"dia ngaku jadi bapak gue ke Jaka dan Jaka percaya gitu aja."
Rossa menatap Marissa yang sedang mencoba untuk mengeluarkan segala bentuk kemarahannya. Kejadian dimana ia tidak sengaja mendengar percakapan Jaka dengan Pak Fino membuatnya dan Jaka sedikit renggang dan ia menghindari Jaka sepenuhnya. Meskipun Jaka berusaha menjelaskan tapi tetap Marissa tidak mau mendengarkannya.
"Kayaknya Jaka punya rencana lain gak sih? Jaka gak mungkin berkhianat apalagi sama lo, Sa."
Marissa memutar malas matanya, "tapi dia ngelakuin itu sekarang."
"Jelas - jelas dia udah bilang iya pas tua bangka itu minta buat bikin update daily soal gue. Gila kali ya." Kesalnya sembari memukul keras boneka beruang yang ia peluk, "mana gue juga kemakan omongan cowok itu lagi, kek orang tolol, mau mau aja dibegoin anak emas sekolahan."
"Marissa, gak gitu maksudnya Jaka.."
Marissa menatap Rossa heran, ia merasa Rossa seolah - olah berada dipihak Jaka dibanding dirinya yang sedang struggle sendirian. Berniat mendapat dukungan tapi malah merasa disalahkan ini bagaimana konsepnya?
Bukannya mendengarkan penjelasan Rossa ia sudah kepalang kesal dan pada akhirnya beranjak pergi dari perpustakaan itu dan pulang dari sekolah sendirian, berlari menghindar dari Jaka yang masih saja setia menunggunya digerbang sekolah.
Baru juga berubah, sekarang keadaannya terbalik kembali ke masa yang sebelumnya. Hadeh.
***
"Salah paham, gak dikasih waktu buat menjelaskan juga gue nya."
Kali ini Jaka memiliki tujuan lain selain rumahnya, yaitu markas Vector. Berkeluh kesah kepada Nathan dan adiknya, Kaizan, yang memang tinggal disana sebagai pemilik rumah sebenarnya.
"Terus? Lo biarin dia balik beneran gitu?" Tanya Kaizan.
"Iya, gak bisa gue tahan juga sekarang, percuma."
"Bener sih, percuma lo tahan kalo masih sama - sama emosi." Saut Nathan sembari membuka beberapa berkas penting dihadapannya.
"Menurut lo gimana bang? Di keadaan gue yang begini masih bisa gak ya kasih penjelasaan ke dia maksud gue sebenarnya tuh."
"Ya bisa lah, tunggu emosinya Marissa mereda dulu aja."
"Tapi bang, disini gue situasinya gak bisa ngapain - ngapain juga sebenernya. Gue gagal buat cut off beliau dan terpaksa juga disini." Nathan mengerutkan dahinya mendengar ucapan Jaka.
"Bukannya abang lo suruh buat cut off dia secepatnya, ya? Kenapa malah dilanjut, Jaka?" Tanyanya yang malah mendapatkan penjelasan riwa - riwi dari Jaka yang berkemungkinan sedang semrawut juga pikirannya sekarang.
Nathan kesal mendengarnya, anak itu seolah berada dipihak yang salah tapi masih berusaha bertahan dan menolak berhenti. Bukan itu yang mereka inginkan kepada Jaka, saran yang mereka layangkan dan diterima oleh Jaka sebelumnya bukan itu, tapi kenapa malah buat keputusannya sendiri? Sama - sama dapat kerugian pula dirinya maupun Marissa.
"Bentar deh," Nathan menatap Jaka dengan serius, "lo tuh sebenernya ada di kubu siapa? Marissa apa Pak Fino, sih?"
Jaka seketika diam dan menghela napas berat, mengusak rambutnya kasar dan memukul meja kayu didepannya. Ia tidak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya ia rasakan sekarang, sungguh membuncah bersama tanpa bisa ditahan dan berakhir tidak bisa diungkapkan.
"Lo kalo mau ngedukung usaha Pak Fino buat stalker Marissa, silahkan aja. Cuman jangan balik kesini lagi lo." Ucap Nathan dengan penuh dengan kepercayaan diri dan suara yang normal.
"Sekarang mau gimana? Lo udah meng-iya-kan perintahnya beliau dan harus dilakukan, mau kasih tau soal Marissa lagi? Masih? Ke orang yang bahkan lo tau sendiri dari Marissa kalo orang itu bukan keluarganya."
"Bikin cerita buat boong ke orang itu jauh lebih susah daripada lo jujur, kan? Lo pasti tau lah, Jak. Hidup lo selama ini kan lancar - lancar aja tuh, gaada kebohongan dan gaada kericuhan."
"Kali ini lo harus melakukan itu, hanya gara - gara lo sudah berurusan sama Pak Fino. Gimana?"
Seolah mendapat ribuan pertanyaan, Jaka semakin tidak bisa mengatakan kemauannya seperti apa sekarang. Ia hanya memikirkan bagaimana cara untuk menjelaskan kepada Marissa namun ia juga belum tau akan mengatakan apa.
Nathan benar, tapi Jaka tidak pernah bersalah. Setidaknya Jaka masih punya kepercayaan diri tinggi jika ia tidak bersalah dan berhak mendapatkan maaf dari Marissa dan berhak kembali berteman dengan Marissa seperti dahulu.
***
"Gue capek deh, hidup gue gini - gini aja bangsat."
Keluhan dari teman sekampusnya itu mengusiknya dari kegiatan yang sedari tadi ia lakukan.
"Kenapa? abang lo lagi?" Pertanyaannya seketika dijawab oleh anggukan oleh lawan bicaranya, "abang lo hidup jauh dari lo aja masih ribet, gimana kalo bareng, anjir?"
"Makanya Vi, gue tuh capek banget sama itu bangsat satu pokoknya. Hidup dia tuh gak bisa lepas sama yang namanya kekayaan, padahal juga nyari duit gamau, yang diperalat istrinya mulu."
"Gimana bisa? Istrinya masih mau? Keadaannya kan mereka ada disatu negara dan kota yang istilahnya biaya hidup harus tinggi, belom nurutin kemauan diri sendiri."
"Dahlah gatau, abang gue tuh goblok tapi ceweknya lebih goblok. Sekarang lagi ribet cari duit haram pasti, yakin gue."
"Kenapa gitu anjir? Gak boleh lo mikir jelek begitu ke abang lo sendiri woy haha."
"Sevian, gue ini adeknya. Target minta duit pertama itu ke gue, gak abang gue gak ceweknya pun sama, ngakunya emang butuh buat kebutuhan hidup tapi buat foya - foya doang. Kalo gue nolak ngasih, mereka bakalan menghalalkan segala cara buat dapet duit sekalipun itu jual narkoba disana, entahlah."
"Lo serius?"
"Serius Sevian Putra Ardinan. Gue cerita begini ke lo soalnya emang gaada temen lagi gue, kalo gue bisa ngelawan mereka pun gue bakalan ngelawan, anjing, bahkan kayanya gue bunuh pun gapapa."
"Sembarangan, berdoa aja yang baik - baik, nanti juga dibantuin sama Tuhan."
"Gue capek banget, Sev, masalahnya. Yang cewek tuh kemaren sempet ngancem mau kerja sama kayak mafia gitu buat dapet duit dari gue."
"Kejadian?"
"Enggak sejauh ini gue aman hidup dirumah, tapi cewek itu gue tau kalo mentalnya gak pernah runtuh. Pasti nanti gebrakannya ada aja pas dateng kerumah."
Sevian tertawa mendengar ucapan temannya tersebut, mengangguk paham dan berusaha menenangkan temannya. Memberi beberapa kalimat penyemangat sebelum pada akhirnya ia juga mencoba melayangkan beberapa ide dari otak pintarnya.
"Kayaknya lo emang butuh temen cerita banget deh, sumpah haha," ucapnya dan langsung diangguki oleh temannya itu, "udah, calling gue aja kalo mau cerita, gue bakalan bantu lo kalo gue bisa bantu nanti, oke?"
"Makasih banget ya bro. Gue bener - bener sendirian sekarang, gaada yang bisa diajak ngobrol karena emang udah sebatang kara dirumah. Nanti kalo ada update gue kabarin deh, soalnya pasti gue stress lagi."
"Siap. Sekarang ngopi dulu udah, jangan mikirin ipar lo yang gila itu."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments