Bab 12

Suasana lamaran yang seharusnya hangat dan penuh kebahagiaan, namun tidak siang itu. Prosesi lamaran yang diimpikan Adlia tidak akan pernah terjadi. Suasana yang penuh ketegangan, membuat seisi ruangan diam membisu.

Beberapa menit berlalu, bi Minah dan Fira datang membawa nampan berisi kudapan. Bi Minah menata piring kudapan dengan rapi dan hati-hati. Fira melirik Adlia yang duduk di samping Hilmi, ada rasa sesak menyusup ke relung hatinya.

Mengapa Engkau berikan mbak Fira jalan hidup yang seperti ini, ya Allah. Dia sangat baik, dia wanita yang menjaga kehormatan. Akankah dia bahagia?

Batin Fira sibuk bercengkerama, seakan berbicara pada Illahi Rabbi. Bi Minah menyadarkan Fira yang diam membeku, wanita paruh baya itu menarik tangan Fira kembali ke dapur.

Sepeninggalan bi Minah dan Fira, Adlia mempersilakan tamunya, mencicipi hidangan sederhana yang telah disajikan.

"Silakan ... dicicipi hidangan ala kadarnya ini," tawar Adlia, tersenyum ramah.

"Terima kasih ya, Nak!" Nurliyah membalas senyuman Adlia.

Nurliyah memang sudah kenal dengan Adlia, hanya saja mereka jarang ketemu, karena Adlia dan Hilmi memang jarang mengunjungi Jihan yang tinggal di Pekanbaru.

Bukan tanpa sebab Nurliyah menyetujui bawa Adlia yang menjadi pilihan Jihan. Nurliyah sangat menyukai Adlia yang terlihat anggun dan lembut. Wanita itu sangat menyukai wajah sendu Adlia.

"Kegiatan Nak Lia sekarang apa?" tanya Nurliyah, mencoba mengakrabkan diri dengan Adlia.

"Seperti biasa, Bu. Mengurus kebun milik almarhum ayah," jawab Adlia merasa canggung.

"Berarti sama nak Hilmi juga, ya?"

"Benar, Bu. Hilmi kan penerus Agro Sejati, Bu." Adlia tersenyum, ia melirik Hilmi yang hanya terdiam tanpa ekspresi.

Nurliyah hanya mengangguk mengerti maksud Adlia. Nurliyah menoleh ke arah Azam yang tertunduk, wanita itu menyikut lengan Azam yang duduk di sampingnya. Merasa lengannya disikut oleh ibunya, Azam mengangkat pandangan, ia menatap Nurliyah seakan menyiratkan pertanyaan Ada apa, Mak?

"Ngapo kau diam?" tanya Nurliyah, berbisik pada Azam.

Azam menarik napas dalam, beberapa detik kemudian, pria itu mengembuskan dengan berat. Azam menoleh ke istrinya yang berada di sisi kirinya. Perasaan bersalah terus menyelimuti hati dan pikira Azam. Sesaat kemudian, Azam menatap Hilmi yang menatap tajam.

"Sesuai yang telah disepekati sebelumnya ... saya membawa mak saya, yang akan melamar Adlia secara resmi untuk ..." Azam terdiam sesaat, berat rasanya untuk meneruskan kalimat yang seharusnya tidak akan pernah terucap.

Azam kembali berkata, "Untuk menjadi istri kedua saya."

Jedeeeer ... bagaikan dihantam ribuan ton batu, Jihan semakin dalam menundukkan pandang. Air matanya mengalir dengan sombong. Azam menggenggam tangan Jihan yang sudah keringat dingin.

"Saya ... saya menyampaikan niat lamaran ini kepada Hilmi, karena bagaimanapun Hilmi adalah keluarga Adlia." Azam kembali melanjutkan kalimatnya, namum tangannya semakin erat menggenggam jemari istrinya.

Hilmi tersenyum, namun jelas tidak ada ketulusan di sana. Hampa. Itulah yang cocok menggambarkan senyuman yang terlukis di wajah Hilmi.

"Sekali lagi ... saya selaku wali dari mbak Jihan dan Adlia, ingin bertanya pada Bang Azam," tutur Hilmi, membuat Adlia dan Jihan semakin meneteskan air mata.

"Silakan!" jawab Azam, merasakan apa yang dirasakan Hilmi.

"Apa Abang yakin dengan keputusan ini?" tanya Hilmi, menatap lekat wajah kakak iparnya.

Azam tidak langsung menjawab, dalam hatinya penuh gemuruh penolakan. Ia menoleh, menatap Jihan yang tenggelam bersama air mata. Sesaat, Azam menatap Adlia yang sama-sama akan merasakan pedih. Bagaimana tidak? Adlia bersedia menikah dengan pria yang tidak mencintainya dan tidak ia cintai, ditambah lagi, pria itu adalah suami dari kakak angkatnya, yang begitu mencintai dan menyayanginya.

Cukup lama Azam terdiam. Nurliyah yang merasakan Azam sangat berat menjawab, lagi-lagi menyikut lengan anaknya. Tersadar akan sentuhan dari ibunya, Azam kembali menatap Hilmi.

"Yakin!"

Jihan yang sejak awal merasakan pedih dalam hatinya, kini ia terisak menahan tangis. Jiwanya seakan berguncang, ia seakan ingin menghilang saat itu juga.

"Sepertinya saya tidak perlu lagi bertanya pada Mbak Jihan. Karena ini adalah keinginan Mbak, bukan?" tanya Hilmi pada Jihan, yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban.

Hilmi menoleh ke arah Adlia, ia menatap lekat wajah yang selama ini ia cintai. Ada rasa perih yang teramat di hati Hilmi. Perih dari luka yang sengaja disiram oleh cuka. Luka yang entah sampai kapan akan memudar.

Tidak tahan menatap wajah penuh derita Adlia terlalu lama. Hilmi menundukkan pandangan. Jemarinya menyeka air mata yang hendak mengalir bebas.

"Bagaimana ... denganmu, Lia?" tanya Hilmi.

Suara parau Hilmi menusuk dada, tembus ke relung hati Adlia. Bukan hanya Hilmi yang merasakan kepahitan saat itu. Adlia, wanita itu menatap Hilmi sorot penuh luka.

"Saya ... memiliki syarat yang harus dipenuhi oleh semua pihak. Baik mbak Jihan, mas Azam, dan ibu."

Ungkapan Adlia membuat empat pasang mata spontan menatapnya. Jihan merasa tidak terima dengan apa yang diungkapkan Adlia.

"Lia!" sergah Jihan, menatap penuh pertanyaan.

"Kenapa, Mbak?" Adlia menatap tajam, kali ini sorot matanya menyiratkan bahwa dia tidak mau mengalah.

"Engkau tidak mengatakan ini sebelumnya! Kenapa harus ada syarat segala?" kesal Jihan, merasa Adlia mempermainkan dirinya.

"Tenang, Mbak. Ini bukan syarat yang merugikan Mbak, dan pastinya ... juga tidak merugikan saya. Kita sesama wanita, saya tidak akan berani mempermainkanmu, Mbak. Seharusnya Mbak paham bagaimana ketulusan saya kepadamu, Mbak!"

"Tapi ..."

"Apa syaratnya, Nak?" tanya Nurliyah, memotong ucapan Jihan. Ia tidak ingin ada perdebatan panjang yang merusak suasana hati semua orang.

"Pernikahan diadakan di sini, di rumah ini. Setelah saya sah menjadi istri mas Azam, saya tetap tinggal di sini, tetap bekerja bersama Hilmi mengurus Agro Sejati."

Mereka semua terdiam mendengar syarat yang diajukan Adlia. Terlihat Nurliyah tidak setuju dengan syarat yang diajukan Adlia.

"Kalau untuk bekerja, rasa ibu ndak ado masalah. Tapi, kalau tinggal di sini ..."

"Saya setuju dengan syarat yang kamu ajukan!" jawab Azam, memotong ucapan ibunya.

"Kau ni ngapo? Macam mano nak dapat momongan, kalau kalian terpisah?"

"Mak ... kalau Azam sudah menikahi Lia, maka Azam harus adil, tidak akan mungkin Azam menyatukan kedua istri dalam satu atap. Itu mustahil, Mak."

"Serah engkaulah!" ketus Nurliyah.

"Kalau begitu ... tidak ada masalah lagi. Saya ... saya sebagai keluarga dari Adlia Azkia Jatmiko, mewakili yang bersangkutan ..."

Hilmi menghentikan kalimatnya. Sekali lagi, ia melirik pada Adlia. Wanita yang penuh wibawa, keanggunan, dan saliha, sebentar lagi menjadi calon istri dari kakak iparnya.

"Menerima lamaran Bang Azam."

"Alhamdulillah ..." tutur Nurliyah, setelah mendengar keputusan dari Hilmi.

Nurliyah mengeluarkan kota cincin dari dalam tas. Wanita itu berdiri, pindah duduk di samping Adlia.

"Terima kasih, Nak. InSyaaAllah mak akan menjadi mertua yang adil untuk kalian," tulus Nurliyah, yang sudah merubah panggilan untuk dirinya.

Nurliyah membuka kotak cincin yang menampakkan cincin dengan permata berlian. Entah berapa gram besaran cincin itu, namun terlihat sangat indah dan mewah. Meskipun begitu, di mata Adlia itu hanyalah cincin yang tidak ada arti untuknya.

Nurliyah meraih tangan kiri Adlia. Wanita itu, memasangkan cincin pada jari manis Adlia. Hilmi menatap nanar jemari Adlia yang berada si atas pangkuannya.

Cantik! Tapi, bukan cincin dariku.

Lagi-lagi Hilmi membatin, seakan mengungkapkan pada dirinya sendiri. Bukan Hanya Hilmi yang menatap jemari Adlia. Jihan. Wanita itu teringat akan dulu juga dipakaikan cincin oleh Nurliyah.

Dulu cincin ini juga mak yang memakaikan, mak!

Jihan bermonolog pada dirinya sendiri. Ia menatap cincin yang melingkar di jari manisnya.

Selesai memakaikan cincin pada Adlia. Nurliyah kembali duduk di samping Azam. Wanita itu tersenyum menatap Adlia yang menurutnya sangat sejuk dipandang.

"Lalu ... sekiranya kapan pernikahan akan terlaksana? Dan mahar apa yang Lia inginkan?" tanya Nurliyah.

"Lebih cepat, lebih baik." Suara Jihan kembali terdengar. "Bagaimana seminggu lagi?" imbuh Jihan, memberi saran.

"Tidak bisa! Seminggu ke depan saya akan pulang ke Jawa. Besok saya berangkat," ungkap Adlia, memberitahukan niatnya akan pulang ke Jawa.

"ke Jawa?" tutur Hilmi, memastikan yang ia dengar tidak salah.

"Iya."

Hilmi menghela napas, pikirannya terlalu kalut untuk banyak bertanya pada Adlia.

"Sebulan lagi," ucap Adlia. "Sedangkan untuk mahar ... saya tidak tahu harus minta apa. Rasa saya ... cincin ini sudah cukup," lanjut Adlia, ia sengaja meminta mahar hanya cincin yang ia kenakan, karena ia tidak ingin memiliki beban yang akan membuatnya merasa bersalah.

"Apa kau yakin, Nak?" tanya Nurliyah. Adlia hanya mengangguk, meyakinkan Nurliyah.

"Kalau begitu ... saya putuskan di tanggal 5 februari. Bagaimana?" tanya Azam, ingin cepat mengakhiri pertemuan itu.

"Baiklah ..." lirih Hilmi.

Pertemuan yang seharusnya membawa tawa bahagia, namun menambah luka dan derita. Keputusan dari pertemuan itu, menghasilkan perasaan kelam penuh kesengsaraan batin.

Terpopuler

Comments

MentariSenja

MentariSenja

sabar Hilmi, cinta tidak harus memiliki, ikhlaskan, insyaAllah kau akan dapatkan penggantinya yg lebih baik, tp emang yg namanya hati tidak akan semudah itu

2024-05-03

1

MentariSenja

MentariSenja

kenapa pula kau menangis Jihan, bukankah ini yg kau inginkan?

2024-05-03

1

MentariSenja

MentariSenja

terserahlah mau nangis guling" jg aku gak ada simpati sm kau

2024-05-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!