Bab 20 Melepas Jangkar

Hari demi hari berlalu dengan cepat. Tak terasa Seruni akan lulus SMP dan masuk SMA. Tentu saja ia merasa senang. Begitupun ibunya. Bahagia sekali melihat puterinya tumbuh dengan baik dan membanggakan. Niat untuk menguliahkannya tumbuh semakin kuat. Bu Warti mulai mempertimbangkan tawaran untuk kerja di Malang. Apakah dengan bekerja di sana ia bisa menabung biaya kuliah untuk Seruni? Suaminya? Terkadang pulang memberi sedikit uang. Tapi itu hanya cukup untuk beberapa hari makan. Saat di tanya pun ia tak banyak menjelaskan pekerjaan yang ia lakukan.

"Pak kamu sebenarnya di Surabaya kerja apa toh?" tanya ibu di suatu malam saat Seruni sudah tertidur. Ia mencoba memancing suaminya untuk bercerita lebih banyak hal dengannya. Seperti dulu.

"Ikut nukang." jawabnya singkat.

"Sama siapa pak?"

"Ada lah teman ku kamu nggak kenal."

"Kamu nyaman kerja disana pak?" tanya ibu lagi

"Nyaman." jawabnya. Singkat. Sangat mementahkan percakapan yang coba di bangun istrinya.

"Kamu di bayar dengan layak kan pak?"

Pak Eko terdiam. Sebenarnya ia tidak di bayar dengan baik oleh mandornya. Uang pekerja di bawa kabur oleh pemegang kontrak dan proyek pembangunan dibiarkan mangkrak begitu saja. Pekerjanya di pulangkan ke rumah masing masing. Pak Eko marah sekali hari itu. Ia langsung pergi ke warung remang dan mabuk mabukan di sana. Meluapkan semua kekesalannya. Padahal aku sudah berniat untuk hidup lebih baik tapi kenapa ada saja hal yang di ambil dari ku. Terlalu lama ia marah pada Tuhan atas segala hal yang terjadi padanya. Membuat pria yang dulunya baik hati dan lemah lembut itu berubah 180 derajat. Usaha yang di bangunnya dari nol bersama isterinya hancur karena ulahnya sendiri. Itulah teguran Tuhan untuknya. Memang lah manusia itu mahkluk yang egois. Terkadang menolak sadar dan menyalahkan apapun yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Ini adalah hari pertama ia di rumah setelah dipulangkan dari tempat kerjanya.

"Pak Seruni sebentar lagi masuk SMA."

"Mau lanjut sekolah? Mending kerja aja bantuin kamu di kebun."

"Jangan toh pak. Biar dia sekolah aja. Jangan sampai nasibnya kayak kita pak. Seruni harus sukses." jawab ibu.

Pak Eko terdiam lagi. Rasanya sangat lelah dengan diri dan hidupnya sekarang. Melihat istri dan anaknya yang tidak bisa di bahagiakan, rumah yang jauh dari kata layak, ekonomi yang sulit. Rasa marah pada Tuhan dan dirinya sendiri malah dilampiaskan pada keluarganya. Kecanduan alkohol pun memperburuk keadaan. Ia selalu lepas kendali namun kesulitan untuk berhenti.

"Ayo pak kita mulai hidup yang baru. Berhenti minum minumnya. Kita kerja keras lagi buat anak kita pak." ucap ibu lembut sambil mengelus pelan tangan suaminya.

"Aku dapat tawaran buat kerja di Malang pak. Bantu catering, gajinya lumayan. Ada tempat tinggalnya juga. Jadi aku nggak keluar banyak biaya dan bisa nabung buat sekolah nya Runi pak." lanjut ibu lagi.

"Kamu mau ninggalin aku ke Malang sana?"

"Mau bagaimana lagi pak? Kalau disini terus kita nggak dapat apa apa. Mungkin uang kita bisa untuk hidup sehari hari, tapi ke depannya gimana pak?"

"Biar aku yang kerja. Kamu sakit sakitan gitu aja mau kerja jauh. Bikin repot orang lain aja nanti."

"Nggak pak, aku sudah mendingan sekali sekarang. Bapak bisa coba kerja di kebun Pak Rajiman. Kalau laki laki yang kerja biasanya bayarannya lebih tinggi. Disana juga ada cutinya pak. Kalau lagi cuti aku bisa pulang."

