Bab 17

Pekanbaru, Riau

Sejak kepulangan Jihan, Azam, dan Nurliyah dari rumah Adlia, Jihan semakin mendiamkan suaminya, Azam. Ia selalu menghindari Azam. Hingga pagi ini, Azam sudah tidak tahan dengan sikap Jihan.

"Jihan Nur Almaira!" ucap Azam.

Suara Azam terdengar meninggi di telinga Jihan. Wanita itu sedikit tersentak. Jihan terkejut mendengar suaminya tiba-tiba memanggil dengan namanya.

"Sudah cukup dengan sikapmu! Saya ini suamimu, sudah dua hari kamu diam, selalu menghindar, bahkan kamu tidak ingin tidur dengan saya. Sudah tidak ada harga diri saya di mata kamu?" jelas Azam, menatap tajam istrinya.

Jihan yang sebenarnya rindu akan pelukan suaminya, ingin selalu memeluknya, deeptalk dengan suaminya, tertawa bersama. Akan tetapi, amarah dan rasa cemburu sudah menutupi rasa hormatnya pada Azam. Jihan balas menatap Azam.

"Sampai kapanpun, meski aku tidak dapat melihat Abang lagi, harga diri Abang selalu ada di atasku. Tidak akan pernah berubah!" kilah Jihan.

"Lalu kenapa kamu bersikap begitu?"

Jihan menyunggingkan senyum sinis. Ia menatap Azam nanar. "Abang lupa ... apa yang membuatku seperti ini?" cibir jihan.

"Abang tidak lupa dengan permasalahan kita, Dinda. Pernikahan itu masih sebulan lagi, kita bisa sama-sama berdoa, kita sama-sama memohon pada Allah, minta yang terbaik. Bukan saling diam, menahan amarah seperti ini. Ridho Allah semakin jauh dari rumah tangga kita, Dinda ..." lirih Azam.

Azam menjelaskan maksud dan keinginannya. Ia paham, bahwa istrinya tidak terima akan pernikahannya dengan Adlia. Azam menatap Jihan dengan penuh penyesalan.

"Abang minta maaf ... Abang sudah membuatmu seperti ini, Dinda. Tolong ... jangan diamkan Abang seperti ini. Hati Abang juga terluka. Ini juga berat untuk Abang," timpal Azam.

Ia memegang kedua bahu Jihan. Azam menyalurkan cinta kasihnya melalui sorot matanya. Namun, bukan mendapat balasan yang sama, Jihan hanya tersenyum sinis dan berusaha melepaskan diri dari Azam.

"Cukup, Bang!" Jihan kembali menatap tajam suaminya. "Abang tidak tahu sesakit apa ucapan mak kemarin siang ... saat Abang tidak di rumah. Abang tidak merasakannya. Sakit, Bang! Mak berubah! Mak bukan mertua yang kukenal selama ini. Bahkan mak sudah menganggap Adlia menantunya!"

Jihan meluapkan segala sesak yang ia pendam. Sebenarnya ia tidak ingin mengatakannya pada Azam. Hanya saja, ia sudah tidak mampu lagi menahan selalu disudutkan oleh Azam.

"Dinda ..." lirih Azam.

"Aku ingin pisah rumah sama mak, Bang. Aku tidak ingin di sini!" ketus Jihan.

"Dinda ... jangan begini. Ayo kita bicara dengan hati dan pikiran yang tenang."

"Tenang?" Jihan tersenyum hampa. Hatinya merasakan kecewa yang mendalam.

"Bukan aku yang harus Tenang, tapi mak, Bang!" sergah Jihan. Ia langsung berlalu pergi menuju kamar. Ia membuka dan menutup pintu dengan keras.

"Aaaaarrrggghhhh!" Azam mengerang, meluapkan amarah yang tidak dapat ia lampiaskan.

"Astaghfirullah ... Astaghfirullah ... Astaghfirullah ..." lirih Azam.

Pria itu mendudukkan diri di sofa. Ia mengusap wajah pelan. Bibirnya terus beristighfar, memohon ampun pada yang Maha Kuasa.

Azam menoleh, menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 09.30. Azam mengembuskan napas berat. Ia seakan melepaskan segala penat dalam batinnya.

Beberapa saat Azam terdiam seorang diri. Ia pun berdiri dari duduknya. Azam melangkah menuju ruang salat yang sekaligus sudah tersedia tempat berwudhu.

"Bismillahirrahmanirrahiim ...."

Azam mulai berwudhu dengan khusyuk. Kemudian, ia langsung melaksanakan salat dhuha. Sudah menjadi rutinitas Azam melaksanakan salat dhuha, biasanya Azam rutin mengerjakan minimal empat rakaat.

Azam salat dengan khidmat. Ia lepaskan dan serahkan masalah yang ada pada Allah Ta'ala. Azam tidak ingin masalahnya saat itu mengganggu ibadahnya pada Allah Ta'ala, Yang Maha Pemberi Kehidupan.

...****************...

Selesai melaksanakan salat, Azmi duduk di ruang kerja menatap foto pernikahan yang menempel di dinding.

"Percayalah, Dinda! Aku benar-benar mencintaimu. Tidak ada niatku menyakitimu," gumam Azam. Ia seakan berbicara pada Jihan melalui foto pernikan mereka.

"Pisah rumah ..." lirih Azam pada dirinya sendiri.

Azam kembali terdiam, namun kali ini tatapannya tertuju pada ponsel miliknya. Azam meraih dan mengusap layar ponsel. Ia mencari nama seserang pada daftar kontak. Tidak membutuhkan waktu lama, Azam langsung menekan ikon panggilan pada nama kepercayaannya, Yoga.

Azam mendengar suara panggilan terhubung pada kontak Yoga. Satu detik. Dua detik. Jemari kiri Azam mengetuk-ngetuk meja, ia menunggu panggilannya dijawab oleh Yoga.

Nomor yang anda tuju tidak dapat menerima panggilan. Cobalah ...

Mendengar suara operator, Azam langsung membatalkan panggilan. Sekali lagi. Azam mencoba menghubungi Yoga. Cukup lama Azam menunggu, akhirnya Yoga menjawab panggilannya.

"Assalaamu'alaikum, Yoga ..." ucap Azam, saat panggilannya telah terhubung oleh Yoga.

"Wa'alaikumussalam. Ada apa, Zam?" tanya Yoga, yang memanggil nama Azam.

Yoga merupakan kepercayaan sekaligus sahabat azam. Oleh sebab itu, disaat tidak dalam lingkup pekerjaan, mereka berdua saling memanggil nama satu sama lain.

"Di mana kau?" tanya Azam.

"Di Kampar. Nak di mano aku lagi?" ucap Yoga, sedikit ngegas. "Ngapo?"

""Carikan rumah di Pekanbaru. Tidak perlu terlalu mewah, sederhana. Tapi, yang nyaman."

"Rumah?" Yoga terdengar heran, karena tiba-tiba Azam mencari rumah. "Rumah maksudnya cam mano?" timpal Yoga.

"Ya rumah. Rumah untukku!"

"Pindah atau bagaimana?"

"Banyak tanya kau ni. Panjang ceritanya. Besok paling lama dapat rumah itu, ya!"

Azam sudah malas dicecar pertanyaan oleh sahabatnya, Yoga. Ia langsung memerintah Yoga segera mencarikan rumah untuknya.

"Tak perlu mewah, kan? Sederhana yang penting nyaman, kan?" Yoga kembali memastika rumah yang bagaimana yang diinginkan Azam.

"Tepat sekali ... sudah, ya. Selamat mencari rumah. Wassalaamu'alaikum."

Azam mengakhiri sambungan telepon ketika Yoga sudah menjawab salam darinya. Azam meletakkan kembali ponselnya. Pria itu kembali membisu dalam kesendirian.

Semenit. Dua menit. Cukup lama Azam bercengkerama dengan pikirannya sendiri, akhirnya ia beranjak dari duduknya. Azam melangkah keluar, menuju ke kamar.

Sesampai di depan pintu kamar, ia memutar handle. Tidak seperti biasa, hari itu pintu tidak dikunci oleh Jihan. Pira itu mendorong pintu, menampakkan Jihan terbaring di lantai.

Sesaat, Azam dia mematung menatap Jihan. Suasana rumah yang sepi semakin hening. Azam merasa detak jantungnya berhenti sejenak. Dengan langkah cepat, Azam mendekati Jihan.

Azam menekan lututnya ke lantai dingin, saat ia berjongkok di samping istrinya. "Dinda ..." lirih Azam dengan suara yang hampir tidak terdengar, penuh kekhawatiran menatap wajah pucat istrinya.

Dengan tangan gemetar, Azam menepuk-nepuk pipi Jihan, berharap Jihan membuka mata dan tersenyum seperti cantik. "Dinda ... bangun!" panggilnya lagi, dengan suara yang lebih keras.

Namun Jihan tetap tak bergerak, tak ada respon. Di tengah kepanikan, mata Azam tertuju pada botol yang da di samping Jihan. Azam mengerutkan kening, ia mengambil botol itu dan memasukkan ke dalam saku baju.

Azam meraih ponsel Jihan yang berada di nakas samping ranjang. Pria itu menelepon pos penjaga rumahnya. Sementara itu, matanya tak lepas dari wajah Jihan yang pucat.

"Siapkan, mobil! Segera!" perintah Azam, saat ponselnya sudah terhubung ke pos penjaga.

Azam memasukkan ponsel Jihan ke dalam sakunya. Dengan cepat, Azam mengenakan mencari hijab sorong dan memakaikan ke istrinya. Pria itu langsung mengangkat Jihan yang tengah terkulai lemas.

"Loh ... ibu kenapa, Pak?" tanya Reza, sopir pribadi Azam, saat mendapati Azam keluar dengan mengangkat istrinya.

"Buka pintunya!" Azam tidak menjawab pertanyaan Reza, ia langsung masuk setelah Reza membuka pintu. "Ke Awal Bros!"

Reza tidak sempat banyak bertanya, ia kembali menutup pintu dan berlari memutar belakang mobil menuju pintu tempat sopir. Setelah Reza masuk dan mengenalan sabuk pengaman, ia menyalakan mesin dan langsung mengarahkan mobil keluar pekarangan menuju rumah sakit Awal Bros.

Siang itu, Azam merasakan kekhawatiran yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menatap Jihan yang berada di pangkuannya. Ia merasa dunianya runtuh saat melihat Jihan pucat, terkulai lemah.

Ya Allah ... lindungi bidadari hamba-Mu ini. Dia surgaku, dia kasihku. Sudah cukup ia merasakan pedih yang aku sendiri tak bisa menyembuhkannya. Aku ingin melihat senyum indahnya, aku ingin merasakan sifat manjanya lagi.

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, batin Azam tidak berhenti merapalkan doa untuk wanita tercintanya. Tangan Azam menggenggam erat jemari Jihan. Sedangkan tangan kirinya mengusap kepala Jihan yang berada di atas pangkuannya.

Terpopuler

Comments

Kikan Dwi

Kikan Dwi

padahal Azam sangat mencintai Jihan, harus nya Jihan percaya

2024-04-14

1

Kikan Dwi

Kikan Dwi

harusnya tidak tinggal bersama mertuanya. kalau kaya gini terus gak akan ada ujungnya, nanti mental Jihan yang kena.

2024-04-14

1

Kikan Dwi

Kikan Dwi

kan kamu yg ingin ini semua Jihan

2024-04-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!