Bab 8 : Strange Feeling

Pagi hari setelah hari berat terlewati bukannya makin membaik, Marissa seakan hidup dikesialan yang terus menghantuinya setiap waktu dan dimanapun.

Masih ingat tentang si penguntit itu? Pastinya, kan?

Tebak apa yang sekarang terjadi...

"Apa yang harus gue lakukan sekarang?"

Suara gemuruh keras yang keluar dari ponsel Marissa pagi itu seakan memberi penjelasan kepadanya untuk bersabar, "Jaka, dia bener - bener didepan pagar rumah gue, Ka." Lemahnya.

Iyaps, benar, kali ini sial Marissa seolah mendapat jackpot-nya. Penguntit itu kali ini sudah berani berdiri tegap didepan pagar rumahnya dengan wajah yang tertutup masker dan kacamata hitam, tangannya masuk ke sela - sela pagar untuk meraih gembok pagat tersebut dan ia memainkan gembok tersebut dengan cara mengetuk - ngetukannya ke pagar. Suara ketukan tersebut semakin membuat Marissa merinding, takut tiba - tiba orang tersebut menaiki pagar tinggi itu dan masuk untuk menangkapnya.

"Jaka, dia ngeliat gue sekarang. Dia tau gue disini, Ka." Gemetar Marissa sembari menggenggam gorden jendela kamar, tempat dimana ia mengintim orang tersebut.

"Jaka, gue takut banget.."

Marissa mulai menangis dengan keras sesaat setelah suara ketukan gembok tersebut mulai dipercepat, semakin menggema dan menakuti diri Marissa yang sendirian disana. Ponselnya masih terhubung dengan Jaka yang mempercepat perjalanan untuk menyusulnya kesana, meskipun tidak berbicara apapun, Jaka tetap tidak menutup panggilannya untuk menemani Marissa.

Waktu seakan berjalan melambat dan menghabiskan tenaga Marissa yang ketakutan bukan main pagi itu, niatnya untuk pergi kesekolah seketika menghilang dan tergantikan dengan rasa ketakutan yang besar.

"Jaka... Ayo buruan... Gue takut." Lirihnya mulai pasrah sekaligus lelah menangis.

"Masih denger ketukannya?" Marissa yang mendengar jawaban Jaka pun bergegas menegakkan tubuhnya.

"Masih."

"Tunggu sebentar lagi."

"Lo dimana? Katanya mau bantuin gue, kok malah gak dateng? Gue sendirian disini, Jaka."

"Habis ini ya, janji kok, gue cari bantuan sebentar."

Sempat ingin membalas ucapan Jaka, Marissa disadarkan dengan keadaan setelahnya. Ketukan gembok pagar itu sudah tidak terdengar. Marissa bergegas melirik kearah luar melewati jendelanya, disana tidak lagi ada orang itu, gembok yang dimainkannya pun masih terbentuk seperti semestinya dan tidak terbuka.

"Jaka! Orangnya udah pergi! Jaka, buruan kesini!" Seru Marissa sembari menghapus bekas air mata diwajahnya.

"Syukur deh, ini dijalan, sebentar lagi sampe. Jangan dibuka dulu ya kalo gaada gue di depan."

"Iya!"

***

"Gimana mereka? Kasih tau gue dong."

Jehian menghela napas setelah membaca informasi terbaru yang dikirim langsung oleh sahabatnya melewati pesan singkat. Ia melirik Rossa yang terus berusaha membuatnya membuka mulut atas informasi yang Jaka berikan kepadanya karena Rossa tidak mendapat kabar apapun dari Marissa selain karena hari ini Marissa bolos sekolah.

Jehian melirik kanan dan kiri sebelum akhirnya menarik Rossa mendekat, "hari ini Marissa diteror sama orang didepan rumah, Jaka pagi ini bantuin itu anak sampe bolos sekolah buat pertama kali di seumur hidupnya."

Rossa kaget bukan main, bukan karena Jaka bolos untuk pertama kali dalam seumur hidupnya, tapi karena penguntit itu kembali lagi. Rossa berusaha mengirim pesan apapun kepada Marissa sebagai kekhawatirannya.

"Percuma lo chat juga gak bakalan dibales, dia lagi sama Jaka dirumahnya, trauma mungkin."

"Lo tau gak rumahnya Jaka?" Tanya Rossa heboh.

"Ya tau? Gue temenan 6 tahun sama bocil satu itu mana mungkin gue gatau?"

"Anterin gue nanti pulang sekolah."

Jehian mendelik tidak menyangka dengan ucapan Rossa, ia tidak berekspektasi Rossa akan memintanya untuk mengantar perempuan itu kerumah Jaka.

"Gila lo, dikira gue gak ada kerjaan apa abis sekolah!" Berusaha menolak namun pada akhirnya gagal juga karena mata Rossa yang menatapnya sendu, "dah lah, percuma gue ngelawan bocah."

Beginilah Jehian, gampang menyerah sebelum mencoba.

"Nah, gitu dong! Jadi cowok tuh haㅡ" ucap Rossa terputus karena Jehian yang menariknya untuk bersembunyi didalam lab ipa yang gelap, "ㅡdiem. Ada guru." Bisik Jehian.

Mereka merunduk dan bersembunyi dibalik pintu lab tersebut selagi mengupingi perbincangan seseorang yang Jehian maksud sebelumnya.

"Bagaimana jika Marissa kita keluarkan saja dari sekolah ini, pak?"

Langkah kerasnya seolah berhenti tepat didepan pintu lab itu, membuat Rossa dan Jehian gemetaran takut ditemui oleh mereka disana.

"Apa? Kamu berani ngomong gitu didepan saya? Lupa kamu sama perjanjian kita di awal?"

"Saya mau anak itu ada dipantauan saya terus - menerus supaya saya tau apa kelemahan dia selama ini. Itu akan sangat memudahkan saya untuk mengorek semuanya dan saya tidak akan pernah mengganti rencana saya."

"Tapi pak, pihak dinas mulai mencoba untuk meminta izin sekolah untuk berkomunikasi dengan Marissa. Mereka menganggap Marissa salah satu dari anak yang bermasalah dan butuh pertolongan disekolah."

"Apapun caranya, jangan pernah biarkan itu terjadi."

2 orang tersebut seolah berdebat hebat dengan suara tinggi, sedangkan Rossa dan Jehian yang bersembunyi hanya bisa diam mematung didalam lab dan memikirkan apa yang baru saja mereka dengarkan.

***

Marissa melihat ponselnya terus bergetar menerima banyak pesan dari Rossa yang mengkhawatirkannya, namun ia tidak ingin membalas apapun pesan yang Rossa kirimkan padanya saat ini.

Secangkir teh hangat sudah ada didepan matanya, seorang Jaka pun sudah dengan setia duduk menemaninya tanpa suara sejak tadi. Mereka diam selama berjam - jam disatu ruangan yang ada di markas Vector.

Iya, Jaka membawa Marissa pergi ke markas Vector yang terbilang jauh dari rumah Marissa maupun rumah Jaka sendiri.

"Setidaknya lo ngomong satu kata biar gue bisa mastiin kalo lo baik - baik aja." Jengah Jaka setelah menahan untuk mengatakan kalimat tersebut sejak tadi.

Marissa menoleh, "lama."

Jaka mengerut heran, apa yang dimaksud dengan kata lama yang Marissa ucapkan padanya.

"Maksudnya?"

"Lo, lama. Gue nunggu sampe mau mati rasanya."

"Maaf, gue harus kabarin abang - abang yang lain buat bantuin tadi Sa." Jelasnya setelah paham maksud dari ucapan Marissa.

"Abang - abang lo yang didepan?" Jaka mengangguk, "tadi orangnya diapain sama mereka emang?"

"Gatau, kan gue belom dateng. Pas dateng juga gue cuman kepikiran lo doang, jadi belom nanya mereka sampe sekarang."

"Mau tanya?" Jaka menawarkan sebuah kesempatan kepada perempuan didepannya itu yang langsung ditolak.

"Lo aja yang tanya, nanti cerita ke gue ya. Gue malu kalo ketemu mereka."

"Kenapa malu? Diapain emang lo tadi? Perasaan daritadi gaada tuh ketemu sama mereka."

"Malu, Jaka. Gue denger sesuatu tadi."

Jaka semakin bingung dibuatnya, "denger apaan? Pas gue tinggal bikin teh?"

"Iya, pas itu."

"Denger apa? Mereka ngomong jelek soal lo?"

"Enggak, bukan gitu."

"Terus gimana, Sa."

Marissa melirik Jaka sekilas lalu membuang pandang kearah luar jendela, "mereka manggil gue ceweknya Jaka, bukan Marissa."

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!