Aroma sejuk saat awan gelap menyelimuti langit yang seharusnya menampakkan warna biru. Kumpulan awan meneteskan bulir-bulir bening yang menjadi guyuran deras. Suara angin memberikan irama alam, membuat bulu-bulu halus di kulit berdiri. Embusan angin membuat pepohonan meliukkan setiap ranting, menggerakkan dedaunan menari tak berarah. Suara gemuruh petir sesekali terdengar, menambah kesan dramatis di tengah guyuran hujan. Siang itu cuaca terasa suram, namun keindahan alam yang seolah mengerikan memiliki pesonanya sendiri.
Adlia mengembuskan napas berat, ia terasa mengantuk sekali. Wanita itu mengedarkan pandangan ke seluruh teras masjid. Saat itu, Adlia sedang duduk menanti hujan reda. Ia baru selesai salat zuhur dan ternyata hujan turun dengan deras. Tidak hanya dirinya yang sedang menanti hujan reda. Banyak orang yang sedang berteduh di sana. Terlihat beberapa orang di sana sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang sedang berbincang ringan, ada yang tenggelam dalam kesendirian.
Tatapan Adlia terhenti pada salah satu keluarga kecil yang terlihat sangat hangat. Suami istri itu memiliki dua orang anak yang usianya tidak terpaut jauh. Sang kakak seorang perempuan sepertinya berusia tujuh tahun, sedangkan adik seorang laki-laki sepertinya berusia lima tahun. Senyum kecil terlukis pada wajah Adlia. Ia mengaku sangat iri apabila melihat keluarga yang sangat ceria dan hangat.
Adlia mengembuskan napas berat, terasa ingin merasakan kehangatan keluarga hadir dalam batin. Adlia memang bukan berasal dari keluarga yang penuh kehangatan, bahkan ia tak pernah tau siapa kedua orang tuanya. Adlia tumbuh di panti asuhan sejak dirinya masih mungkin sekitar tujuh bulan — yang Adlia ketahui dari cerita ibu panti. Lamunan Adlia memaksa pikirannya memutar memori saat ibu panti menceritkan siapa ibu dan dirinya.
Saat itu, saat satu keluarga memilih dirinya untuk diadopsi, ibu panti menceritakan siapa ibunya dan memberikan barang-barang peninggalan ibunya. Adlia membuka kotak yang tidak terlalu besar, namun cukup untuk ukuran kertas dokumen. Adlia melihat ada liontin yang sepertinya memiliki pasangan. Terlihat juga beberapa dokumen dengan nama Adlia Azkia Jatmiko. Tatapannya terhenti pada sepucuk surat berwarna biru muda. Surat itu masih terawat meskipun sudah sedikit usang.
“Saat itu, ibumu datang ke sini dengan niat hanya berteduh. Ibumu terlihat pucat sekali. Engkaupun sepertinya sedang flu dan sangat kedinginan. Kakakmu, Fini membawamu untuk mengganti bajumu. Ibumu, Ibu antarkan ke kamar tamu untuk berganti baju dan beristirahat. Ibumu tidak terlihat seperti orang yang tidak mampu. Dari tutur kata dan pakaian yang dikenakan saat itu, ibumu sepertinya orang yang berkecukupan. Tapi, entah masalah apa yang membuatnya lemah tak berdaya,” ucap Sriyani, ibu pengurus panti.
Adlia mendengarkan penjelasan Sriyani. Terasa sakit dalam dadanya, seolah tertusuk beribu sembilu. Selama sebelas tahun ia berpikir orang tuanya membuangnya. Ia berpikir dirinya mungkin seorang anak yang tidak diinginkan kehadirannya. Ia berpikir bahwa ibunya sengaja menitipkannya agar tidak menanggung malu. Bulir bening menetes perlahan membasahi pipi Adlia.
“Ibu ... Lia mohon lanjutkan ceritanya,” mohon Adlia. Sriyani tersenyum dan menganggukkan kepala, wanita itu melanjutkan cerita.
“Ibu tidak tau bagaimana ibumu pergi. Ibu mengetuk pintu kamar membawakan teh panas dan roti untuk mengisi perut ibumu, yang Ibu yakin ibumu sangat lapar. Ternyata ibumu sudah tidak ada di kamar. Ibu menemukan liontin dan semua dokumen serta surat ini," tutur Sriyani sembari mengeluarkan semua dokumen dari dalam kotak.
Sriyani terdiam sejenak, matanya tertuju pada sepucuk surat berisi amanah dari ibu kandung Adlia. Sriyani melanjutkan cerita dan berkata, "Ibu juga memiliki surat dari ibumu, dia meminta ibu untuk merawatmu dengan uang tabungan yang ia miliki. Ibu diminta untuk menemui seseorang untuk mengurus pengambilan dana untuk biayamu. Namun, Ibu tidak menemui orang itu, Ibu tidak mengambil dana untuk biayamu.” Sriyani meneteskan air mata, ia kembali teringat saat bertemu Adlia bayi dan ibunya.
“Mengapa Ibu ... Ibu tidak ... mengambilnya? Itu bisa menjadi tambahan biaya untuk Ibu,” ucap Adlia di sela tangis.
“Tidak.” Sriyani tersenyum dan mengelus kepala Adlia dan berkata, “Saat itu Ibu merasa seperti bertemu dengan anak dan cucu sendiri. Ibu merasa Allah Taala sudah menentukan takdir untuk kita. Ibu hanya menjalankan amanah dari ibumu, untuk memberitahumu saat ada yang ingin mengadopsimu. Jika tidak ada yang mengadopsimu, ibumu berpesan untuk memberitahumu saat sudah berusia 19 tahun.” Sriyani menjelaskan dengan sesekali menyeka air mata dan mengusap kepala Adlia. “Nak?” panggil Sriyani dengan lembut.
“Iya, Bu?” Adlia kecil menjawab dengan tatapan nanar.
“Simpanlah ini, semua ini milikmu. Jika engkau ingin menemui seseorang itu, temuilah saat engkau telah dewasa nanti. Tanya padanya keberadaan ibumu. Ibu yakin kalau ibumu adalah orang yang baik dan tulus. Hanya saja keadaan memaksanya untuk meninggalkanmu di sini. Persiapkan dirimu, karena Ibu tidak ingin luka yang dialami ibumu akan membuatmu terluka. Sesekali datang ke sini, ini tetap rumahmu sampai kapanpun. Ibu tetap Ibumu dan mereka tetap saudaramu.” Sriyani memberikan nasihat kepada Adlia kecil.
Adlia kecil yang rapuh menghambur ke dalam pelukan Sriyani. Dia menangis bersyukur dipertemukan oleh ibu panti yang hangat. Meski tidak dapat dipungkiri, Adlia mengharapkan ibu kandungnya saat ini berada di hadapannya. Adlia ingin memeluk, mencium dan merawat ibunya sampai tua meskipun harapan itu hanyalah sebuah harapan yang entah kapan akan terpenuhi. Namun, Adlia tetap bersyukur, ibu panti yang telah membesarkannya, sangat menyayanginya layaknya ibu kandung, baginya itu lebih dari cukup untuk mensyukuri nikmat-Nya.
“Ibu tetap Ibu bagi Lia. Sampai kapanpun Ibu ... Ibu tetap Ibunya Lia. Lia ... Lia akan selalu main ke sini. Kalau Lia nanti sukses, kita sama-sama merawat panti ini.” Isak tangis Adlia membuat ucapannya terputus-putus. Ia menyampaikan niat hatinya pada Sriyani yang sudah membesarkan dan merawatnya dengan baik.
Lamunan Adlia buyar karena seorang anak kecil menabraknya, sehingga membuatnya tersadar dari nostalgia. Adlia tersenyum lembut menatap anak kecil itu. Ternyata anak itu adalah anak yang ia perhatikan. Anak itu jatuh terduduk, ia menatap Adlia dengan bola mata yang sangat indah. Tatapannya begitu polos, namun terasa bahwa anak itu seolah meminta maaf pada Adlia. Kakak dari anak itu pun menghampiri mereka, ia tersenyum manis.
“Manis sekali,” gumam Adlia.
“Maafkan adik Cika ya, Tante. Adik Cika sudah menabrak Tante,” ucap sang kakak yang menyebut dirinya Cika.
“Ini adik Cika?” Adlia bertanya seolah tidak tahu bahwa itu adiknya. “Kalau Tante boleh tau nama adik Cika siapa?”
“Nama saya Ciko, saya lima tahun.” Anak laki-laki yang menyebut namanya Ciko menjawab Adlia dengan sangat menggemaskan. Adlia tidak tahan untuk tidak mencubit pipi Ciko.
“Adik minta maaf sama Tante, kata umi kalau kita membuat kesalahan harus minta maaf.” Cika seolah menasihati Ciko dengan suara yang menggemaskan.
“Ciko minta maaf ya, Tante. Ciko janji ndak lali-lali lagi,” janji Ciko dengan suara khas anak kecil yang sedang memelas. Lebih menggemaskan lagi ternyata Ciko belum bisa mengucapkan huruf R.
“Iya anak pintar.” Adlia menanggapi dua bersaudara itu dengan mengusap kepala mereka secara bergantian.
Dari jarak beberapa meter, seorang wanita berjalan mendekati Adlia dan dua bersaudara itu berada. Wanita itu ternyata ibu Cika dan Ciko yang sama-sama berteduh. Wanita itu terlihat sangat anggun dengan balutan gamis dan hijab panjang. Wanita itu tersenyum pada Adlia dan mendekati dua anaknya.
“Duh ... maaf ya, Mbak, mereka terlalu lasak dan usil.” Wanita itu meminta maaf pada Adlia dengan suaranya yang lembut dan hangat.
“Iya, Mbak. Tidak apa-apa. Biasa itu, Mbak. Lagian mereka sudah minta maaf. Mereka sangat pintar, Mbak.” Adlia membalas senyum wanita itu dengan senyum menyejukkan dari bibirnya.
“Saya pamit ya, Mbak? Kebetulan hujan sudah berhenti.”
Adlia yang mendengar penuturan bahwa hujan sudah berhenti langsung menatap ke luar. Akibat lamunan singkatnya, Adlia tidak sadar bahwa hujan sudah berhenti. Ia kembali mengalihkan pandangan ke arah ibu dan dua anaknya. Adlia tersenyum lagi dan mengangguk menyetujui ucapan wanita itu.
“Kami pamit ya, Tante. Nanti kita ketemu lagi,” pamit Cika.
“Salim dulu dong sama Tantenya,” tutur ibu Cika dan Ciko, menyuruh kedua anaknya untuk salam dan mencium punggung telapak tangan Adlia.
“Duh, anak pintar. Jadi anak saleh dan salihah, ya.” ucap Adlia tulus.
“Kalau begitu kami pamit ya, Mbak.”
“Iya, Mbak. Hati-hati di jalan,” jawab Adlia ramah.
“Mari, Mbak. Assalaamu’alaikum,” ucap ibu Cika dan Ciko sembari tersenyum ramah dan menganggukkan kepala.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah," jawab Adlia turut menganggukkan kepala.
Cika dan Ciko serta ibunya berlalu meninggalkan Adlia yang tinggal seorang diri. Dia menatap langit yang masih menyisakan awan kelam. Aroma hujan yang masih tercium membuatnya menarik napas dalam. Adlia mengancingkan zipperhoddie dan memakai sarung tangan. Ia memastikan tidak ada barang yang tertinggal, karena sesungguhnya ia sangat ceroboh dan pelupa. Adlia menuju parkiran di mana motornya berada. Motor putih itu dengan setia menunggu Adlia dari derasnya hujan. Ia menyalakan dan memanaskan motornya sebentar, kemudian langsung tancap gas meninggalkan pekarangan masjid menuju kafe miliknya.
Sesampainya di kafe, Adlia langsung mengarahkan motor ke tempat parkir yang dibuat khusus untuknya dan karyawan kafe. Adlia mematikan mesin motor dan langsung menstandar ganda, serta langsung mengunci ganda motornya. Tempat parkir masih kosong, karena memang Adlia datang lebih cepat.
Jika Adlia memiliki waktu, ia akan berkunjung ke kafe dan meminta karyawannya untuk datang terlambat. Bukan tanpa alasan Adlia bersikap seperti itu, ia ingin karyawannya sedikit lebih santai, jika dia bisa datang cepat untuk mempersiapkan kafe buka.
Masih mengenakan helm, Adlia berjalan masuk ke kafe sembari membuka sarung tangan. Saat kaki Adlia menaiki tangga yang hanya ada empat anak tangga, matanya tertuju pada seseorang yang sangat ia kenal. Wanita itu adalah Jihan Nur Almaira, anak pertama dari keluarga yang mengadopsi dirinya belasan tahun lalu.
Kening Adlia mengkerut, kedua alisnya seakan menyatu. Ia heran apa yang telah terjadi pada kakak angkatnya itu, pasalnya Jihan tinggal di Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau, sedangkan Adlia tinggal di Dumai, untuk sampai ke Dumai membutuhkan waktu kurang lebih dua jam perjalanan via TOL.
Mata Adlia tertuju pada koper kecil di samping Jihan. Dirinya hanya melihat Jihan seorang diri, ia tidak melihat ada satupun mobil yang terparkir. Adlia menghampiri Jihan yang sedang duduk termenung, matanya sembab seperti baru berhenti menangis.
“Mbak?” panggil Adlia yang tidak mendapat jawaban dari Jihan. Adlia menyentuh bahu Jihan seraya memanggilnya lagi. “Mbak?” panggil Adlia lagi.
Jihan yang merasa bahunya disentuh seseorang, ia terkejut dan langsung mendongakkan kepala, menatap siapa yang telah menyentuh dirinya. Tidak ada suara yang keluar, bibir Jihan seakan terkunci rapat.
Air mata Jihan kembali mengalir menatap Adlia yang menyadarkan dirinya dari lamunan panjang. Adlia kebingungan, kenapa Jihan langsung menangis saat menatap dirinya.
“Ada apa, Mbak? Kenapa Mbak menangis seperti ini? Mbak datang sama siapa? Mbak ada acara atau bagaimana? Mana mas Azam?” cicit Adlia mencecar Jihan dengan berbagai pertanyaan.
Adlia langsung duduk di samping Jihan, ia merangkul dan mengusap punggung Jihan dengan lembut. Tetap tidak ada jawaban yang terdengar dari Jihan, hanya isak tangis yang mampu menjawab.
“Kita bicara di dalam ya, Mbak?” tawar Adlia yang mendapat anggukkan dari Jihan. Adlia langsung berdiri. “Sebentar, saya buka pintunya dahulu.”
Adlia melangkah menuju pintu yang masih terkunci. Kebetulan, kemarin malam ia berbicara dengan Jihan via ponsel. Adlia mengatakan pada Jihan bahwa dia memiliki waktu senggang dalam beberapa hari dan akan berkunjung ke kafe. Mungkin dari itu, Jihan datang dengan keadaan yang belum diketahui alasannya.
“Mari masuk, Mbak!” ajak Adlia.
Mendengar ajakan Adlia, Jihan bangun dari duduknya, wanita itu melangkah gontai, dirinya seakan tidak memiliki tenaga untuk sekedar berjalan. Adlia menggenggam tangan Jihan, ia mengajak Jihan untuk masuk ke dalam ruang pribadinya.
Adlia berhenti di depan pintu berwarna abu tua, ia memasukkan kode pin pada smartlock pintu. Terdengar bunyi bip saat kode pin benar dimasukkan. Adlia langsung memutar handle dan mendorong pintu, sehingga pintu tersebut terbuka, menampakkan ruangan minimalis yang nyaman.
Ruangan bernuansa abu tua bercampur dengan hitam dan warna keemasan, seakan memberikan kenyamanan tersendiri untuk Adlia. Adlia menyalakan pendingin ruangan, serta membuka gorden dengan mengarahkan remote control, sehingga gorden terbuka secara otomatis. Ruangan Adlia di desain dengan separuh dindingnya adalah kaca, agar kalau siang tidak memerlukan pencahayaan dari lampu.
“Silakan duduk, Mbak!” Adlia mempersilakan Jihan duduk di sofa berwarna abu tua bercampur dengan navy.
“Atau Mbak ingin baring?” tawar Adlia, menunjuk ke arah single bad yang memang ia sediakan, apabila ia tidak ingin pulang ke rumah, ia bisa tidur di kafe, mengingat rumah dan jarak kafe lumayan memakan waktu —rumah Adlia berada di Kecamatan Bukit Kapur, sedangkan kafenya berada di Kecamatan Dumai Kota, yaitu pusat kotanya Dumai.
“Saya duduk saja,” jawab Jihan yang langsung duduk di sofa.
“Sebentar ya, Mbak. Saya mau menghubungi Fira,” izin Adlia yang langsung menuju meja kerja.
Adlia meletakkan tas ransel warna hitam yang selalu menemaninya di atas meja. Adlia membuka tas mencari ponselnya. Saat tangannya menyentuh benda pipih, Adlia langsung mengeluarkan benda itu dan mengusap layar. Adlia mengetik nama Fira pada daftar kontak dan langsung menekan ikon panggilan telepon. Tidak membutuhkan waktu lama, terdengar suara Fira mengucap salam dari balik ponsel.
“Assalaamu’alaikum, Mbak.”
“Wa’alaikumussalam warahmatullah.” Adlia menjawab salam dari Fira. “Fira?” panggil Adlia memastikan bahwa lawan bicaranya itu mendengarnya.
“Iya, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?”
“Kamu datang sekarang ke kafe, ya!” pinta Adlia.
“Mbak tidak jadi datang?” tanya Fira yang terdengar heran, pasalnya baru beberapa jam yang lalu Adlia menghubungi dirinya untuk sedikit santai, karena dirinya yang akan menyiapkan kafe buka.
“Tidak. Mbak sudah datang, hanya saja mbak Jihan datang berkunjung, tidak mungkin Mbak tinggal mbak Jihan yang sudah datang jauh-jauh dari Pekanbaru.” Adlia menjelaskan pada Fira dari balik ponsel.
“Bisa datang sekarang, kan?” timpal Adlia lagi, memastikan kesiapan Fira.
“Bisa, Mbak. Ini saya juga sudah mau berangkat,” jawab Fira yang memang sudah bersiap menjalankan motornya.
“Baiklah kalau begitu. Terima kasih ya, Fira. Hati-hati di jalan,” tutur Adlia ramah.
“Baik, Mbak. InSyaaAllah.”
“Assalaamu’alaikum.” Adlia mengucap salam dan langsung mengakhiri panggilan ponsel setelah mendengar Fira menjawab salam.
Adlia menatap Jihan kemudian bergantian menatap koper kecil milik Jihan. Adlia mengembuskan napas berat, ia tidak mengerti kenapa Jihan jauh-jauh dari Pekanbaru membawa koper kecil, yang lebih membuat Adlia bingung adalah mengapa Jihan datang ke Dumai sendirian. Tidak pernah Jihan dibiarkan datang sendiri ke Dumai. Biasanya kalau tidak dengan suaminya, pasti dijemput oleh Hilmi, adiknya yang memang tinggal di Dumai.
Adlia memijat keningnya, ia merasa pusing dengan kehadiran Jihan. Dalam benak Adlia, pasti terjadi sesuatu sehingga Jihan datang sendiri dengan membawa koper.
Adlia melangkah mendekati Jihan yang tengah duduk bersandar di sofa, mata Jihan menatap langit-langit yang bernuansa putih. Adlia menyodorkan sebotol air mineral, mempersilakan Jihan untuk minum.
“Minum, Mbak. Biar ada tenaganya,” tutur Adlia yang sudah membukakan segel tutup botol.
Jihan membenarkan posisi duduknya, ia menerima sebotol air yang diberikan Adlia.
“Terima kasih, Lia.”
Jihan langsung meminum air tersebut, seperti memang kehausan, Jihan meminum sampai setengah botol air 600 ml. Jihan meletakkan botol ke atas meja, pikirannya menerawang jauh. Hanya keheningan yang menyelimuti ruangan itu.
“Mbak sudah salat?” tanya Adlia sembari menatap jam yang menunjukkan pukul 14.45 WIB.
“Aku sedang datang bulan, Lia,” jawab Jihan lemas.
“Mbak mau makan apa?” tawar Adlia yang menduga pasti Jihan belum makan.
“Aku sedang tidak ingin makan.” Mendengar jawaban singkat Jihan, Adlia memilih diam.
Keheningan kembali menyapa dua insan yang tengah berkutat pada pikiran masing-masing.
Dering ponsel Adlia membuyarkan keheningan, ia melihat satu notifikasi pesan atas nama Azam Gumelar, yang merupakan suami Jihan.
Adlia tidak langsung membuka pesan masuk dari Azam, ia menatap sekilas pada Jihan yang tengah memejamkan mata. Dengan rasa penasaran mengapa Azam mengirimnya pesan, Adlia membaca chat dari Azam di whatsapp.
Assalaamu’alaikum, Lia. Maaf jika sekiranya saya lancang mengirimmu pesan. Saya ingin menyampaikan sesuatu, tolong jaga Jihan sampai dirinya tenang. Ini permintaannya untuk datang ke Dumai. Saya tidak bisa menyebutkan apa yang terjadi, jika Jihan berkenan menyampaikannya, maka tunggu saja Jihan bercerita. Tolong jangan beritahu Jihan bahwa saya mengirimmu pesan ini. Saya juga akan memberitahu Hilmi kalau Jihan datang ke Dumai. Biarkan Jihan tenang bersama kalian di sana, jika dia perlu sesuatu tolong berikan dan belikan, saya akan menggantinya. Jihan tidak membawa uang sedikitpun. Terima kasih. Wassalaamu’alaikum.
Adlia membaca pesan dari Azam dalam hati, ia tidak berani memberitahukan pesan Azam pada Jihan. Adlia hanya memberi reaksi tanda jempol merespon pesan Azam.
“Mbak mau cerita sekarang atau mau istirahat dahulu?” tanya Adlia. Setelah membaca pesan Azam, ia ingin memberikan waktu untuk Jihan menenangkan pikiran.
“Aku pinjam ruangan ini sebentar ya, Lia. Aku ingin sendiri,” ucap Jihan meminta izin pada sang empunya ruangan. Adlia tersenyum manis, ia mengerti akan permintaan Jihan.
“Kalau begitu Mbak istirahat, ya. Tidur saja di sana,” tawar Adlia menunjuk ke single bad.
“Terima kasih.”
Adlia bangun dari duduk dan meraih ponselnya. Ia melangkah menuju pintu meninggalkan Jihan seorang diri. Adlia memberikan waktu untuk Jihan dapat menceritakan apa yang terjadi jika dia ingin menceritakan, bagaimanapun Adlia tidak ingin mengganggu privasi kakak angkatnya itu.
Jika Azam saja sudah berpesan seperti itu tanpa sepengetahuan Jihan, sudah bisa diduga itu pasti masalah rumah tangga mereka. Adlia tidak berhak bertanya lebih, apabila itu sudah tentang rumah tangga Jihan. Jika Jihan ingin bercerita, maka ia hanya akan menjadi pendengar tanpa harus memberikan saran.
Terdengar denting jam yang menempel di salah satu sisi dinding, jarum jam panjang menunjukkan angka 12, sedangkan jarum jam pendek menunjukkan angka 3, yang artinya jam telah menunjukkan pukul 15.00. Adlia menghela napas berat, pikirannya masih menuju pada Jihan. Bagaimanapun, Jihan tetaplah kakak baginya.
“Jadi bingung apa yang harus dikerjakan,” gumam Adlia.
Adlia terdiam beberapa detik, ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Wanita itu berjalan menuju rak tempat remote control gorden dan AC berada.
Hanya membutuhkan beberapa langkah, Adlia meraih remote control gorden. Ia mengarahkan remote control pada setiap sisi ruangan yang tertutup gorden. Ruangan itu menjadi lebih terang, karena sisi depan dan samping merupakan dinding kaca.
Setelah semua gorden terbuka, Adlia mengembalikan remote control gorden dan mengambil remote control AC. Adlia mengarahkan pada empat AC. Tiba-tiba terdengar suara lonceng saat pintu kafe terbuka, Adlia mengalihkan pandangan ke arah pintu, terlihat Fira masuk masih mengenakan hoodie dan helm. Fira merupakan adik Adlia di panti, yang menjadi kepercayaan Adlia untuk mengurus kafe.
“Assalaamu’alaikum, Mbak,” ucap Fira.
“Wa’alaaikumussalam warahmatullah,” kata Adlia menjawab salam dari Fira.
Sesaat, Adlia meletakkan remote control AC, ia kemudian kembali menatap Fira dan berkata, “Syukurlah kamu cepat datang. Sudah jam 3, tapi saya belum beres-beres.”
“Iya, Mbak. Saya mau langsung ke belakang ya, Mbak. Biar saya yang beres-beres di belakang, Mbak membereskan area luar saja.”
Fia menjelaskan apa yang akan dilakukannya dan apa yang harus dilakukan Adlia.
“Maaf, Mbak. Bukan saya memerintah, tapi kita sudah mepet waktu untuk buka,” timpal Fira lagi, takut kakak sekaligus bosnya tersinggung.
“Iya. Tidak apa-apa, Fira.” Adlia tersenyum mendengar penjelasan Fira.
“Mbak Jihan di mana, Mbak?” tanya Fira celingukkan seolah mencari keberadaan Jihan.
“Beliau sedang istirahat,” jawab Adlia tersenyum. Fira mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. “Ya sudah, kamu cepat ke belakang. Saya mau membereskan area luar,” timpal Adlia.
“Siap, Bos.”
Adlia dan Fira langsung melangkah menuju tugas masing-masing. Adlia melangkah menuju pintu, ia akan membereskan kursi dan meja yang berada di area outdoor, sedangkan Fira menuju area belakang, bagian proses pengolahan menu kafe atau bagian dapur.
Saat Adlia tengah menata kursi dan meja di area outdoor, dua karyawan yang baru datang menghampirinya.
“Assalaamu’alaaikum, Mbak.” Ucapan salam kedua karyawan Adlia membuatnya terkejut, spontan Adlia menoleh menatap ke arah sumber suara.
“Eh ... Wa’alaaikumussalam,” jawab Adlia terkejut.
“Apa kabar, Mbak?” ucap Tiara wanita yang berpawakan tinggi, langsing, dengan kulit kuning langsat.
“Alhamdulillah, baik. Tiara dan Mas Gilang sehat?” ucap Adlia bertanya pada kedua karyawannya. Adlia memanggil Gilang dengan sebutan mas, karena Gilang lebih tua dua tahun darinya, sedangkan Tiara lebih muda darinya.
“Alhamdulillah ... baik, Mbak.” Gilang dan Tiara menjawab hampir bersamaan.
“Kami langsung masuk ya, Mbak?” ucap Gilang, karyawan laki-laki, yang merupakan chef kebanggaan Oksigen Cafe, kafe milik Adlia.
“Silakan!” jawab Adlia ramah, mempersilakan kedua karyawannya.
“Mari, Mbak.” Gilang dan Tiara langsung melangkah masuk ke kafe, meninggalkan bosnya yang tengah menata kursi dan meja.
Adlia tidak mempermasalahkan kalau kedua karyawan itu tidak membantunya. Karena sebelumnya Adlia telah membuat peraturan, bahwa mereka harus menjalankan pekerjaan sesuai jobdesc masing-masing. Akan tetapi, jika memang sedang sibuk dan rekannya meminta bantuan, harus siap membantu.
Adlia kembali melanjutkan aktivitasnya, merapikan sedikit kursi yang posisinya belum pas. Dirasa telah pas dan rapi, Adlia melangkah masuk ke kafe. Saat kakinya menapak pada anak tangga pertama, ia mendengar suara yang sangat dikenal memanggil dirinya. Hilmi.
“Akhirnya yang ditunggu datang juga,” gumam Adlia.
“Di mana mbak Jihan?” ucap Hilmi langsung bertanya keberadaan kakaknya.
“Sedang istirahat. Mbak Jihan meminta waktu untuk sendiri ... sebaiknya kita biarkan saja mbak Jihan tenang.” Adlia memberi saran yang dibalas dengan anggukkan oleh Hilmi.
Pria itu terlihat gusar. Ia memijit kening yang sama sekali tidak sakit, namun penuh kecamuk oleh masalah yang menimpa kakaknya. Hilmi mendudukkan diri pada anak tangga. Melihat Hilmi duduk, Adlia juga ikut duduk dengan jarak 1 meter dari Hilmi.
“Apa mbak Jihan sudah cerita padamu?” tanya Hilmi.
“Belum.”
“Jadi, kamu tidak tahu apa yang terjadi?” Hilmi bertanya dengan menatap Adlia. Bukan jawaban yang didengar Hilmi, namun hanya anggukkan kepala yang diterima Hilmi.
Keheningan menyapa Hilmi dan Adlia. Hanya suara kendaraan yang berlalu lalang di jalanan yang terdengar. Bahkan embusan napas keduanya tidak terdengar. Hilmi menundukkan kepala, pria itu mengusap kepala kasar. Kedua tangannya memegang kepala yang mungkin ia rasa akan lepas.
“Kamu sudah tahu apa yang terjadi?” Adlia memberanikan diri bertanya perihal Jihan.
“Bang Azam sudah menceritakan, tapi belum detail. Besok beliau akan datang dan menjelaskan secara langsung. Saya tidak tahu harus bagaimana,” tutur Hilmi lirih, masih dengan posisinya.
“Kenapa tidak sekarang juga mas Azam datang dan menjelaskan pada kita?” tanya Adlia.
“Siang ini dia harus berangkat ke Kampar. Ada masalah dengan pembibitan pre nursery,” jawab Hilmi, memberitahukan alasan Azam tidak bisa langsung menyusul Jihan.
Adlia mengangguk tanda paham. Ia mengerti apa yang dimaksud dengan pembibitan pre nursery, yang merupakan pembibitan awal pada kelapa sawit. Adlia mengerti dengan kelapa sawit, dikarenakan dirinya dan Hilmi mengurus perkebunan milik orang tua Hilmi. Adlia juga telah memiliki sendiri sekitar 30 hektar kebun sawit. Wanita itu mengembuskan napas berat.
“Saya tidak tahu apa yang terjadi, tebakan saya itu masalah rumah tangga mereka, kan?” Mendengar pertanyaan Adlia, Hilmi mengangguk pelan, menjawab wanita yang merupakan saudari angkatnya.
Adlia kembali berkata, “Tadi mas Azam juga chat. Hanya saja, dia tidak ingin mbak Jihan tahu. Saya tidak bertanya lebih. Saya hanya menebak dari pesan mas Azam, kalau itu masalah rumah tangga mereka.” Adlia menjelaskan bahwa dirinya mendapat pesan dari Azam, suami Jihan.
“Saya bingung, Lia ...” lirih Hilmi.
Adlia terdiam, ia tidak tahu bagaimana merespon Hilmi, karena ia sama bingungnya dengan Hilmi. Bagaimanapun juga, Adlia sudah menganggap Jihan dan Hilmi adalah saudara kandungnya.
Maka dari itu, masalah mereka juga masalah Adlia. Beban yang ditanggung dua saudara itu, juga harus ditanggung oleh Adlia. Dengan begitu ia merasa tidak terbebani dengan kebaikan keluarga angkatnya.
Saat keheningan kembali menyelimuti kedua insan itu, azan berkumandang, yang menandakan waktu salat asar telah tiba.
“Sebaiknya kita salat dahulu. Kita tenangkan pikiran kita, kamu mau ke masjid atau salat di sini saja?” tanya Adlia memastikan Hilmi hendak salat di mana.
“Di sini saja.” Hilmi menjawab dengan singkat, namun penuh kelembutan.
“Ya sudah, ayo masuk!” ajak Adlia.
Adlia bangun dari duduknya, ia melangkah menaiki anak tangga yang tersisa. Sampainya di depan pintu, Adlia membalikkan tulisan close menjadi open, menandakan bahwa kafe telah buka. Sebelum masuk ke kafe, Adlia kembali menoleh ke arah Hilmi, pria itu masih setia menemani anak tangga.
“Hilmi!” panggil Adlia sedikit mengeraskan suara. “Ayo, masuk!” timpalnya mengajak Hilmi masuk.
Hilmi yang mendengar panggilan dari Adlia langsung bangun dari duduknya. Ia melangkah menaiki anak tangga. Hilmi mengikuti Adlia masuk ke dalam kafe. Terdengar suara lonceng saat pintu kafe terbuka. Hilmi menatap Adlia sekilas, hatinya terasa sejuk, saat tengah gelisah menatap wanita yang selama ini diam-diam ia kagumi.
"Saya ingin bertemu mbak Jihan dahulu, Lia!" ungkap Hilmi, yang merasa tidak tenang, karena dirinya belum bertemu kakaknya.
Adlia mengangguk, ia melangkah menuju ruangan di mana Jihan berada. Adlia memasukkan kode pada smartlock pintu, kemudian ia memutar handle. Pintu ruangan terbuka, menampakkan ruangan yang elegan, minimalis, dan memberikan kesan yang nyaman.
Saat Adlia dan Hilmi masuk, dua pasang mata itu langsung menangkap sosok wanita yang tengah menangis. Jihan. Iya. Wanita itu telah terisak di tengah kesendirian.
Hilmi langsung duduk di sebelah Jihan, pria itu membawa tubuh Jihan ke pelukannya. Hilmi tidak sanggup melihat kakak satu-satunya dalam kondisi seperti itu. Bagi Hilmi, luka Jihan adalah luka baginya.
Adlia yang sedari masuk bersama Hilmi hanya berdiri. Ia bingung harus bagaimana. Wanita itu juga merasa terluka melihat Jihan dalam kepiluan.
Adlia memberanikan diri mendekat, ia duduk di samping Jihan. Adlia mengusap punggung Jihan yang masih dalam pelukan Hilmi. Air mata Adlia mengalir, membasahi wajahnya yang ayu.
Lidah mereka keluh, bibir seakan terkunci rapat. Tidak ada kata yang keluar, hanya isak tangis yang terdengar di dalam ruang kehampaan. Ketiga bersaudara itu saling menguatkan. Batin mereka seakan saling terpaut, sehingga dapat merasakan luka yang tengah dirasakan Jihan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!