Bab 7

Sejak kepergian Adlia dan Hilmi, hanya tangis Jihan yang terdengar di ruangan itu. Azam menatap nanar istrinya, pria itu mengusap kasar wajahnya.

"Astaghfirullah ..." lirih Azam, sembari menarik napas dalam.

Azam mendekati Jihan yang masih terduduk di lantai. Ia memeluk istrinya yang tengah terisak.

"Maafkan Abang yang telah membuatmu seperti ini, Dinda!" tutur Azam. Pria itu mencium pucuk kepala istrinya yang tertutup hijab.

"Kumohon ... Bang ..." lirih Jihan di sela tangis.

"Tidak, Dinda. Abang tidak bisa," jawab Azam. Pria itu semakin mengeratkan pelukan. "Istighfar, Dinda!" imbuh Azam, menyarankan istrinya untuk beristighfar.

"Astaghfirullah ... Astaghfirullah ... Astaghfirullah ..." ucap Jihan.

Jihan menarik napas dalam, ia kemudian mengembuskan napas berat. Wanita itu melepaskan diri dari pelukan suaminya. Jihan menyeka sisa air mata yang mulai kering.

"Bang ..." panggil Jihan sembari menatap pilu Azam.

"Iya, Dinda?" jawab Azam, ia membelai kepala Jihan.

"Pulanglah ke Pekanbaru!" Penuturan Jihan membuat Azam membulatkan mata. Jihan pun kembali berkata, "Sebelum Abang menerima Adlia, aku tidak ingin bertemu Abang. Maafkan diriku," tutur Jihan.

Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Jihan berdiri dari duduknya yang diikuti oleh Azam. Merasa Jihan semakin menjadi-jadi, Azam menatap lekat wajah istrinya.

"Jangan seperti ini, Dinda. Bagaimana masalah kita selesai, bila kita saling menjauh?" tutur Azam.

"Aku tidak tau, Bang. Biarkan aku sendiri. Aku mohon ...."

"Jihan!" Suara Azam naik satu oktaf.

Jihan yang merasa Azam membentak dirinya, menatap nanar mata Azam. Sorot mata yang penuh cinta, kini terasa berbeda. Sorot mata itu terasa begitu mencengkam.

"Abang mau marah?" tanya Jihan. Wanita itu memalingkan pandangan, ia enggan menatap suaminya.

Jihan kembali berkata, "Apa Abang tau ... bahwa mak sudah beberapa kali mengirimku pesan, mau mencarikanmu calon?" Jihan kembali menatap tajam Azam. Wanita itu tidak membutuhkan jawaban dari Azam.

"Jika mak saja sudah seperti itu, bagaimana aku bisa tenang, Bang? Sedangkan mertuaku yang akan mencarikan calon untuk suamiku. Menurut Abang aku harus bagaimana? Apa aku setujui saja ucapan mak?" geram Jihan lagi, yang sudah lelah disudutkan oleh suaminya.

"Bukan begitu, Dinda. Abang juga bingung harus bagaimana. Abang tidak ingin menikah lagi. Tapi ..."

"Tapi, apa?" sergah Jihan memotong ucapan Azam. "Abang tidak bisa menbantah mak, kan?" timpal Jihan lagi.

"Dinda ...."

"Kalian menyalahkanku karena pikiranku yang tergesa-gesa. Kalian tidak tau bagaimana rasanya meminta wanita lain, apalagi wanita itu adalah adik angkatku, untuk menikah dengan suamiku. Kalian tidak tau itu, Bang! Kalian hanya menyalahkanku!" berang Jihan, suaranya mulai tidak terkendali.

"Abang tidak menyalahkanmu, Dinda. Abang tidak bisa mengikuti kemauanmu. Menikah lagi? Itu tidak mungkin," lirih Azam. Pria itu merasa bingung harus bagaimana. Di satu sisi, sangat sulit untuk membantah ibunya. Sedangkan sisi satunya, ia tidak ingin melihat Jihan merasa disudutkan.

"Jangan katakan padaku, Bang! Aku juga tidak ingin suamiku menikah lagi! Katakan itu pada mak, jangan padaku!" hardik Jihan.

"Pelankan suaramu, Dinda!" perintah Azam, mulai tidak tahan mendengar suara tinggi Jihan.

"Kenapa, Bang? Aku bagaikan istri yang tidak menuruti suami? Ha?" kilah Jihan, tidak mengindahkan perintah suaminya.

Jihan menatap sinis Azam. Bibirnya mengulas senyum getir. "Dua hari lagi, jika aku tidak bisa membuat Lia menerimamu, maka mak yang akan membawa wanita pilihannya!" ketus Jihan.

Jihan langsung melangkah pergi, menuju kamarnya. Ia masuk dan mengunci pintu kamar. Sepi. Sunyi. Jihan merasakan kesendirian yang hampa. Wanita itu meringkuk di balik pintu. Ia sudah tidak memiliki tenaga menuju ke tempat tidur.

Air mata Jihan kembali menetes. Ia kembali teringat pesan dari Nurliyah.

Bujuk Azam untuk mau menikah, Nak! Mak ado calon yang elok untuk Azam.

Ya, kalimat yang Jihan terima melalui pesan whatsapp tadi sore, membuat Jihan semakin tidak berdaya.

Jihan yang tidak ingin suaminya menikah dengan wanita pilihan Nurliyah. Jihan memberikan syarat bahwa dirinya yang akan mencari calon untuk Azam.

Jihan meremas kepala yang terasa penuh. Ia merasakan kepalanya seperti akan pecah. Entah berapa lama Jihan meratap dalam tangis. Ia mulai menutup mata, karena sudah merasakan kantuk dan lelah yang luar biasa.

...****************...

Adlia menghentikan motor tepat di depan gerbang rumahnya. Ia menekan klakson, agar pak Yanto, penjaga rumahnya, membukakan pintu gerbang. Seperti tidak ada pergerakan, Adlia kembali menekan klakson motornya. Adlia menunggu beberapa detik. Akhirnya yang ditunggu datang. Pak Yanto membuka gembok dan mendorong gerbang.

"Mbak ndak jadi nginap di rumah mas Hilmi?" tanya pak Yanto dengan logat jawa yang medok.

"Tidak, Pak." Adlia tersenyum, meskipun ia merasa emosinya sedang tidak stabil, namun ia harus tetap tersenyum ramah kepada orang-orang yang ia temui. "Saya masuk ya, Pak?" Adlia mengegas motornya memasuki pekarangan rumah.

"Biar saya saja yang masukkan ke garasi, Mbak!" ujar pak Yanto setengah berteriak.

Adlia menghentikan motor tepat di depan garasi, sesuai yang dikatakan pak Yanto, bahwa dirinya yang akan memasukkan motor. Saat Adlia memutar kontak pada tanda off, mesin motor berhenti bersuara, saat itu pula sorot lampu mobil menerangi pekarangan Adlia.

Adlia menatap ke arah mobil yang baru berhenti. Hilmi. Batin Adlia yang memang tanda dengan mobil Hilmi. Adlia menarik napas dalam dan membuangnya kasar. Adlia melepas helm dan meletakkan di spion sebelah kanan.

Adlia berdiri menatap Hilmi yang menuju ke arahnya. Adlia mengerutkan kening, kedua alisnya seakan menyatu.

"Ada apa?" tanya Adlia langsung mencecar Hilmi, saat pria itu sampai di hadapannya.

"Saya khawatir denganmu, Lia ..." lirih Hilmi, menatap sayu manik indah Adlia.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Terima kasih sudah mengantar saya sampai rumah. Sekarang ... pulanglah!" ucap Adlia tegas. Ia tidak ingin berlama-lama berdua dengan saudara angkatnya.

"Maafkan mbak Jihan, Lia!" ungkap Hilmi pelan.

Adlia tersenyum getir. Ia teringat akan kalimat Jihan. Sesak dalam dada. Adlia tidak menyangka bahwa Jihan mengucapkan kalimat yang tidak pernah ingin didengar. Namun, Adlia tidak bisa marah pada Jihan, rasa sayang Adlia mengalahkan segalanya.

"Sudahlah ... kita tau kondisi mbak Jihan saat ini. Saya yakin, dia juga tidak ingin mengatakan itu." Adlia mengalihkan pandangan, ia menatap langit yang penuh dengan lintang gemintang.

"Apapun yang terjadi, jangan pernah menyetujui permintaam mbak Jihan, Lia," tutur Hilmi.

"Tidak, Mi. Jangan khawatir seperti itu," jawab Adlia tersenyum.

Hilmi terpesona akan senyum Adlia. Rasanya saat itu juga ia ingin memeluk Adlia.

Bagaimana aku tidak khawatir, sedangkan Allah Maha Pembolak-balik hati. Batin Hilmi penuh gejolak, namun ia tidak bisa mengungkapkannya.

Merasa Hilmi memperhatikannya, Adlia merasa canggung. "Ada apa?" tanya Adlia membuyarkan lamunan Hilmi.

"Bisa kita ngobrol sebentar?" pinta Hilmi, yang masih ingin berbicara dengan Adlia.

Alih-alih jawaban yang diberi, Adlia menggeleng pelan. Ia menunjuk ke arloji yang melingkar di tangan kanan. Jam menunjukkan pukul 23.12, sudah larut untuk Hilmi dan Adlia mengobrol berdua.

Mengerti maksud Adlia, Hilmi tersenyum kikuk. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Pulanglah!" tegas Adlia. "Saya tidak bisa menawarkanmu masuk, karena di dalam rumah tidak ada siapapun."

Adlia memberitahu bahwa dirinya tidak menawarkan Hilmi mampir, karena yang tinggal di dalam rumahnya hanya dirinya. keluarga pak Yanto tinggal di rumah terpisah, di bagian belakang.

"Maaf ... saya lupa waktu," tutur Hilmi. "Kalau begitu, saya permisi. Assalaamu'alaiku**m."

"Wa'alaikumussalam warahmatullah," jawab Adlia singkat dan terdengar tegas.

Hilmi membalikkan tubuh, ia melangkah menuju mobil putih kesayangannya. Pria itu masuk ke mobil. Tidak memerlukan waktu lama, Hilmi menjalankan mobil keluar dari pekarangan rumah Adlia. Setelah mobil Hilmi keluar, pak Yanto kembali menutup dan mengunci gerbang.

Yakin bahwa mobil Hilmi sudah tidak terlihat, Adlia melangkah masuk ke rumah. Meninggalkan motor yang akan dimasukkan ke garasi oleh pak Yanto.

Terpopuler

Comments

MentariSenja

MentariSenja

mampir lg thor🌹untukmu

2024-04-30

1

Kikan Dwi

Kikan Dwi

nanti ujung-ujungnya mau Lia karena jihan terus memohon

2024-04-10

1

Elok Oren

Elok Oren

Kenapa Hilmi gak terus terang aja kalau sebenarnya Hilmi suka sama Adlia

2024-03-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!