Bab 4

Pukul menunjukkan angka 08.40, Azam baru saja memarkirkan mobil di halaman rumah orang tua Jihan, yang sekarang hanya dihuni oleh adik iparnya, Hilmi. Azam baru tiba dari Kabupaten Kampar, ia merasa sangat lelah, ia menenangkan pikiran sejenak di dalam mobil.

Sebagai seorang pemilik perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit, mengharuskan Azam keliling ke setiap kabupaten/kota yang terdapat perkebunan miliknya. Sedangkan pabriknya berada di Kota Dumai.

Azam mengambil cuti selama satu minggu, setelah menyelesaikan laporan dan masalah yang melanda pembibitan pre nursery kebunnya. Pria itu juga menyerahkan tanggung jawab dan memberikan pesan pada kepercayaannya. Ia tidak ingin diganggu dalam satu minggu ke depan.

Azam langsung mematikan mesin dan keluar dari mobil. Pria berusia 35 tahun itu melangkah, menapaki anak tangga yang berjumlah lima anak tangga. Azam berhenti sejenak dan mengatur napas, seakan melepas beban ribuan ton yang menimpah batinnya.

Tanpa mengulur waktu, Azam menekan bel yang ada di sisi kiri pintu. Sedetik. Dua detik. Tidak ada yang keluar. Azam kembali menekan bel, ia menunggu beberapa detik dan akhirnya seseorang membuka pintu. Adlia, wanita itu tersenyum ramah melihat kakak iparnya datang.

“Assalaamu’alaikum.” Azam mengucap salam saat Adlia membuka pintu. Ia menangkupkan kedua tangan di depan dada, tanda bersalaman kepada yang bukan mahram.

“Wa’alaikumussalaam warahmatullah,” ucap Jihan menjawab salam Azam, yang juga membalas salam Azam dengan cara yang sama.

"Silakan masuk, Mas," imbuh Adlia. Tanpa basa-basi, Adlia mempersilakan Azam masuk. Setelah Azam masuk, Adlia kembali menutup pintu.

Azam dan Adlia menuju ke ruang keluarga yang sudah ditunggu oleh Jihan dan Hilmi. Hening. Tidak ada suara atau sambutan yang biasa dilakukan oleh Jihan. Hampa. Itulah kondisi Jihan dan Azam saat itu.

“Assalaamu’alaikum.” Azam mengucap salam dan langsung bersalaman dengan Hilmi.

“Wa’alaikumussalaam warahmatullah,” jawab Hilmi, sedangkan Jihan yang berada di samping Hilmi hanya terdiam. Wanita itu hanya tertunduk tanpa kata.

“Silakan duduk, Bang!” tutur Hilmi mempersilakan kakak iparnya. Azam pun menurut duduk di hadapan Hilmi yang terhalang oleh meja.

“Mas Azam mau minum apa?” tawar Adlia sopan.

“Air putih saja.” Azam menjawab tawaran Adlia dengan singkat.

Sepeninggalan Adlia ke dapur mengambil minum untuk Azam, tidak ada suara yang terdengar dari tiga insan di ruangan itu. Mereka bertiga terdiam, berkutat pada pikiran masing-masing. Sampai Adlia kembali dengan segelas air putih yang ia bawa menggunakan nampan berwarna cokelat.

“Silakan, Mas.” Adlia meletakkan segelas air putih di hadapan Azam, dan langsung duduk di samping Jihan.

“Terima kasih,” jawab Azam yang langsung meraih gelas dan meminumnya. Azam yang merasa haus langsung meneguk air putih sampai tersisa setengah gelas. Pria itu kembali meletakkan gelas yang ia pegang.

“Abang tadi dari mana? Pekanbaru atau Kampar?” tanya Hilmi, membuka suara, menghilangkan kecanggungan dan ketegangan di antara mereka.

“Dari Kampar, Mi."

“Tidak istirahat dahulu?” Akhirnya terdengar suara Jihan yang sejak kedatangan Azam hanya diam membisu.

Azam yang mendengar suara istrinya tersenyum dan berkata, “Tidak, Dinda. Setelah Abang menyelesaikan masalah dan memberikan pesan pada Yoga dan Ranti, Abang langsung ke Dumai.”

"Jam berapa Abang dari sana?" Hilmi kembali bertanya. Pria itu heran jam berapa kakak iparnya berangkat dari Kabupaten Kampar, sehingga jam 09.00 sudah berada di rumah mereka.

"Sekitar jam 02.30 berangkat. Berhenti di masjid Rumbai, untuk subuhan. Selesai salat saya istirahat, ngantuk sekali, karena dari hari minggu, hanya sekitar dua jam saya tidur. Sungguh banyak masalah, Mi. Makanya saya baru bisa datang hari ini, dari yang seharusnya senin malam saya sudah sampai, ternyata jadi selasa pagi."

Azam menjelaskan estimasi waktu keberangkatan dirinya dari Kabupaten Kampar hingga ke Kota Dumai.

"Lalu bagaimana dengan pembibitan pre nursery, Bang?" Hilmi kembali bertanya perihal pembibitan yang sedang terjadi kendala.

"Itulah, Mi. Dalam seminggu ini kan hujan, jadi lokasi pembibitan pre nursery banjir. Ada sekitar 16.500 polybag, nah ... yang terendam banjir itu sekitar 7.000 polybag. Sisanya, mereka alokasikan ke lahan pembibitan baru. Sedangkan lahan baru belum selesai dibersihkan, baru 50 persenlah. Sekitarnya masih semak belukar."

Azam menghentikan kalimatnya, ia meraih gelas yang masih menyisakan air setengah gelas. Pria itu meneguk air dan menghabiskannya tanpa tersisa. Azam kembali meletakkan gelas yang telah kosong. Pria itu kembali melanjutkan cerita.

"Ternyata, lokasi yang telah dibersihkan, tidak langsung ditanami turnera subulata dan lantana camara. Kamu tahu sendiri, Mi ... bagaimana lokasi pembibitan, yang dekat semak belukar dan tanpa tanaman pencegah hama. Bibit itu sudah tujuh minggu. Sedangkan hama menyerang dalam semalam," tutur Azmi menjelaskan apa yang terjadi pada pembibitannya.

"Tidak ada yang bisa diselamatkan, Mas?" tanya Adlia menimpali pembahasan pembibitan kebun Azam.

"Ada, Lia. Hanya 2.000 yang bisa diselamatkan." Azam tersenyum menjawab pertanyaan Adlia. Ia hanya bisa pasrah dengan apa yang telah terjadi.

"Seharusnya dalam sebulan lagi bisa dipindah ke main nursery itu, Bang." Hilmi menimpali ucapan Lia, karena mengingat waktu yang diperlukan pembibitan awal agar bisa dipindah ke pembibitan selanjutnya sudah berusia tiga bulan.

"Mau bagaimana lagi, Mi. Itu yang telah terjadi. Saya juga tidak mau mengalami kerugian seperti ini," tutur Azam tersenyum.

"Jadi, bagaimana dengan lahan yang sudah disiapkan, Mas?" tanya Adlia.

"Lahan masih dalam persiapan, terpaksa dihentikan. Hanya saja, sudah mempersiapkan untuk main nursery. Sepertinya saya akan beli bibit pre nursery," jawab Azam terdengar menimbang dan memikirkan langkah selanjutnya.

Adlia dan Hilmi mengangguk-anggukkan kepala merespon jawaban Azam. Mereka begitu paham akan kerugian yang dialami Azam. Dari 16.500 polybag, hanya tersisa 2.000. Seharusnya bisa untuk menanam empat blok, yang satu bloknya 30 hektar, kini hanya bisa untuk sekitar 14 hektar.

Jihan yang sedari awal hanya diam membisu, ia melirik ke arah suaminya, Azam. Jihan dapat merasakan betapa suaminya sedang kesulitan. Tergambar jelas gurat wajah Azam yang sangat letih.

“Abang istirahatlah dahulu. Kita bisa melanjutkan percakapan nanti malam, setelah salat isya.” Hilmi kembali membuka suara, memberi saran pada kakak iparnya. Ia menatap arloji yang melingkar di tangan kirinya yang menunjukkan pukul 10.25.

Bukan tanpa sebab Hilmi menyarankan Azam untuk istirahat, pasalnya perjalanan yang ditempuh Azam cukup lama dan melelahkan. Terlebih lagi, Azam baru saja mengalami kesulitan di kebunnya. Hilmi dapat merasakan bagaimana kecamuk pikiran kakak iparnya.

“Terima kasih, Mi. Saya duduk di sini saja bersama kalian.” Azam terdiam sejenak. Pria itu menatap istrinya yang kembali tertunduk. “Kalau boleh ... saya mau ngobrol dengan kakakmu berdua. Apa kalian bisa keluar sejenak?” tanya Azam.

“Tentu boleh, Bang. Kebetulan saya dan Lia akan keluar,” ucap Hilmi memberi isyarat pada Adlia, yang langsung paham maksud Hilmi.

“Terima kasih, Mi, Lia,” tutur Azam merasa lega, karena kedua adik istrinya selalu menghormatinya sebagai kakak ipar mereka.

Hilmi dan Adlia meninggalkan Azam dan Jihan. Mereka berdua melangkah menuju keluar rumah. Mereka saling terdiam ketika sudah berada di teras. Ada kecanggungan di antara keduanya. Karena mereka bukanlah saudara kandung, mereka memahami batasan interaksi antara keduanya.

Adlia bingung harus melakukan apa dan bingung harus ke mana. Kebingungan itu bukan hanya dirasakan Adlia, namun Hilmi juga merasa bingung. Karena apa yang dikatakan Hilmi pada Azam begitu saja keluar dari mulutnya.

Hilmi menatap Adlia dan bertanya, “Kita mau ke mana?” Tidak ada jawaban dari Adlia, namun hanya gelengan kepala pelan. “Kamu tidak ingin ke kafe?” timpal Hilmi, kembali bertanya pada Adlia.

“Tidak. Saya sudah bilang pada mereka, kalau selama waktu senggang kali ini, saya tidak bisa ke kafe. Saya ingin menemani mbak Jihan,” jawab Adlia, yang dibalas anggukkan oleh Hilmi.

Hilmi melihat arlojinya dan berkata, “Masih jam setengah 11, masih bisa dibilang pagi, bukan?” tutur Hilmi yang tidak butuh jawaban dari Adlia.

“Kamu tidak ingin ke Hutan Wisata?” tanya Adlia seakan memberi saran.

“Hutan wisata?” Adlia mengangguk mantap menjawab Hilmi. “Mau piknik?” tawar Hilmi.

"Mau!” Adlia yang memang ingin sekali piknik menjawab dengan sigap. Akan tetapi, Adlia terdiam sejenak. Pikirannya tertuju pada kakaknya. "Tidak apa-apa kita meninggalkan mbak Jihan?" tanya Adlia, merasa berat meninggalkan Jihan yang tengah kalut.

"Kita beri ruang untuk mereka dahulu, karena setelah masalah itu, mbak Jihan langsung ke Dumai. Sedangkan bang Azam, dia langsung berangkat ke Kampar karena dapat laporan dari kebun." Perlahan Hilmi menjelaskan pada Adlia. Ia sangat paham, bahwa wanita di hadapannya itu sangat menyayangi kakaknya.

"Baiklah kalau seperti itu," lirih Adlia, menerima penjelasan Hilmi.

“Saya ambil mobil sebentar,” ucap Hilmi yang melangkah menuju garasi.

Adlia yang enggan menunggu Hilmi, ia pun mengikuti Hilmi ke garasi. Hilmi menuju mobil putih kesayangannya, yang selalu menemani dirinya ke manapun pergi. Hilmi dan Adlia masuk ke dalam mobil. Adlia pun duduk di sebelah Hilmi yang akan menyetir.

“Bismillaahirrahmanirrahiim,” ucap Hilmi yang kemudian mengarahkan mobilnya keluar garasi dan meninggalkan pekarangan rumah.

Mereka berdua pergi menuju Hutan Wisata, meninggalkan Jihan dan Azam, memberikan ruang untuk pasangan suami istri itu.

Terpopuler

Comments

MentariSenja

MentariSenja

🌹untukmu thor

2024-04-29

1

Kikan Dwi

Kikan Dwi

blm kebuka juga masalah nya...

2024-04-05

1

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

alur lambat

2024-03-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!