“Bapak ada urusan apa ya sama saya?”
Pertanyaan itu langsung ditanyakan oleh Marissa sesaat setelah ia ditarik masuk ke ruang guru oleh orang yang selama ini ia hindari mati – matian. Biasanya akan ada seorang Paduka Jaka Ardinan yang akan menyelamatkan dirinya dan melindungi dirinya, namun pagi ini ia gagal total untuk menghindar karena Jaka belum di sekolah dan Rossa tidak bisa menahan Pak Fino untuk membawa Marissa.
Disinilah dirinya bersama Pak Fino dengan Guru BK dan juga salah satu guru perempuan lainnya, “Marissa, kamu seharusnya tidak menanyakan hal seperti itu kepada ayahmu sendiri.” Tegur sang Guru BK.
Marissa mengerut heran dengan seruan sang guru yang menurut dirinya sangat tidak masuk di akal sehat manusia normal. Bagaimana bisa banyak sekali orang percaya jika Pak Fino ini ayahnya? Darimana? Gen siapa? Marissa yang diakui sebagai anaknya saja tidak tau menau soal siapa beliau selama ini?
“karena memang bukan bapak saya. Bapak saya udah mati bu setahun yang lalu, ibu juga pernah ngelayat kerumah saya pas waktu itu.” Balas Marissa tak kalah sewot berusaha men-skakmat-Nya.
“sudah sudah, gak perlu berdebat,” ucap Pak Fino, “kamu saya panggil saat ini karena memang kamu punya banyak urusan dengan saya sebenarnya dan salah satunya adalah urusan keluarga.”
“Saya tau bapak hidup aja barusan, gimana bisa kita keluarga?”
Pak Fino berusaha mengumpulkan segala bentuk kesabaran sebelum pada akhirnya menjawab semua pertanyaan yang Marissa layangkan sedari tadi dengan penuh emosi dan amarah.
“saya ini benar ayah kamu, Marissa. Saya ayah kandung kamu dan kamu harus percaya itu.”
Marissa berdecak kesal, “udah dibilangin juga, bapak saya tuh udah meninggal satu tahun yang lalu gara – gara kecelakaan bareng sama mama saya. Gimana bisa sekarang bapak saya masih hidup?’
“Bapak kamu itu tidak pernah meninggal dan masih hidup dengan sehat. Saya orangnya, Fino, ayah kandung kamu yang gak pernah kamu tau keberadaannya selama ini.”
Marissa menatap lekat beliau, mencari – cari kebohongan dimatanya yang berakhir tidak ditemukan dan mulai merinding karena merasakan hawa yang seharusnya tidak ia rasakan. Segala macam bayangan dan pikiran yang tidak pernah ia sangka akan bisa ia lihat dan rasakan sekarang membuatnya terasa mual, seluruh badannya dingin, dadanya sesak dan emosinya membuncah seolah ingin meledak.
Kenyataan ini benar – benar menghantamnya keras tapi masih bisa ia tahan, kepercayaan dirinya begitu besar jika Pak Fino bukanlah ayahnya. Tidak ada benang merah yang bisa ia lihat, hanya Pak Fino yang pintar berlaku seolah semuanya adalah fakta yang harus Marissa terima.
Pada akhirnya ia menghela napas, melirik Pak Fino sinis dan beranjak dari duduknya, “tujuan bapak tuh sebenernya apa sih? Ngusik hidup saya mulu, heran.”
“saya pingin kamu tau fakta ini sejak lama dan saya ingin kamu balik sama saya seutuhnya.”
Marissa menganga tidak percaya dengan keputusan mustahil yang Pak Fino ucapkan barusan, “gila, bukti aja gak ada lah kok mau saya ikut bapak. Gak sehat ini manusia.”
Ucapannya menyinggung Pak Fino sangat, bahkan Guru BK tersebut juga ikut merasa marah, tapi Marissa berhasil kabur dari ruangan itu dan bebas dari Pak Fino.
“biarkan saja, anak itu hanya perlu bukti, kan? Saya bisa lakukan sendiri, sekalipun tanpa Jaka.”
***
“terus? Masalahnya ada dimana emang?”
