Sesampainya di depan rumah, Arthur langsung turun dari mobil, begitu pula dengan Aran.
'brukkk!
"Auwww!!" Aran meringis kesakitan, sepertinya saat terjatuh tadi kakinya terkilir.
Dan saat ia turun dari mobil ia tidak bisa menopang tubuhnya, alhasil ia kembali terjatuh dan karena ia masih memakai heels itu semakin membuat kakinya bertambah sakit.
"Ada apa, kau terjatuh lagi?" Arthur nampak khawatir.
"Kaki ku terkilir," Aran merasa sangat sakit, hal itu membuat air matanya menetes.
"Aih," Arthur menghela napas.
Ia membuka jas yang dikenakan nya untuk menutupi lutut Aran sampai kaki, lekas ia menggendong Aran untuk masuk rumah. Kunci mobil ia serahkan pada penjaga.
Aran merasakan ngilu pada kakinya, ia melingkarkan tangan pada leher Arthur dan menyandarkan kepalanya pada dada pria itu.
"Wanita aneh, sebelumnya dia sangat cerewet kini ia bersedih karena kesakitan," batin Arthur yang heran melihat Aran.
"Buka pintunya," Ia kesulitan untuk membuka pintu karena kedua tangannya digunakan untuk menggendong Aran.
Arthur mendudukan Aran ditempat tidur, ia bangun untuk mengambil minyak angin berniat memijat kaki Aran yang terkilir.
"Kau bisa memijat?" Aran sedikit tak percaya jika Arthur akan memijat kakinya.
"Heh, kau meremehkan ku," kembali bersikap angkuh. Aran menyesal menanyakan hal itu.
Dibawah, Nenek baru keluar dari kamarnya. Ia melihat mobil Arthur sudah terparkir kembali, artinya dua orang itu sudah kembali.
"Selamat sore, Nyonya besar," David menyapa Nenek.
"Sore, David. Kau sudah mau pulang?" Nenek bertanya pada David karena melihat pria itu bersiap pulang.
"Tugas saya sudah selesai, Nyonya," ia menjawab dengan menunduk sopan.
"Apa kau tak mau makan malam dulu, waktu makan malam sebentar lagi," Nenek menawarkan untuk makan malam bersama.
Sebenarnya, David bagi keluarga mereka sudah seperti bagian dari mereka juga. Dulu, ayah David juga bekerja disini sebagai asisten ayah Arthur. Jadi, hubungan mereka sudah sangat dekat walaupun kini ayah David sudah tiada.
Walaupun begitu, David tetap merasa sungkan pada Nenek maupun Arthur.
"Terimakasih atas tawarannya, Nyonya. Tapi, untuk saat ini saya tidak bisa," ia menolak tawaran itu.
"Baiklah, hati-hati saat diperjalanan," Nenek paham, David tidak bisa dipaksa.
"Saya permisi, Nyonya," David menunduk dan pergi.
"Sepertinya Aran masih duduk," Nenek berjalan menaiki tangga untuk menghampiri Aran.
Sesampainya di lantai dua, ternyata pintu kamar tidak tertutup rapat dan celah itu terlihat jelas.
"Akh, Aaawww sakit. Bisakah kau pelan-pelan," Aran meringis kesakitan.
Karena pintu yang sedikit terbuka jadi yang diluar bisa mendengar apa yang mereka lakukan.
"Aku sudah pelan, tahan sedikit," Arthur menyahuti.
Nenek melihat dari celah, Jas Arthur tergeletak dilantai, begitu pula dengan heels Aran yang berserakan.
"Tidak, hentikan. Aku tidak kuat, ini sakit," Aran memohon karena kakinya memang benar-benar terasa sakit.
"Jangan cengeng, setelah ini kau tidak akan sakit lagi," Arthur masih memaksa agar Aran mau menyelesaikan pijatan nya.
"Tidak, tidak! Ini sakit, Yaaaaakkk! Arthur!!!" Pembicaraan mereka diakhiri dengan teriakan Aran.
"Yaakkk! Akan ku bun*h kau!" Aran merasa begitu kesakitan.
Diluar Nenek yang mendengar semuanya berkedip berkali-kali, ia menepuk wajah nya berkali-kali untuk menyadarkan dirinya. Sepertinya, Nenek sudah salah paham.
"Aih, anak jaman sekarang. Ini bahkan masih sore, mereka benar-benar tidak memperdulikan waktu," Nenek menggerutu sambil kembali turun dan mengurungkan niatnya untuk bertemu Aran.
"Ada apa Nyonya?" Bibi Ma sedikit heran dengan raut wajah Nyonya besar nya.
"Ma, kau tau. Sebentar lagi aku akan menggendong cicit," wajahnya terlihat senang namun bercampur kesal.
"Hahah, dasar Nyonya," Bibi Ma hanya bisa tertawa.
Waktu makan malam pun tiba, Nenek sudah duduk di meja makan dan menunggu kedua cucunya itu untuk turun. Sedangkan, di kamar Arthur mereka berdua memperdebatkan hal sepele lagi.
"Apa-apaan kau memakai celana ini di depan, Nenek. lutut mu masih ada bekas luka," Arthur protes karena lutut Aran dibalut plaster.
"Apakah aku harus menggunakan celana jeans milikku. Bukankah kau yang menyediakan ini semua, sejak masuk rumah ini aku tak lagi mengenal celana panjang.
Semua celana pendek juga dress ku hanya sebatas lutut, sebagian bahkan ada yang diatas lutut," Aran kesal dengan Celana, akhirnya bisa ia ucapkan juga.
"Diam disini, aku akan membawakan makanan nya," Arthur lebih mencari aman, daripada ia diomeli Nenek karena luka gores Aran.
"Yasudah," Aran memalingkan wajahnya tak peduli.
Arthur turun, dan ia sudah melihat Nenek duduk sambil tersenyum kearah nya.
"Dimana istri mu?" Nenek bertanya karena tak melihat keberadaan Aran.
"Dia dikamar, Nek. Kakinya masih sakit akibat kecerobohan nya," Arthur mengatakan yang sejujurnya.
"Mengapa tidak kau gendong saja?" Nenek masih terus bertanya sambil menikmati makanan nya.
"Dia cukup lelah untuk duduk katanya. Nanti akan ku antar makanan untuk nya," Arthur tersenyum lalu menyantap makanan nya.
"Oooh begitu," Nenek mengangguk.
Melihat respon Nenek yang sedikit berbeda membuat Arthur sedikit heran. Neneknya ini, tiba-tiba tersenyum sendiri saat makan. Akan tetapi, tak ia ambil pusing.
Setelah Arthur selesai makan, ia mengambil makanan untuk Aran dan segelas air putih.
"Arthur, apa kau hanya membakan itu untuk istri mu?" Nenek menghentikan langkah Arthur.
"Iya, Nek. Memangnya aku harus membawa apa lagi?" Arthur heran dengan pertanyaan Nenek nya itu.
"Bawa susu ini juga buah ini, Aran harus memakannya," Nenek menyodorkan segelas susu juga semangkuk buah yang sudah dikupas.
"Tidak perlu, Nek. Nanti aku bisa menyuruh Bibi Ma untuk membawakan nya," Arthur menolak karena malas membawa terlalu banyak.
"Tidak, kali ini harus kau yang bawa," Nenek memberikan nampan agar memudahkan Arthur membawanya.
"Baiklah," pria itu kini hanya bisa pasrah.
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments