Bab 19 : Butterfly

“saya mau kuasa hukum yang bisa membantu saya untuk merampas semua yang Marissa kuasai sekarang.”

Permintaan tiba – tiba itu ditangkap langsung oleh Pak Fino yang berdiri tepat didepan Dinda, salah satu orang yang sudah sepakat bekerja sama dengan dirinya.

“Cari sendiri? Kenapa harus ngadu ke saya?” Herannya menatap Dinda yang berlaku sebagai bos disana.

“Saya minta bantuan bapak, kan, bapak juga yang butuh jasa saya untuk ambil semuanya? Kita udah sepakat untuk kerja sama, kan?”

“Gila kamu, kesepakatan kita itu bukan berarti kamu bisa nyuruh – nyuruh saya! Kalo kamu butuh kuasa hukum, cari sendiri. Diperjanjian kita gak ada saya bilang untuk menanggung semua yang kamu minta ke saya.”

“Tapi dengan adanya kuasa hukum yang membela saya, kita bisa menang nantinya, pak.”

“kenapa harus minta ke saya? Huh? Kamu itu yang butuh bantuan saya selama ini. Cari sendiri.” Kerasnya membuat Dinda entah kenapa sakit hati karena merasa terusir dan tidak dibutuhkan.

“Oke. Kalau bapak tidak setuju, sebaiknya kita jalan masing – masing.”

***

“Lo yang minta jemput, ya!” bisik Marissa kepada Rossa setelah melihat Jaka dan Jehian memarkirkan motor mereka telat didepan gerbang rumah Marissa pagi itu, “enggak anjir! Dia yang minta sendiri.” Saut Rossa membela dirinya sendiri.

“aduh gimana sih! Kan, kita nanti mau pergi main pas pulang. Kenapa malah lo iya-in aja!” kesal Marissa.

“Sa, gue gak kepikiran sumpah. Itu cowok lo yang minta sendiri, anjir.”

Marissa menatap sinis Rossa setelah mendengar kalimat yang Rossa sampaikan kepadanya sebagai perlawanan, “bukan cowok gue!”

“Belum, maksud gue.”

“Bukan.”

Rossa berdecak kesal mendapati Marissa mulai denial dengan dirinya sendiri, “susah banget sih bilang ‘iya’ doang?”

“Gue ditembak aja enggak, gimana sih lo?”

“kalo ditembak, lo terima, kan?” Marissa hanya diam, antara malu dan masih tidak mau mengakui perasaan dan kemauaannya.

Rossa yang melihat sebuah kesempatan untuk menjahili sahabatnya itu pun bergegas berlari keluar dari rumah Marissa dengan berteriak sekeras mungkin hingga mengundang atensi Jaka dan Jehian yang awalnya asik mengobrol berdua sembari menunggu mereka keluar dari rumah besar tersebut.

“JAKA! MARISSA MAU DI – “

Marissa berhasil mengejar Rossa dan membungkam mulut perempuan itu hingga tidak lagi bisa melanjutkan ucapannya, ia benar – benar mengeluarkan semua kemampuannya untuk mengejar dan menahan Rossa yang memberontak dipelukannya.

“Lo jangan sembarangan ya, monyet!” umpatnya tepat ditelinga Rossa, lalu ia tersenyum konyol menghadap Jaka yang menatapnya penuh tanya, “hehe bercandaan kok.”

Rossa pun akhirnya bisa lepas dari Marissa, membenarkan kembali seragam dan rambutnya yang berantakan, lalu menginjak kaki Marissa kesal.

“weh! Ngapain lo nginjek kaki gue, huh?”

“Lo ngeselin!”

Marissa menatap Rossa tidak percaya, “kok gue? Lo yang ngeselin, ya!”

“gak. Lo doang yang paling ngeselin dan selalu gangguin gue mulu!”

“sembarangan lo! Dimana – mana juga lo yang bikin gue naik darah mulu!”

“gue? Darimananya?? Apa buktinya kalo gue bikin lo naik darah mulu, huh?”

“barusan! Lo pake segala lari sambil teriak kalo gue mau ditembak sama Jaka, apa itu kalo gak – LOH!?”

Marissa mendelik, mencengkram lengan Rossa dengan reflek dan menutup mulutnya. Apa yang baru saja ia katakan itu adalah kalimat yang tidak seharusnya ia katakan secara lantang, apalagi didepan Jaka dan Jehian sekarang yang hanya diem menahan tawa. Sedangkan Rossa dan Marissa malu bukan main dengan kelakuan mereka dipagi hari ini yang mMang sedikit aneh dan blak – blakan.

“udah – udah, ayo berangkat, keburu telat kita.” Seru Jehian sembari menyiapkan helm dan motornya bersama Jaka.

Marissa dan Rossa pun berjalan pelan menuju mereka sambil menahan malu, apalagi Marissa yang dengan terpaksa harus menghadapi orang yang sempat ia sebut namanya dalam kalimat tadi.

Jawa tertawa kecil melihat Marissa menunduk setelah mengunci gerbang rumahnya, “masih pagi, Sa. Jangan bikin gaduh, ya.”

“Gue gak maksud, Jaka.”

Jaka memasangkan helmnya dengan telaten ke kepala Marissa yang masih tidak mau menatapnya, “emangnya lo mau kalo gue tembak beneran?” tanyanya sembari menunggu Marissa naik keatas motor.

Marissa hanya melirik Jaka dan bergegas naik keatas motornya, “jangan bercandain gue dong, gue malu, Jaka.”

“gue serius, Marissa. Emang mau?” tanyanya sekali lagi.

“Emang ada manusia yang gak mau sama lo?” bukannya menjawab, Marissa malah melayangkan pertanyaan balik.

“Ada kali, gak mungkin semua orang mau sama gue, Sa.”

“Iya sih,” sautnya kecil, “tapi gue mau kok, tenang aja.”

Sejujurnya Jaka ingin teriak, perutnya seakan banyak kupu – kupu beterbangan didalam sana dan membuatnya sedikit sesak didada juga. Semua terjadi begitu saja dan ia tau Marissa juga merasakannya sekarang. Namun, ia terpaksa untuk menahan semuanya membuncah begitu saja, semua terlalu awal dan terlalu rentan bagi mereka apalagi disituasi sekarang Marissa sedang banyak masalah yang tentu saja belum selesai.

“Jaka, lo kok diem aja?” tanya Marissa ditengah – tengah perjalanan dan pikiran Jaka yang berantakan.

“gapapa, gue lagi mikirin rencana gimana caranya gue nembak lo nanti.” Bualnya, berharap Marissa bisa tertawa mendengar balasannya terhadap pertanyaan yang Marissa layangkan.

“bercanda lo jelek banget sih, gue mual banget, Jaka.”

“Kenapa mual? Gue romantis kali, gimana bisa malah lo mual?”

“Banyak kupu – kupunya perut gue, sampe kerasa gak enak.”

Kalo bisa ia berhentikan motor ini dan berbalik untuk memberi hadiah Marissa sebuah kecupan, maka akan ia lakukan sekarang juga sekalipun harus memotong jalan orang lain sembarangan. Tapi apa daya Jaka yang tidak punya keberanian sebesar itu untuk menyampaikan keinginannya kepada Marissa.

Hening seketika melanda mereka, perjalanan menuju sekolah begitu lancar dan membuat Marissa maupun Jaka sendiri nyaman satu sama lain. Dengan kemauan Jaka, meminta Marissa untuk meletakkan tangannya bukan lagi dipundak, melainkan beralih memeluk pinggangnya erah. Mereka bisa sama – sama tau jika mereka saling mau satu sama lain dikeadaan seperti ini. Hingga motor Jaka memasuki parkiran sekolah dan mereka turun dari motor.

Barulah Jaka membuka suara dan menjelaskan sesuatu hal yang berputar – putar dikepala Marissa sedari tadi, “sabar ya, tunggu semuanya selesai. Nanti kita bisa bareng seterusnya tanpa harus takut dengan banyak hal kayak sekarang.”

Marissa tersenyum menatap Jaka yang juga menatapnya senang, “iya, janji, ya?”

Jaka mengangguki ucapan Marissa dan bergegas membawa anak itu untuk masuk kedalam kelas sebelum nanti bunyi bel masuk terdengar. Pagi itu berakhir bahagia, meskipun Jehian dan Rossa sampai lebih dulu dan meninggalkan mereka, itu tidak ada artinya. Jika sudah berdua, Rossa bahkan Jehian bukan lagi seperti manusia bagi Jaka dan Marissa. Mereka hanya sebutir debu yang beterbangan dilangit yang berusaha mengganggu mereka berdua.

“Besok gue gak mau jemput lo lagi.”

Rossa memukul bahu Jehian kesal, “gue juga gak mau lo jemput lagi!”

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!