Bab 2

Sesampainya di kafe, Adlia langsung mengarahkan motor ke tempat parkir yang dibuat khusus untuknya dan karyawan kafe. Adlia mematikan mesin motor dan langsung menstandar ganda, serta langsung mengunci ganda motornya. Tempat parkir masih kosong, karena memang Adlia datang lebih cepat.

Jika Adlia memiliki waktu, ia akan berkunjung ke kafe dan meminta karyawannya untuk datang terlambat. Bukan tanpa alasan Adlia bersikap seperti itu, ia ingin karyawannya sedikit lebih santai, jika dia bisa datang cepat untuk mempersiapkan kafe buka.

Masih mengenakan helm, Adlia berjalan masuk ke kafe sembari membuka sarung tangan. Saat kaki Adlia menaiki tangga yang hanya ada empat anak tangga, matanya tertuju pada seseorang yang sangat ia kenal. Wanita itu adalah Jihan Nur Almaira, anak pertama dari keluarga yang mengadopsi dirinya belasan tahun lalu.

Kening Adlia mengkerut, kedua alisnya seakan menyatu. Ia heran apa yang telah terjadi pada kakak angkatnya itu, pasalnya Jihan tinggal di Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau, sedangkan Adlia tinggal di Dumai, untuk sampai ke Dumai membutuhkan waktu kurang lebih dua jam perjalanan via TOL.

Mata Adlia tertuju pada koper kecil di samping Jihan. Dirinya hanya melihat Jihan seorang diri, ia tidak melihat ada satupun mobil yang terparkir. Adlia menghampiri Jihan yang sedang duduk termenung, matanya sembab seperti baru berhenti menangis.

“Mbak?” panggil Adlia yang tidak mendapat jawaban dari Jihan. Adlia menyentuh bahu Jihan seraya memanggilnya lagi. “Mbak?” panggil Adlia lagi.

Jihan yang merasa bahunya disentuh seseorang, ia terkejut dan langsung mendongakkan kepala, menatap siapa yang telah menyentuh dirinya. Tidak ada suara yang keluar, bibir Jihan seakan terkunci rapat.

Air mata Jihan kembali mengalir menatap Adlia yang menyadarkan dirinya dari lamunan panjang. Adlia kebingungan, kenapa Jihan langsung menangis saat menatap dirinya.

“Ada apa, Mbak? Kenapa Mbak menangis seperti ini? Mbak datang sama siapa? Mbak ada acara atau bagaimana? Mana mas Azam?” cicit Adlia mencecar Jihan dengan berbagai pertanyaan.

Adlia langsung duduk di samping Jihan, ia merangkul dan mengusap punggung Jihan dengan lembut. Tetap tidak ada jawaban yang terdengar dari Jihan, hanya isak tangis yang mampu menjawab.

“Kita bicara di dalam ya, Mbak?” tawar Adlia yang mendapat anggukkan dari Jihan. Adlia langsung berdiri. “Sebentar, saya buka pintunya dahulu.”

Adlia melangkah menuju pintu yang masih terkunci. Kebetulan, kemarin malam ia berbicara dengan Jihan via ponsel. Adlia mengatakan pada Jihan bahwa dia memiliki waktu senggang dalam beberapa hari dan akan berkunjung ke kafe. Mungkin dari itu, Jihan datang dengan keadaan yang belum diketahui alasannya.

“Mari masuk, Mbak!” ajak Adlia.

Mendengar ajakan Adlia, Jihan bangun dari duduknya, wanita itu melangkah gontai, dirinya seakan tidak memiliki tenaga untuk sekedar berjalan. Adlia menggenggam tangan Jihan, ia mengajak Jihan untuk masuk ke dalam ruang pribadinya.

Adlia berhenti di depan pintu berwarna abu tua, ia memasukkan kode pin pada smartlock pintu. Terdengar bunyi bip saat kode pin benar dimasukkan. Adlia langsung memutar handle dan mendorong pintu, sehingga pintu tersebut terbuka, menampakkan ruangan minimalis yang nyaman.

Ruangan bernuansa abu tua bercampur dengan hitam dan warna keemasan, seakan memberikan kenyamanan tersendiri untuk Adlia. Adlia menyalakan pendingin ruangan, serta membuka gorden dengan mengarahkan remote control, sehingga gorden terbuka secara otomatis. Ruangan Adlia di desain dengan separuh dindingnya adalah kaca, agar kalau siang tidak memerlukan pencahayaan dari lampu.

“Silakan duduk, Mbak!” Adlia mempersilakan Jihan duduk di sofa berwarna abu tua bercampur dengan navy.

“Atau Mbak ingin baring?” tawar Adlia, menunjuk ke arah single bad yang memang ia sediakan, apabila ia tidak ingin pulang ke rumah, ia bisa tidur di kafe, mengingat rumah dan jarak kafe lumayan memakan waktu —rumah Adlia berada di Kecamatan Bukit Kapur, sedangkan kafenya berada di Kecamatan Dumai Kota, yaitu pusat kotanya Dumai.

“Saya duduk saja,” jawab Jihan yang langsung duduk di sofa.

“Sebentar ya, Mbak. Saya mau menghubungi Fira,” izin Adlia yang langsung menuju meja kerja.

Adlia meletakkan tas ransel warna hitam yang selalu menemaninya di atas meja. Adlia membuka tas mencari ponselnya. Saat tangannya menyentuh benda pipih, Adlia langsung mengeluarkan benda itu dan mengusap layar. Adlia mengetik nama Fira pada daftar kontak dan langsung menekan ikon panggilan telepon. Tidak membutuhkan waktu lama, terdengar suara Fira mengucap salam dari balik ponsel.

“Assalaamu’alaikum, Mbak.”

“Wa’alaikumussalam warahmatullah.” Adlia menjawab salam dari Fira. “Fira?” panggil Adlia memastikan bahwa lawan bicaranya itu mendengarnya.

“Iya, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?”

“Kamu datang sekarang ke kafe, ya!” pinta Adlia.

“Mbak tidak jadi datang?” tanya Fira yang terdengar heran, pasalnya baru beberapa jam yang lalu Adlia menghubungi dirinya untuk sedikit santai, karena dirinya yang akan menyiapkan kafe buka.

“Tidak. Mbak sudah datang, hanya saja mbak Jihan datang berkunjung, tidak mungkin Mbak tinggal mbak Jihan yang sudah datang jauh-jauh dari Pekanbaru.” Adlia menjelaskan pada Fira dari balik ponsel.

“Bisa datang sekarang, kan?” timpal Adlia lagi, memastikan kesiapan Fira.

“Bisa, Mbak. Ini saya juga sudah mau berangkat,” jawab Fira yang memang sudah bersiap menjalankan motornya.

“Baiklah kalau begitu. Terima kasih ya, Fira. Hati-hati di jalan,” tutur Adlia ramah.

“Baik, Mbak. InSyaaAllah.”

“Assalaamu’alaikum.” Adlia mengucap salam dan langsung mengakhiri panggilan ponsel setelah mendengar Fira menjawab salam.

Adlia menatap Jihan kemudian bergantian menatap koper kecil milik Jihan. Adlia mengembuskan napas berat, ia tidak mengerti kenapa Jihan jauh-jauh dari Pekanbaru membawa koper kecil, yang lebih membuat Adlia bingung adalah mengapa Jihan datang ke Dumai sendirian. Tidak pernah Jihan dibiarkan datang sendiri ke Dumai. Biasanya kalau tidak dengan suaminya, pasti dijemput oleh Hilmi, adiknya yang memang tinggal di Dumai.

Adlia memijat keningnya, ia merasa pusing dengan kehadiran Jihan. Dalam benak Adlia, pasti terjadi sesuatu sehingga Jihan datang sendiri dengan membawa koper.

Adlia melangkah mendekati Jihan yang tengah duduk bersandar di sofa, mata Jihan menatap langit-langit yang bernuansa putih. Adlia menyodorkan sebotol air mineral, mempersilakan Jihan untuk minum.

“Minum, Mbak. Biar ada tenaganya,” tutur Adlia yang sudah membukakan segel tutup botol.

Jihan membenarkan posisi duduknya, ia menerima sebotol air yang diberikan Adlia.

“Terima kasih, Lia.”

Jihan langsung meminum air tersebut, seperti memang kehausan, Jihan meminum sampai setengah botol air 600 ml. Jihan meletakkan botol ke atas meja, pikirannya menerawang jauh. Hanya keheningan yang menyelimuti ruangan itu.

“Mbak sudah salat?” tanya Adlia sembari menatap jam yang menunjukkan pukul 14.45 WIB.

“Aku sedang datang bulan, Lia,” jawab Jihan lemas.

“Mbak mau makan apa?” tawar Adlia yang menduga pasti Jihan belum makan.

“Aku sedang tidak ingin makan.” Mendengar jawaban singkat Jihan, Adlia memilih diam.

Keheningan kembali menyapa dua insan yang tengah berkutat pada pikiran masing-masing.

Dering ponsel Adlia membuyarkan keheningan, ia melihat satu notifikasi pesan atas nama Azam Gumelar, yang merupakan suami Jihan.

Adlia tidak langsung membuka pesan masuk dari Azam, ia menatap sekilas pada Jihan yang tengah memejamkan mata. Dengan rasa penasaran mengapa Azam mengirimnya pesan, Adlia membaca chat dari Azam di whatsapp.

Assalaamu’alaikum, Lia. Maaf jika sekiranya saya lancang mengirimmu pesan. Saya ingin menyampaikan sesuatu, tolong jaga Jihan sampai dirinya tenang. Ini permintaannya untuk datang ke Dumai. Saya tidak bisa menyebutkan apa yang terjadi, jika Jihan berkenan menyampaikannya, maka tunggu saja Jihan bercerita. Tolong jangan beritahu Jihan bahwa saya mengirimmu pesan ini. Saya juga akan memberitahu Hilmi kalau Jihan datang ke Dumai. Biarkan Jihan tenang bersama kalian di sana, jika dia perlu sesuatu tolong berikan dan belikan, saya akan menggantinya. Jihan tidak membawa uang sedikitpun. Terima kasih. Wassalaamu’alaikum.

Adlia membaca pesan dari Azam dalam hati, ia tidak berani memberitahukan pesan Azam pada Jihan. Adlia hanya memberi reaksi tanda jempol merespon pesan Azam.

“Mbak mau cerita sekarang atau mau istirahat dahulu?” tanya Adlia. Setelah membaca pesan Azam, ia ingin memberikan waktu untuk Jihan menenangkan pikiran.

“Aku pinjam ruangan ini sebentar ya, Lia. Aku ingin sendiri,” ucap Jihan meminta izin pada sang empunya ruangan. Adlia tersenyum manis, ia mengerti akan permintaan Jihan.

“Kalau begitu Mbak istirahat, ya. Tidur saja di sana,” tawar Adlia menunjuk ke single bad.

“Terima kasih.”

Adlia bangun dari duduk dan meraih ponselnya. Ia melangkah menuju pintu meninggalkan Jihan seorang diri. Adlia memberikan waktu untuk Jihan dapat menceritakan apa yang terjadi jika dia ingin menceritakan, bagaimanapun Adlia tidak ingin mengganggu privasi kakak angkatnya itu.

Jika Azam saja sudah berpesan seperti itu tanpa sepengetahuan Jihan, sudah bisa diduga itu pasti masalah rumah tangga mereka. Adlia tidak berhak bertanya lebih, apabila itu sudah tentang rumah tangga Jihan. Jika Jihan ingin bercerita, maka ia hanya akan menjadi pendengar tanpa harus memberikan saran.

Terpopuler

Comments

Wahyu Adara

Wahyu Adara

jihan itu kakak keluarga angkatnya yah, jadi Adlia bakalan masuk dijerat keluarganya sendiri. nggak² terlalu miris Adlia

2024-04-20

1

F.T Zira

F.T Zira

diriku mampir lagi ya kak.

2024-04-03

1

F.T Zira

F.T Zira

wahh ternyata aku penah mampir.. sampe lupa mau lnjut baca lagi..🙈🙈

2024-04-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!