adlia semakin dibuat kesal oleh Hilmi, meskipun Adlia tahu itu memang bukan salah Hilmi.

Adlia diam sejenak, otaknya berputar, memikirkan cara untuk mencari Jihan. Mata Adlia tertuju pada ponsel di atas meja. Wanita itu mengulurkan tangan, meraih ponselnya. Ia mengusap layar dan menekan ikon whatsapp. Adlia membuka oborlan grup kafe dan mengirim pesan.

Assalaamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Saya ingin meminta bantuan pada rekan-rekan. Kakak saya pergi dari rumah, dia tidak membawa hp. Saya meminta tolong untuk mencari kakak saya, tapi lakukan dengan tenang. Jangan sampai mengundang perhatian pihak lain! Hari ini kita tutup saja.

Adlia mengirim pesan pada karyawannya. Ia meminta bantuan untuk mencari Jihan. Adlia mengirimkan foto Jihan, untuk memudahkan mereka mendapatkan informasi keberadaan Jihan.

Selesai dengan ponselnya, Jihan menatap Hilmi. Ia pun berkata, "Hubungi Andri, minta tolong pada dia."

Adlia teringat pada Andri. Ia merupakan kepercayaan Hilmi dalam mengelola usaha sarang walet. Tanpa menunggu waktu lama, Hilmi langsung menelepon Andri.

"Mas Azam ... minta bantuan sama orang mas Azam di Dumai!" timpal Adlia, memberikan perintah pada Azam.

Sama halnya dengan Hilmi, Azam langsung menelepon Fadil, kepercayaan Azam yang mengelola pabrik miliknya. Pria itu memberitahukan apa yang harus dilakukan, dengan aturan melakukan pencarian dengan tenang, tanpa diketahui oleh pihak lain.

"Saya rasa mbak Jihan tidak terlalu jauh, karena dia tidak membawa hp." Adlia terdiam sejenak, ia seakan berpikir. Adlia menatap Azam dan bertanya, "Apa mbak Jihan membawa kartu kredit?"

"Tidak! Semua kartu kredit ada di saya. Dia hanya menggunakan m-banking. Tapi ... hp nya saja ada di saya," ucap Azam, mengeluarkan ponsel milik Jihan dari dalam tas selempang.

"Lalu ... kita bagaimana?" tanya Hilmi.

"Ikut dalam pencarian! Tidak mungkin hanya diam berpangku tangan menunggu informasi, kan?" tutur Adlia.

"Kalau begitu ... kamu dengan saya!" ujar Azam. Mendengar ucapan Azam, Hilmi langsung menoleh, menatap tajam Azam. "Saya kurang paham area Dumai," imbuh Azam.

"Tidak! Lia sama saya!" sanggah Hilmi.

"Kita bertiga mencari bersama!" Adlia memberi keputusan agar Hilmi dan Azam tidak ribut.

Setuju dengan saran Adlia, Hilmi dan Azam menganggukkan kepala. Mereka bertiga bangun dari duduknya, melangkah menuju pintu. Sesampainya di mobil, Hilmi langsung duduk di jok sopir, Azam duduk di sebelah Hilmi, dan Adlia duduk tepat di belakang Hilmi.

Hilmi menyalakan mesin mobil dan mengarahkan ke gerbang. Saat melewati pos penjagaan, Adlia menurunkan kaca. Ia berpesan pada pak Yanto.

"Pak ... saya akan pergi. Kalau mbak Jihan ada datang ke sini, langsung kabari saya ya, Pak," tutur Adlia.

"Baik, Mbak."

"Terima kasih, Pak. Minta tolong pagarnya ya, Pak," timpal Adlia, ia tersenyum ramah.

"Siap, Mbak!" ucap pak Yanto, sembari memberi tanda hormat pada Adlia. Pak Yanto bergegas membuka pagar dengan mendorongnya.

Hilmi mengarahkan mobilnya keluar dari pekarangan rumah Adlia. Pria itu membuka kaca jendela dan melambaikan tangan pada pak Yanto.

"Terima kasih, Pak!" tutur Adlia, ia kembali tersenyum ramah.

Hilmi menambah kecepatan mobil melewati perkebunan milik Adlia. Rumah Adlia hanya beda kelurahan dengan rumah Hilmi. Waktu yang ditempuh hanya kurang lebih 10 menit, dengan kecepatan normal.

Hanya saja, rumah Adlia tidak terletak di perkampungan atau komplek perumahan. Setelah melewati dua kilometer perkebunan milik Adlia, barulah memasuki area perkampungan. Adlia sengaja membuat rumah di kebunnya sendiri, karena menurutnya lebih menenangkan, tidak terlalu berisik dan panas.

Hening dan fokus pada pikiran masing-masing, tiba-tiba dikejutkan dengan dering ponsel milik Azam. Pria itu menjawab panggilan suara dari asistennya, Fadil.

"Halo, sudah ada informasi?" tanya Azam, langsung mencecar lawan bicaranya di balik ponsel.

"Sudah, Pak," jawab Fadil, yang terdengar oleh Hilmi dan Adlia, karena Azam mengaktifkan speaker.

"Di mana?"

"Menurut salah satu anggota di Bagan Besar, ada seseorang yang melihat istri Bapak di area pemakaman seberang simpang AURI."

"Pemakaman?" ulang Azam, yang menoleh pada Hilmi.

"Iya, Pak."

"Baiklah kalau begitu. Terima kasih atas kerja samanya," tutur Azam. Ia langsung menutup panggilan suara.

Azam terdiam sejenak, ia seakan teringat sesuatu. Pria itu berkata, "Saya baru ingat ... waktu dia izin ke Dumai, dia bilang mau ziarah."

Setelah mendengar ucapan Azam, Hilmi menambah kecepatan mobil, menuju TPU di jalan Soekarno-Hatta, seberang simpang AURI.

Terpopuler

Comments

Albirru Novan

Albirru Novan

kok tiba tiba jihan kasihan suamimu dan saudaramu mencarimu kemana" ... semoga masalahnya cepat selesai

2024-05-06

1

Kikan Dwi

Kikan Dwi

Jihan harusnya bicarakan baik2 biar masalah nya cepet kelar tidak mudah memang kalau orang tua ikut campur

2024-04-10

1

Utayi💕

Utayi💕

aku merasa kasian pada Jihan😭

2024-03-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!