Bab 10

Tirai hitam telah menyelimuti langit, dipenuhi gemintang yang gemerlap. Cahaya lampu yang temaram, menciptakan bayangan lembut pada permukaan air yang tenang. Malam itu, Adlia merenung, teringat akan kejadian pagi hari saat di pemakaman. Pikirannya melayang, memutar memori apa yang telah terjadi.

"Adlia Azkia Jatmiko ... atas ridho Allah Subhaana Wata'aala, atas izin istriku ... Jihan Nur Almaira ... dan dengan izin ayah Edi Pranoto, saya Azam Gumelar Abidin ...."

Kalimat Azam terhenti, ia menatap Jihan penuh penyesalan. Azam beralih menatap Hilmi yang berada di sisi kanan Adlia. Hilmi menganggukkan kepala, dengan terpaksa, pria itu menyetujui apa yang akan disampaikan kakak iparnya. Mendapat persetujuan dari Hilmi, Azam kembali menatap Adlia.

"Meminangmu sebagai istri kedua saya."

Duaar ... petir menyambar di tengah derasnya hujan. Jihan mengeratkan pelukan pada suaminya, ia membenamkan wajah di dada bidang Azam. Hilmi yang terpaksa merelakan gadis pujaannya, terasa lemas sekujur tubuh, sehingga tangannya terkulai lemas, melepaskan payung yang ia genggam.

Inikah jalan hidup yang Engkau beri ya Rabb? batin Adlia, menatap tajam pada Azam.

Namun, entah apa yang membuat Adlia menganggukkan kepala. Di tengah guyuran hujan, di antara pusara orang tua angkatnya, disaksikan oleh Allah Subhaana Wata'aala, Adlia menerima pinangan Azam, suami dari kakak angkatnya.

Adlia menggelengkan kepala kuat, ia menepis ingatan yang terjadi hari ini. Malam itu, pikiran Adlia benar-benar berkecamuk. Ia tidak mengerti mengapa dirinya menerima pinangan Azam. Hal yang seharusnya tidak pernah untuk dilakukan.

Adlia memijit keningnya yang tidak sakit. Hiruk pikuk pikirannya membuat Adlia termenung, menatap kolam yang tenang. Adlia mengembuskan napas berat. Menyusup dalam dirinya rindu pada Sriyani, ibu panti yang berada jauh darinya.

"Saya harus pulang," gumam Adlia.

Adlia mengalihkan perhatian pada ponsel di tangannya. Dering ponsel menandakan satu pesan di terima. Adlia menatap layar ponsel, ia membuka dan membaca pesan dari Jihan.

Assalaamu'alaikum, Lia. Aku telah memberitahu mak bang Azam, beliau setuju dengan pilihanku, yaitu dirimu. Besok siang mak akan datang, meminangmu secara resmi. Terimakasih ya, Lia. Maafkan keegoisanku. Aku sangat menyayangimu, Lia. Aku percaya padamu.

Adlia mematukan layar ponselnya. Ia tidak membalas pesan dari Jihan. Isi kepalanya semakin tidak karuan. Hatinya semakin kuat untuk pulang ke Jawa, menemui Sriyani.

Adlia kembali menyalakan layar ponselnya, ia mengusap layar, membuka kunci ponsel. Adlia menekan ikon panggilan untuk menghubungi Fira, adik panti, yang sengaja ia ajak ke Riau untuk menjalankan usaha kafe.

Tidak membutuhkan waktu lama. Ponsel Adlia sudah menghubungkan pada Fira. Dari balik ponsel, terdengar suara Fira mengucap salam.

"Assalaamu'alaikum, Mbak?" ucap Fira.

"Wa'alaikumussalam ... Fira?" panggil Adlia, memastikan panggilan telepon masih terhubung.

"Iya, Mbak. Ada apa?"

"Jumat pagi kita flight, Mbak rindu dengan ibu," tutur Adlia.

"Kita pulang, Mbak?" tanya Fira, terdengar antusias.

"Iya." Adlia tersenyum sendiri, membayangkan Fira sedang senang karena diajak pulang ke Jawa. "Kamu mau, kan?" timpal Adlia bertanya.

"Mau banget, Mbak. Saya sudah lama ingin pulang, tapi segan dengan Mbak."

"Ya sudah ... tapi, besok Mbak minta tolong, ya? Besok datang ke rumah, sebelum ke sini, belikan oleh-oleh di jalan Sukajadi."

"Oke, Mbak."

"Ya sudah, Mbak tutup, ya. Assalaamu'alaikum," tutur Adlia, mengucap salam. Adlia memutus panggilan telepon setelah Fira menjawab salam.

Adlia kembali terdiam. Tangannya ia lipat di antara dada dan perut. Wanita itu mendongakkan kepala, menatap hamparan gemintang yang gemerlap.

Haruskan ini kulakukan, Ya Allah? Akankah aku mampu menjalani ini semua?

Batin dan pikiran Adlia kembali berkecamuk. Ia kembali menurunkan pandangan, menatap air kolam yang tenang. Seakan melepaskan seluruh beban, Adlia mengembuskan napas berat.

Adlia kembali menatap layar ponsel, ia mengetuk layar ponsel dua kali, layar ponser menyala, memperlihatkan walpaper jam yang menunjukkan pukul 21.00. Sudah cukup lama Adlia berdiri di tepi kolam, ia berniat kembali ke kamarnya.

Saat Adlia membalikkan tubuhnya, ia mengurungkan niat karena melihat bi Minah menuju ke arahnya. Kening Adlia mengkerut, menautkan kedua alisnya.

"Mbak ... sepurane, di depan ada mas Hilmi." Bi Minah memberitahukan niat kedatangannya.

"Hilmi, Bi?" tanya Adlia memastikan.

"Iya, Mbak. Mas Hilmi terlihat lesu," kata bi Minah antusias.

"Ya sudah, Bi. Biar saya lihat ke depan, ya. Terima kasih ya, Bi."

"Kalau begitu ... saya permisi ya, Mbak. Monggo, Mbak." Bi Minah berpamitan pada Adlia, yang dibalas dengan anggukkan dan senyum ramah.

Adlia melangkah, meninggalkan taman yang memberikan kenyamanan. Adlia masuk dari pintu samping, menuju ruang tamu. Sesampainya di ruang tamu, pintu yang masih terbuka menampakkan sosok pria yang sangat ia kenal.

Mata Adlia menyipit, menatap Hilmi yang berpenampilan sangat lusuh. Melihat kedatangan Adlia, Hilmi menatap wanita pujaannya. Wanita yang selama ini bertahta di hatinya.

"Lia ..." lirih Hilmi.

"Ada apa, Mi? Kenapa kamu seperti ini?" ucap Adlia, mencecar Hilmi dengan dua pertanyaan.

Alih-alih menjawab, pria itu menundukkan pandangan. Ia menatap kakinya yang tidak mengenakan alas kaki.

"Hilmi!" panggil Adlia, menyadarkan Hilmi dari lamunannya.

Hilmi mengangkat kepala, menatap Adlia yang hanya berjarak satu meter di hadapannya.

"Saya ... ingin mengatakan sesuatu. Saya tahu, rasanya tidak pantas, tapi ... saya tidak ingin menyesal," ujar Hilmi.

Mendengar ucapan Hilmi, Adlia teringat dengan ungkapan Hilmi saat di pemakaman. Menyukaiku? Batin Adlia menebak apa yang tiba-tiba muncul di pikirannya.

"Lia ... saya menyukaimu, lebih dari saudara. Sejak ayah membawamu ke rumah, sejak itu saya sudah menyukaimu. Saya tidak tahu, apakah ini masih berlaku atau tidak. Tapi ... bisakah kamu tidak melakukannya?" Hilmi menatap tajam Adlia. Wanita itu tampak terkejut akan ungkapan Hilmi.

"Sungguh ini sangat sakit, Lia. Kebahagiaan kita semua akan hilang," timpal Hilmi, kembali melanjutkan kalimatnya.

"Apa yang harus saya lakukan, Mi? Akankah saya melihat mbak Jihan seperti itu? Sungguh itu sangat sakit, Mi!" cetus Adlia, ia menatap Hilmi senduh.

"Lia ... pernahkah sekali kamu menyukai saya lebih dari saudara?" tanya Hilmi, ia maju dua langkah.

Adlia yang sadar bahwa Hilmi mulai mendekat, ia pun berkata, "Jangan lewati batas untuk mendekat, Mi!"

Suara Adlia meninggi satu oktaf. Ia menatap tajam Hilmi. Sedangkan yang ditatap, pria itu menyeringai, menatap manik mata Adlia yang membuatnya jatuh hati.

"Jawab, Lia!" bentak Hilmi.

"Tidak ada yang harus dijawab!" Adlia menjawab dengan suara yang tidak kalah tinggi dari Hilmi.

"Jangan buat saya semakin geram, Lia! Jawab atau saya akan berbuat nekat?" tuntut Hilmi.

"Lakukan apa yang kamu mau. Tapi, siap-siap untuk tidak akan pernah melihat saya lagi!"

"Aarrgghhh!" Hilmi mengusap kepalanya kasar. Ia berbalik dan duduk di anak tangga teras. Melihat apa yang dilakukan Hilmi, Adlia juga ikut duduk di sebelah Hilmi.

Hilmi terdiam, ia menatap lurus ke depan. Tatapannya tajam, namun tampak kosong. Keheningan mulai menyapa keduanya, hanya suara alam yang saling bersautan terdengar sedikit horor.

Adlia melirik Hilmi, pria itu masih terdiam dalam lamunan. Semenit. Dua menit. Cukup lama kedua insan itu hanya diam membisu, berkutat pada angan masing-masing.

"Astaghfirullah ..." lirih Hilmi, menundukkan pandangan. Pria itu kembali berkata, "Maaf ... saya membentakmu."

Adlia tersenyum mendengar maaf Hilmi. Ia sangat menyukai pribadi Hilmi yang tidak malu untuk minta maaf.

"Lia ..." lirih Hilmi, memanggil sang pujaan hati. Ia menoleh, menatap Adlia yang sudah menatap dirinya. "Besok mertua mbak Jihan akan datang. Mereka akan melamarmu secara resmi," tutur Hilmi.

"Iya. Mbak Jihan sudah memberitahu saya."

Adlia tersenyum getir. Wanita itu menatap nanar pria di hadapannya. Lesu. Tatapannya sayu. Adlia terlihat khawatir pada kondisi Hilmi saat itu.

Adlia pun berkata, "Maukah kamu menjadi wali saya, menggantikan ayah?"

Mendengar permintaan Adlia, Hilmi tersenyum pahit. Raut mukanya berubah, terlihat rasa sakit yang mendalam di lubuk hatinya.

"Pertanyaan saya sudah terjawab. Di hatimu ... saya hanya saudaramu," sesal Hilmi.

"Maaf, Mi ..." lirih Adlia, mengalihkan pandangan.

Ada yang menyusup, menyelimuti kalbu saat melihat Hilmi dalam kondisi tidak karuan. Sesak. Sakit. Itulah yang dirasakan Adlia.

"Baiklah ..." ucap Hilmi sembari bangun dari duduknya. "Karena saya bertanggung jawab atasmu, maka ... saya akan menjadi walimu untuk menerima lamaran itu."

Hilmi terdiam sejenak. Ia menatap hamparan bintang yang sangat cerah. Ia pun berkata, "Bintang di sini begitu cantik. Mereka akan semakin bersinar saat semakin gelap ...."

Ucapan Hilmi terhenti, ia menatap lekat pada Adlia yang sudah berdiri dan balik menatap Hilmi. "Layaknya dirimu ... akan semakin bersinar, meskipun diterpa kegelapan."

"Hilmi ..." lirih Adlia.

"Sudah larut, saya permisi. Assalaamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullah," tutur Adlia, menjawab salam Hilmi.

Adlia menatap Hilmi yang melangkah pergi, menuju motornya terparkir. Hilmi menyalakan motor dan meninggalkan pekarangan rumah Adlia.

Sedangkan Adlia yang masih setia berdiri, meneteskan air mata. Sesak menyusup di kalbu, sikapnya telah berdusta pada perasaannya.

Terpopuler

Comments

Albirru Novan

Albirru Novan

cerita mengandung bawang😭😭😭😭

2024-05-07

1

Albirru Novan

Albirru Novan

bi minah orang jawa toh...

2024-05-07

1

MentariSenja

MentariSenja

😭😭😭😭😭😭😭

2024-05-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!