18

#18

“Masihkah kamu bersedia menikahi putri kami? karena dari peristiwa hari ini, Om yakin, Hardiman akan kembali berulah, mencoba kembali menculik Naya, bahkan juga akan membahayakan nyawamu.”

Daniel tertawa sumbang, bertahun-tahun merajut mimpi dalam balutan rindu tak bertepi, jika kini rindunya telah menemukan muara, haruskah ia berbalik pergi? 

“Bahkan saya tak keberatan, seandainya malam ini juga Om menikahkan kami.” Tentu karena tak ingin lagi kehilangan, maka dengan yakin Daniel menjawab pertanyaan Papa Dika. 

Papa Dika bernafas lega, “dua anak buah saya bisa jadi saksi, jika anda masih ragu silahkan tanyakan biodata mereka langsung pada Opa saya di Jakarta.” Daniel menyodorkan ponselnya. 

Namun dengan bijak, Papa Dika mendorong kembali ponsel tersebut. “Tak perlu nak, Om percaya padamu, Om juga tahu kapasitas keluargamu. Hanya saja selama ini Om ragu, ingin meminta bantuan tapi siapalah keluarga kami. Bahkan Naya dan kedua Orang Tuanya pun baru beberapa tahun bertetangga dengan kedua Orang Tuamu.”

“Terima kasih, atas kepercayaan Om …”

Papa Dika tersenyum lega, satu beban berat berkurang dari pundaknya, karena kini beban tersebut bisa ia bagi dengan calon menantunya.

“Maaf Tuan Dika, jika saya menyela pembicaraan, tapi saya masih belum paham, apa motif Tuan Hardiman menculik Nona Mila eh … Nona Naya.” Zaki yang sejak tadi jadi pendengar, tak bisa membendung rasa penasarannya. 

Wajah Papa Dika kembali muram, Semua berawal sejak puluhan tahun yang lalu, sebuah ekspedisi penelitian di pulau kecil dekat semenanjung Malaka. Penelitian itu melibatkan yang melibatkan Profesor Ricky dan Profesor Hardiman. 

Pada awalnya mereka meneliti Biota laut, namun di luar dugaan, karena tanpa sengaja mereka menemukan sesuatu yang menakjubkan. Mineral yang terkandung dalam tanah di kepulauan tersebut sangat kaya akan sumber daya alam materi. 

Sepasang peneliti tersebut membawa contoh batuan dari pulau ke Laboratorium untuk melihat materi apa yang terkandung didalamnya. 

Rupanya batuan tersebut bukan sembarang batu, setelah melalui proses penelitian, diketahui batuan tersebut mengandung biji emas berkualitas terbaik. Dengan kata lain, kedua Profesor tersebut menemukan harta karun tersembunyi, yang bahkan tidak diketahui oleh seisi warga yang mendiami pulau tersebut. 

Hasrat menimbun kekayaan dan keserakahan seketika muncul, membuat Profesor Hardiman melakukan berbagai macam cara agar bisa menambang batuan di pulau tersebut. Tapi warga lokal menentang keras keinginan Profesor Hardiman yang ingin menambang batuan di pulau tersebut, bahkan kompensasi yang ditawarkan oleh Profesor Hardiman ditolak mentah mentah oleh warga sekitar.

Profesor Ricky pun menentang keras keinginan Profesor Hardiman, namun tak ia indahkan peringatan tersebut. Justru Profesor Hardiman memiliki ide gila, ia berencana melakukan genosida terhadap seluruh warga lokal penghuni pulau.

“Entah ancaman apa yang Hardiman berikan pada kakakku, hingga ia bersedia menuruti keinginan Hardiman untuk menciptakan obat pemusnah masal tersebut.”

Daniel dan kedua pengawalnya cukup tercengang mendengar penjelasan Papa Dika, diam-diam tanpa Daniel dan keluarga Geraldy ketahui, Profesor Hardiman yang selama ini terlihat ramah dan humoris, ternyata dia adalah seorang berdarah dingin.

“Lalu kenapa Naya bisa terlibat?” tanya Daniel penasaran.

“Walau kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya, kakakku tak pernah bersedia menyerahkan hasil penelitiannya, ia justru berpindah dari kota satu ke kota yang lain untuk menghindar dari pengejaran Hardiman. karena itulah Hardiman marah dan sepertinya dia juga adalah dalang dibalik peristiwa kebakaran yang menewaskan kedua orang tua Naya.” Bayangan kesedihan memayungi wajah Papa Dika kala mengenang peristiwa pahit tersebut, “sepertinya sampai hari ini Hardiman masih mengira, jika Naya memiliki, atau menyimpan petunjuk dimanakah letak Laboratorium rahasia milik Papinya.”  

Papa Dika maju dari posisi duduknya saat ini, iya mere*mas pundak Daniel, “Sekali lagi Om minta maaf padamu, karena kelak setelah kalian menikah, bebanmu pasti akan bertambah, karena harus melindungi Naya dari ancaman Hardiman, walau begitu Om tetap memohon jaga putri Om satu-satunya,” pinta Papa Dika tulus.

Daniel mengangguk yakin, “Aku mencintai Naya apa adanya Om, tak akan berubah sedikitpun walau Ancaman Profesor Hardiman menghantui kehidupan kami. Suka, duka, berat dan ringan akan kami tanggung berdua.” 

.

.

Pagi itu suasana sekitar rumah Papa Dika nampak lain, gerombolan ibu-ibu seperti sengaja berkumpul di warung Bu Narti. 

“Yu Laksmi, semalam dapat undangan?” tanya Bu Retno membuka percakapan.

Yu Laksmi yang sedang memilih sayuran pun menoleh menatap Bu Retno, “Undangan opo?”

“Ssssstttt … Undangan akad nikah Bu Mila.” Bisik Bu Retno.

“Oh iyo iyo … bapak nya Yuli juga dapat undangan, tapi … kok dadakan ya?” sambung bu Minah yang baru saja bergabung.

“Padahal setahuku, Bu Mila gak pernah boncengan sama laki-laki, apalagi pacaran.”

“Ah … jaman sekarang gak mutu, pacaran boncengan, pacarannya via online, begitu ketemu langsung … ngono kuwi.” 

“Jangan … jangan?”

Ketiga ibu itu saling pandang, “opo … wis hamil? gara-gara mereka nganu-nganu? walah gak nyongko aku.”

Pembicaraan mereka semakin melebar kemana-mana, padahal awalnya hanya menanyakan undangan menjadi saksi akad nikah, justru tanpa sadar mereka membahas prasangka yang tak akan pernah berujung.

“Gak mungkin, Bu Mila itu gadis sopan, malahan jarang aku lihat dia keluyuran selain urusan sekolah.

“Eh … mungkin saja,” sanggah Yu Laksmi, “jaman sekarang gak ada yang gak mungkin, lha wong calon suaminya guanteng, bisa saja Bu Mila takut dia kepincut pela*kor.” Sebenarnya Yu Laksmi iri dengan Mila, karena ia sendiri memiliki anak perempuan sebaya dengan Mila, tapi sudah jadi janda cerai, dan sampai sekarang belum menemukan lelaki pengganti. 

“Semalam, aku gak sengaja lewat depan Rumah Bu Miran, jam 10 malam mereka baru datang loh, entah dari mana, malahan laki-laki itu gendong Bu Mila masuk ke rumah.”

mendengar cerita Bu Minah, Bu Retno dan Yu Laksmi terbelalak, “apa karena mual … Bu Mila tak kuat jalan, sampai-sampai harus digendong?” gumam Yu Laksmi.

“Nah iku, aku juga mikir ke situ.” sambung Bu Minah.

“Ibu-ibu … jangan dulu berprasangka, siapa tahu calon suami Bu Mila itu anak dari teman Pak Dika di Ibu Kota, dan mereka dijodohkan, karena itulah pernikahannya mendadak. Atau pernikahan mereka sudah lama direncanakan, dan baru sekarang kita menerima undangannya.” Bu Narti si pemilik Warung mencoba mendinginkan suasana, karena tak ingin warung nya menjadi tempat ghibah, dan berujung dosa yang berlarut larut.

Tanpa mereka sadari, pembicaraan ketiga ibu-ibu itu tanpa sengaja di dengar Mak Susi. Sejak beberapa saat yang lalu Mak Susi mengepalkan tangannya, dadanya bergemuruh hebat, ia marah … tak terima ada orang yang tega menjelekkan keponakannya.

“Ngomong apa kalian?” Mak Susi dengan wajah angker tiba-tiba menyela pembicaraan. 

“Eh … bu ErTe …” sapa Bu Retno mulai gugup, karena Mak Susi bukan hanya istri dari Pak RT, tapi juga Kakak kandung Mama Miran, pasti tak terima ketika ada omongan yang menjelekkan keponakannya. “Ini Mak … undangan akad nikahnya Bu Mila, jam berapa ya Mak?”

“Gak usah alasan ya, aku tahu kalian lagi ngejelek-jelekin Mila kan?” Tuduh Mak Susi, yang sejak awal mendengar pembicaraan, Bu Retno, Yu Laksmi, dan Bu Minah.

“Enggak Mak … siapa bilang? kalo gak percaya, tanya aja sama Bu Narti, Iya kan Bu?” tanya Bu Minah pada Bu Narti, mencoba mencari pembelaan.

Tapi Bu Narti hanya diam, tanpa berkata apa-apa.

“Kalian pikir, aku gak hapal kelakuan lambe turah kalian? sekali ini saja yah aku dengar omongan ini, kalau sampai gosip gak jelas ini menyebar, tak kucek-kucek lembene panjenengan semua!” ancam Mak Susi dengn penuh emosi, kemudian berlalu pergi, urung berbelanja, karena hatinya keburu kesal mendengar omongan para Ibu di warung barusan.