Hening. Lalu ibu berkata lagi "aku nggak masalah hidup susah pak. Tapi anak kita harus hidup lebih baik. Dia sudah menemani dan menerima kita dengan kondisi susah selama ini pak, ayo kita buatkan jalan biar hidupnya lebih baik nanti. Kita mulai dari awal lagi yah pak. Aku yakin kita bisa." ibu menggenggam tangan bapak erat erat. Mencoba meyakinkan suaminya. Tak peduli seberapa banyak bapak menyakitinya, ibu masih percaya keajaiban yang bisa merubah bapak akan datang. Itulah cinta, bisa membuat orang menjadi begitu naif dan penuh harapan.

"Terserah kamu. Aku nggak peduli. Kalau kamu mau pergi silahkan. Jangan ceramah di depanku." bapak melepaskan genggaman ibu. Beranjak keluar dari kamar dan pergi ke warung remang di bawah gunung sana. Ibu kembali menangis, tapi itu tak mengubah keputusannya. Ia akan pergi bekerja di kota. Tabungan pendidikan Seruni adalah prioritasnya sekarang. Ibu sedang mempersiapkan diri untuk bicara dengan Seruni beberapa hari lagi. Sementara Pak Eko menembus dinginnya malam dengan sepeda motor tuanya. Kemarahannya membuat ia selalu bertingkah bodoh layaknya anak anak. Ia kecewa karena isterinya harus bekerja jauh, merasa gagal sebagai suami dan ayah bukannya membuat ia interospeksi terus berusaha membenahi diri alih alih ia terjebak dalam emosi negatif yang membuatnya semakin hancur dan merugi. Bagaimana cara Tuhan menyelamatkan ia nanti.

"Seruni ada yang mau ibu bicarakan."

"Iya ada apa bu?" tanya Seruni. Mereka berdua tengah menyeterika dan melipati pakaian.

"Menurutmu kalau ibu kerja di Malang gimana?"

"Ha? Untuk apa kerja jauh jauh bu?" tanya Seruni

"Kita perlu banyak biaya ke depannya Run. Ibu ingin kamu bisa kuliah dan uang yang kita punya sekarang nggak akan cukup kalau kita nggak punya penghasilan lebih."

"Aku bisa cari beasiswa bu" jawab Seruni.

"Iya ibu tahu, tapi kita tetap perlu banyak biaya untuk masuknya Run."

"Ibu mau kerja apa disana?"

"Ibu di tawari untuk kerja catering, ada tempat tinggal dan cuti tiap tiga bulan sekali. Ibu bisa pulang dan jenguk kamu tiap cuti Run." jawab ibu.

Seruni menatap dalam ibunya, ini kesempatan baik. Bukan kah ia ingin ibunya keluar dari sini. Ia ingin ibu ada di tempat yang lebih baik. Peluang tidak datang dua kali. Ia harus membiarkan ibunya pergi kesana.

"Bapak?"

"Bapak dari kemarin sudah mulai kerja di kebun Pak Rajiman. Bapak yang akan jaga Seruni disini."

Seruni perhatikan bapak termasuk jarang marah beberapa waktu terakhir ini. Masih suka pulang dalam keadaan mabuk, tapi ia dan ibu sudah jarang di pukul. Paling hanya marah sambil teriak saja, itu sudah termasuk perkembangan yang baik untuk bapaknya.

"Atau Seruni mau ikut ibu? Kita bisa ngontrak dan kamu sekolah disana."

"Enggak perlu bu. Kalau ngontrak nanti uangnya habis untuk biaya hidup dan tempat tinggal. Aku disini aja sampai lulus. Ibu jangan khawatir, insyaAllah aku bisa jaga diri baik baik." jawab Seruni.

Bu Warti menatap anak gadisnya ini. Seruni terkadang bersikap seperti orang dewasa yang mencoba memahami apapun kondisi orang tuanya. Begitu sedih jika dipahami kenapa ia bertingkah seperti itu.

"Maafkan ibu yah Run." Bu Warti memeluk Seruni erat.

Seruni balas memeluk ibunya erat. Air matanya menetes. Kehidupan yang lebih baik memang memerlukan pengorbanan di awal. Apalagi untuk orang yang serba terbatas seperti mereka. Maka dari itu Seruni menyakinkan hatinya lagi dan lagi, bahwa berangkatnya ibu ke kota nanti adalah bagian dari pengorbanan itu. Sekarang mereka sudah melepaskan jangkarnya, bersiap untuk berlayar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!