Pertanyaan itu dilayangkan langsung tanpa pikir panjang oleh seorang Sevian yang sedang sibuk berjalan menuju satu ruangan. Beberapa menit yang lalu ia secara tiba – tiba menerima panggilan dari sang adik yang seharusnya tidak melakukan panggilan suara dengan dirinya disaat jam pelajaran, tapi Jaka seolah sedang rela melanggar peraturan hanya untuk memberi informasi terbaru.
“Ya.. gue udah mutusin buat berhenti jadi links beliau kemarin.”
Sevian berdecak kesal bukan main mendengar penjelasan adiknya yang ngalor – ngidul, “apaan sih? Lo tuh daritadi gak jelas ya, bajingan. Gue sebel denger lo ngomong daritadi sumpah.”
Umpatan itu sangat berefek terhadap Jaka dan membuat anak remaja itu mulai menghela napas dan mengintrospeksi dirinya sendiri untuk bisa memperbaiki kalimat dikepalanya dan bisa mengatakan apa yang ia ingin sampaikan kepada Sevian. Butuh beberapa waktu untuk Jaka kembali ke jiwanya sendiri, bahkan sangking lamanya, Sevian sudah duduk dibangku kelas dan mulai memperhatikan dosennya menjelaskan materi daripada menunggu sang adik berbicara.
“Monyet, giliran gue mau ngomong malah ditinggal ngelas. Yang bener aja lo.” Ucap Jaka tak kala kesal mendengar dosen Sevian membicarakan hal yang rumit menurut Jaka sendiri.
“ngomong tinggal ngomong, ribet banget lo. Gue denger kok.”
“Gue tuh udah cut off beliau kemaren dan beliau fine – fine aja dengan keputusan gue untuk berhenti jadi links-nya beliau.” Jelas Jaka setelah merangkai banyak paragraf dikepalanya, “beliau bilang bakalan bergerak sendiri nantinya buat mantau Marissa, gue was – was banget takut terjadi apa – apa kalo aja beliau dibiarin sendiri, bang.”
“kenapa baru bilang? Dari kemaren ketemu gue gak ada laporan apa – apa lo?”
“gue pikir bakalan selesai sampai disini aja, tapi ternyata hari ini beliau bawa Marissa ke Ruang Guru buat bicara sama beliau disana.” Sevian mendelik kaget, menghiraukan materi yang dosennya jelaskan seketika dan menatap ponselnya tajam, “kok lo biarin?” tanyanya.
“telat. Gue telat dateng. Marissa tadi dibawa pas gue belum sampai sekolahan.”
“goblok. Orang paling ceroboh satu dunia emang cuman Jaka Ardinan.” Umpatnya dengan heellaan napas yang berat, “tungguin sampe keluar, kalo bisa nguping sekalian.”
“mana bisa? Gue gak sejago itu untuk bikin skenario buat bisa tau apa yang mereka obrolin sama Marissa didalem sana.”
“pakai otak pinter lo itu. Percuma menang olim kalo nguping doang gak ahli, basi.”
“Sevian Putra Ardinan emang orang paling ngeselin satu dunia. Gue doain dapet merah rapor lo.”
Sevian tertawa kecil mendengar ucapan sang adik terhadap dirinya, “bocil. Sombong banget lo jadi pinter.”
Panggilan itu disudahi begitu saja oleh Sevian dan ia berusaha kembali fokus kepada kelasnya. Setelah kelasnya berakhir, Sevian berlari kencang menuju sebuah ruangan yang diketahui adalah ruangan dimana banyak sekali anak organisasi kampus berkumpul disana setiap harinya. Ia melirik keseluruh ruangan, mencari seseorang yang harus ia kembali ulik informasinya.
“Vian?” suara itu membuatnya menoleh, “ngapain lo disini?”
“eh, gue mau ngobrol sedikit boleh gak?” tanya Sevian.
“boleh banget lah, mau ngobrol apa emangnya? Mau ngobrol dimana juga?” jawabnya sembari menawarkan opsi lain kepada Sevian.
“disini aja sih gapapa sebenarnya, gue cuman mau tanya update soal abang lo sama istrinya gimana?” seru Sevian seolah itu bukan rahasia besar yang perlu disembunyikan dari telinga publik.
Temannya yang sempat kaget dengan pertanyaan dari Sevian pun akhirnya menghela napas dan menariknya sedikit menjauh dari tempat awal mereka berdiri dan mulai menceritakan apa yang Sevian ingin dengar dari dirinya.
“kakak ipar gue udah kerjasama sama orang gede gitu lah istilahnya, orang yang punya kuasa besar gitu kemaren gue dengernya. Dia sempet mampir kerumah dan gue denger dia telpon seseorang dan bilang bakalan jadi links yang bener dan bakalan menangin semuanya.” Jelasnya.
“Gue gak tau maksudnya, tapi gue takut kalo itu orang bakalan berbuat hal yang gak seharusnya dia lakuin hanya karena uang. Dan juga, gue pasti kena, gimana pun kelakuan dia tetep bakalan gue yang kena imbasnya dan dia bakalan hidup lancar disana setelah dapetin uangnya.”
Sevian mengangguk paham dan mengelus pelan pundak sang teman untuk memberi sedikit dukungan mental, “paham banget gue. Gak seharusnya emang lo punya kakak ipar modelan dia dari awal.”
“Iya emang,” ucapnya sembari menatap Sevian lekat sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu hal yang sangat ingin ia tanyakan, “ lo bisa bantuin gue gak?”
“Bantuin apa? Kalo butuh perlindungan mah langsung ke kepolisian aja sih kata gue.”
“Hal yang mau gue mintain tolong ke lo ini bukan hal yang bisa dilakuin sama pihak kepolisian sih, tapi gue yakin lo bisa bantuin gue soal ini.”
Sevian merasa tidak enak dengan aura yang temannya berikan kepada dirinya, namun ia berusaha untuk tetap santai dan bersikap sebagaimana Sevian sebenarnya dikampus dan menanggapi segala bentuk ucapan temannya dengan santai.
“Apaan sih? Emang gue manusia apaan menurut lo?” tanyanya dengan tawa.
“Vian, gue tau banget soal lo yang sebenarnya selama ini, maka dari itu gue mau minta tolong sama lo.”
“Lo enggak, jangan khawatir, karena gue bukan orang yang lo pikirkan sekarang.”
“lo orangnya. Tinggal pilih aja, bantuin gue atau rahasia lo gue bongkar kesuluruh kampus sekarang juga?”
Sevian tertawa terbahak – bahak mendengar ancaman dari sang teman, seakan – akan ia tau semua hal tentang seorang Sevian Putra Ardinan yang selama ini hidup lempeng – lempeng aja dikampus.
“lo kira gue takut sama ancaman lo? Disaat lo mau minta bantuan gue buat eksekusi keluarga lo sendiri begini, lo masih sempet ngancem gue? Kok bisa?” balas Sevian dengan santai dan membuat temannya kembali menciut dan mulai memohon lagi.
“Bantuin gue makanya, setidaknya salah satu dari mereka pergi.”
“Imbalannya?”
***
Sevian : kalo misal gue minta tolong bisa gak?
Pesan tersebut masuk tepat sesaat setelah seorang Kaizan keluar dari kelasnya, ia membuka pesan tersebut dan langsung bergegas membalasnya.
Kaizan : apa?
Kaizan : imbalannya?
Kaizan : gue lagi sibuk sebenernya, tapi kalo lo punya tawaran bagus gue bakalan ambil
Sevian : bangsat, belum deal apa – apa segala ngomongin imbalan lo
Sevian : hidup pamrih itu gak baik brader
Kaizan : khusus buat lo, gue harus pamrih.
Sevian : ntar aja dah gue ke Vector
Sevian : intinya sih bantuin Jaka sama Marissa
Sevian : oke?
Kaizan yang membaca chat tersebut pun akhirnya paham maksud dari Sevian meminta tolong kepada dirinya, “langsung aja bilang mau eksekusi gitu doang susah amat, dasar manusia.”
Kaizan : oke
“Pake apaan ya kali ini? Boring banget kalo gue ngikutin abang mulu, gak ada sensasi mencekam apa – apa.” Ucapnya monoton sembari memasang helmnya dan bergegas pulang dari sekolah.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments