Bab 3

Terdengar denting jam yang menempel di salah satu sisi dinding, jarum jam panjang menunjukkan angka 12, sedangkan jarum jam pendek menunjukkan angka 3, yang artinya jam telah menunjukkan pukul 15.00. Adlia menghela napas berat, pikirannya masih menuju pada Jihan. Bagaimanapun, Jihan tetaplah kakak baginya.

“Jadi bingung apa yang harus dikerjakan,” gumam Adlia.

Adlia terdiam beberapa detik, ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Wanita itu berjalan menuju rak tempat remote control gorden dan AC berada.

Hanya membutuhkan beberapa langkah, Adlia meraih remote control gorden. Ia mengarahkan remote control pada setiap sisi ruangan yang tertutup gorden. Ruangan itu menjadi lebih terang, karena sisi depan dan samping merupakan dinding kaca.

Setelah semua gorden terbuka, Adlia mengembalikan remote control gorden dan mengambil remote control AC. Adlia mengarahkan pada empat AC. Tiba-tiba terdengar suara lonceng saat pintu kafe terbuka, Adlia mengalihkan pandangan ke arah pintu, terlihat Fira masuk masih mengenakan hoodie dan helm. Fira merupakan adik Adlia di panti, yang menjadi kepercayaan Adlia untuk mengurus kafe.

“Assalaamu’alaikum, Mbak,” ucap Fira.

“Wa’alaaikumussalam warahmatullah,” kata Adlia menjawab salam dari Fira.

Sesaat, Adlia meletakkan remote control AC, ia kemudian kembali menatap Fira dan berkata, “Syukurlah kamu cepat datang. Sudah jam 3, tapi saya belum beres-beres.”

“Iya, Mbak. Saya mau langsung ke belakang ya, Mbak. Biar saya yang beres-beres di belakang, Mbak membereskan area luar saja.”

Fia menjelaskan apa yang akan dilakukannya dan apa yang harus dilakukan Adlia.

“Maaf, Mbak. Bukan saya memerintah, tapi kita sudah mepet waktu untuk buka,” timpal Fira lagi, takut kakak sekaligus bosnya tersinggung.

“Iya. Tidak apa-apa, Fira.” Adlia tersenyum mendengar penjelasan Fira.

“Mbak Jihan di mana, Mbak?” tanya Fira celingukkan seolah mencari keberadaan Jihan.

“Beliau sedang istirahat,” jawab Adlia tersenyum. Fira mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. “Ya sudah, kamu cepat ke belakang. Saya mau membereskan area luar,” timpal Adlia.

“Siap, Bos.”

Adlia dan Fira langsung melangkah menuju tugas masing-masing. Adlia melangkah menuju pintu, ia akan membereskan kursi dan meja yang berada di area outdoor, sedangkan Fira menuju area belakang, bagian proses pengolahan menu kafe atau bagian dapur.

Saat Adlia tengah menata kursi dan meja di area outdoor, dua karyawan yang baru datang menghampirinya.

“Assalaamu’alaaikum, Mbak.” Ucapan salam kedua karyawan Adlia membuatnya terkejut, spontan Adlia menoleh menatap ke arah sumber suara.

“Eh ... Wa’alaaikumussalam,” jawab Adlia terkejut.

“Apa kabar, Mbak?” ucap Tiara wanita yang berpawakan tinggi, langsing, dengan kulit kuning langsat.

“Alhamdulillah, baik. Tiara dan Mas Gilang sehat?” ucap Adlia bertanya pada kedua karyawannya. Adlia memanggil Gilang dengan sebutan mas, karena Gilang lebih tua dua tahun darinya, sedangkan Tiara lebih muda darinya.

“Alhamdulillah ... baik, Mbak.” Gilang dan Tiara menjawab hampir bersamaan.

“Kami langsung masuk ya, Mbak?” ucap Gilang, karyawan laki-laki, yang merupakan chef kebanggaan Oksigen Cafe, kafe milik Adlia.

“Silakan!” jawab Adlia ramah, mempersilakan kedua karyawannya.

“Mari, Mbak.” Gilang dan Tiara langsung melangkah masuk ke kafe, meninggalkan bosnya yang tengah menata kursi dan meja.

Adlia tidak mempermasalahkan kalau kedua karyawan itu tidak membantunya. Karena sebelumnya Adlia telah membuat peraturan, bahwa mereka harus menjalankan pekerjaan sesuai jobdesc masing-masing. Akan tetapi, jika memang sedang sibuk dan rekannya meminta bantuan, harus siap membantu.

Adlia kembali melanjutkan aktivitasnya, merapikan sedikit kursi yang posisinya belum pas. Dirasa telah pas dan rapi, Adlia melangkah masuk ke kafe. Saat kakinya menapak pada anak tangga pertama, ia mendengar suara yang sangat dikenal memanggil dirinya. Hilmi.

“Akhirnya yang ditunggu datang juga,” gumam Adlia.

“Di mana mbak Jihan?” ucap Hilmi langsung bertanya keberadaan kakaknya.

“Sedang istirahat. Mbak Jihan meminta waktu untuk sendiri ... sebaiknya kita biarkan saja mbak Jihan tenang.” Adlia memberi saran yang dibalas dengan anggukkan oleh Hilmi.

Pria itu terlihat gusar. Ia memijit kening yang sama sekali tidak sakit, namun penuh kecamuk oleh masalah yang menimpa kakaknya. Hilmi mendudukkan diri pada anak tangga. Melihat Hilmi duduk, Adlia juga ikut duduk dengan jarak 1 meter dari Hilmi.

“Apa mbak Jihan sudah cerita padamu?” tanya Hilmi.

“Belum.”

“Jadi, kamu tidak tahu apa yang terjadi?” Hilmi bertanya dengan menatap Adlia. Bukan jawaban yang didengar Hilmi, namun hanya anggukkan kepala yang diterima Hilmi.

Keheningan menyapa Hilmi dan Adlia. Hanya suara kendaraan yang berlalu lalang di jalanan yang terdengar. Bahkan embusan napas keduanya tidak terdengar. Hilmi menundukkan kepala, pria itu mengusap kepala kasar. Kedua tangannya memegang kepala yang mungkin ia rasa akan lepas.

“Kamu sudah tahu apa yang terjadi?” Adlia memberanikan diri bertanya perihal Jihan.

“Bang Azam sudah menceritakan, tapi belum detail. Besok beliau akan datang dan menjelaskan secara langsung. Saya tidak tahu harus bagaimana,” tutur Hilmi lirih, masih dengan posisinya.

“Kenapa tidak sekarang juga mas Azam datang dan menjelaskan pada kita?” tanya Adlia.

“Siang ini dia harus berangkat ke Kampar. Ada masalah dengan pembibitan pre nursery,” jawab Hilmi, memberitahukan alasan Azam tidak bisa langsung menyusul Jihan.

Adlia mengangguk tanda paham. Ia mengerti apa yang dimaksud dengan pembibitan pre nursery, yang merupakan pembibitan awal pada kelapa sawit. Adlia mengerti dengan kelapa sawit, dikarenakan dirinya dan Hilmi mengurus perkebunan milik orang tua Hilmi. Adlia juga telah memiliki sendiri sekitar 30 hektar kebun sawit. Wanita itu mengembuskan napas berat.

“Saya tidak tahu apa yang terjadi, tebakan saya itu masalah rumah tangga mereka, kan?” Mendengar pertanyaan Adlia, Hilmi mengangguk pelan, menjawab wanita yang merupakan saudari angkatnya.

Adlia kembali berkata, “Tadi mas Azam juga chat. Hanya saja, dia tidak ingin mbak Jihan tahu. Saya tidak bertanya lebih. Saya hanya menebak dari pesan mas Azam, kalau itu masalah rumah tangga mereka.” Adlia menjelaskan bahwa dirinya mendapat pesan dari Azam, suami Jihan.

“Saya bingung, Lia ...” lirih Hilmi.

Adlia terdiam, ia tidak tahu bagaimana merespon Hilmi, karena ia sama bingungnya dengan Hilmi. Bagaimanapun juga, Adlia sudah menganggap Jihan dan Hilmi adalah saudara kandungnya.

Maka dari itu, masalah mereka juga masalah Adlia. Beban yang ditanggung dua saudara itu, juga harus ditanggung oleh Adlia. Dengan begitu ia merasa tidak terbebani dengan kebaikan keluarga angkatnya.

Saat keheningan kembali menyelimuti kedua insan itu, azan berkumandang, yang menandakan waktu salat asar telah tiba.

“Sebaiknya kita salat dahulu. Kita tenangkan pikiran kita, kamu mau ke masjid atau salat di sini saja?” tanya Adlia memastikan Hilmi hendak salat di mana.

“Di sini saja.” Hilmi menjawab dengan singkat, namun penuh kelembutan.

“Ya sudah, ayo masuk!” ajak Adlia.

Adlia bangun dari duduknya, ia melangkah menaiki anak tangga yang tersisa. Sampainya di depan pintu, Adlia membalikkan tulisan close menjadi open, menandakan bahwa kafe telah buka. Sebelum masuk ke kafe, Adlia kembali menoleh ke arah Hilmi, pria itu masih setia menemani anak tangga.

“Hilmi!” panggil Adlia sedikit mengeraskan suara. “Ayo, masuk!” timpalnya mengajak Hilmi masuk.

Hilmi yang mendengar panggilan dari Adlia langsung bangun dari duduknya. Ia melangkah menaiki anak tangga. Hilmi mengikuti Adlia masuk ke dalam kafe. Terdengar suara lonceng saat pintu kafe terbuka. Hilmi menatap Adlia sekilas, hatinya terasa sejuk, saat tengah gelisah menatap wanita yang selama ini diam-diam ia kagumi.

"Saya ingin bertemu mbak Jihan dahulu, Lia!" ungkap Hilmi, yang merasa tidak tenang, karena dirinya belum bertemu kakaknya.

Adlia mengangguk, ia melangkah menuju ruangan di mana Jihan berada. Adlia memasukkan kode pada smartlock pintu, kemudian ia memutar handle. Pintu ruangan terbuka, menampakkan ruangan yang elegan, minimalis, dan memberikan kesan yang nyaman.

Saat Adlia dan Hilmi masuk, dua pasang mata itu langsung menangkap sosok wanita yang tengah menangis. Jihan. Iya. Wanita itu telah terisak di tengah kesendirian.

Hilmi langsung duduk di sebelah Jihan, pria itu membawa tubuh Jihan ke pelukannya. Hilmi tidak sanggup melihat kakak satu-satunya dalam kondisi seperti itu. Bagi Hilmi, luka Jihan adalah luka baginya.

Adlia yang sedari masuk bersama Hilmi hanya berdiri. Ia bingung harus bagaimana. Wanita itu juga merasa terluka melihat Jihan dalam kepiluan.

Adlia memberanikan diri mendekat, ia duduk di samping Jihan. Adlia mengusap punggung Jihan yang masih dalam pelukan Hilmi. Air mata Adlia mengalir, membasahi wajahnya yang ayu.

Lidah mereka keluh, bibir seakan terkunci rapat. Tidak ada kata yang keluar, hanya isak tangis yang terdengar di dalam ruang kehampaan. Ketiga bersaudara itu saling menguatkan. Batin mereka seakan saling terpaut, sehingga dapat merasakan luka yang tengah dirasakan Jihan.

Terpopuler

Comments

MentariSenja

MentariSenja

3 bab dulu ya beb

2024-04-22

0

MentariSenja

MentariSenja

jangan jangan author nih pemilik kafe🤭

2024-04-22

0

Anita Jenius

Anita Jenius

Cicil sampai sini dulu kak.
3 like mendarat buatmu. semangat ya

2024-04-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!