Sesampainya dirumah, ia duduk di ruang tamu sembari menghabiskan air putih milik Pak Junaedi.

“Lho Mak … itu air nya Bapak, kok dihabiskan?” Protes Pak Junaedi, yang tengah menyaksikan berita pagi.

“Iya … nanti Mak ambilkan lagi,” Jawab Mak Susi dengan nada kesal.

“Kenapa lagi si Mak? datang datang udah ngedumel gak jelas, lagian tadi pamit mau belanja, tapi malah pulang gak bawa apa-apa, tuh anak orang di atas mau kita kasih makan apa?” 

“Habis nya Mak kesel Pak,” Adu Mak Susi.

“Kesel kenapa?” tanya Pak Junaedi kalem.

“Itu di warung tadi, masa pada ngomongin Mila.”

“Memang apa yang mereka omongin?”

“Mereka bilang Mila sudah hamil duluan, karena itulah buru-buru di nikahkan.”

Pak Junaedi terkekeh mendengar keluhan istrinya, “Ya biarin aja mereka mau ngomong apa, nanti juga mereka ngerti kalau apa yang mereka sangkakan itu salah.” 

“Iya juga sih, tapi Mak sudah terlanjur kesel.” keluh Mak Susi.

“Jupri … mau kemana pagi-pagi pake seragam sekolah?” tegur Mak Susi manakala melihat Jupri mendekat.

“Ya mau sekolah Mak.”

“Lho bukannya libur?”

“Yang Cuti an Bu Mila, jupri tetep ke sekolah Mak.”

“Oh iya ya … eh itu si Darren KW udah bangun belum?”

“Kayaknya belum Mak, semalem aja hampir tengah malam baru pulang kan?”

“Kan dia habis ngomongin persiapan pernikahan sama pak lek kamu.”

“Jadi beneran Mak … Bu Mila bakal kawin sama Abang?”

“Kawin … kamu pikir si jeki?” Sembur Mak Susi, sementata Jupri hanya bisa nyengir selebar senyuman kuda. “Jadi lah … besok sudah akad nikahnya, makanya hari ini Mila cuti, bangunin Bang Daniel dulu, baru ke sekolah?”

“Sudah Mak… biarin aja dulu, siapa tahu Daniel nya masih capek, lagian calon penganten harus banyak istirahat.” cegah Pak Junaedi. 

Sementara itu di kamar atas, tanpa Mak Susi ketahui, ternyata Daniel sudah bangun sejak satu jam yang lalu, si calon penganten baru ini sudah senyam-senyum sendiri, persis seperti foto salah satu Caleg yang nampang di Baliho. 

Siapa yang menyangka akhirnya ia bisa mewujudkan keinginannya menikahi gadis yang selama ini ia cintai. Bahkan melalui jalur pendaratan darurat, “Aaahh … jodoh emang tak lari kemana-mana, justru mendarat di tempat yang tepat.” Gumamnya masih dalam mode setengah waras.

Daniel merasa sangat bahagia, tapi ia bingung harus membagi kebahagiaannya dengan siapa, karena ponselnya pun tak berfungsi secara normal di sini. Jadilah nanti ia hanya bisa memberikan kejutan untuk keluarga besar nya di Jakarta, seperti kedua orang tuanya dahulu, ternyata ia mengulang sejarah Papa Kevin dan Mama Disya. 

Tiba-tiba ia teringat hendak menghubungi Daddy Andre untuk urusan pertemuan di jakarta yang sudah beberapa kali tertunda.

Daniel bergegas bangkit tak lupa memakai kaos dan Celana pendek, karena ia tidur hanya memakai kolor kesayangan tanpa kaos, jika Naya yang melihatnya tanpa busana, ia tak keberatan, tapi jika orang lain ia tak ridho dunia akhirat.

Hari ini adalah hari pertama Nick kembali bertugas, setelah pulih dari luka-luka di sekujur tubuhnya, ia sedang berdiri di depan sebuah salon kecantikan menantikan sang nona muda yang sedang melakukan treatment kecantikan, salon tersebut berada di salah satu Mall ellite Ibu Kota. 

Tiba-tiba ia merasakan sebuah pelukan erat di pinggangnya, sejujurnya ia tak nyaman karena Carissa adalah anak dari majikannya, “Hai… sudah lama nunggunya?” Tanya Carissa dengan wajah segar, sementara dari tubuhnya menguar aroma lulur yang menggoda. 

“Eh Nona… maaf saya tak tahu jika anda sudah selesai.” Jawab Nick sopan, pelan-pelan ia melepaskan belitan tangan Carissa. 

“Kenapa Nick… kamu gak suka aku peluk?” Tanya Carissa dengan raut kecewa. 

“Maaf Nona, saya hanya mencoba menjaga batasan, biar bagaimanapun saya hanya bawahan anda.” 

“Kamu gak asik.” Balas Carissa, berlalu pergi dengan menghentakkan kedua kakinya, ia hanya pura-pura merajuk demi menarik perhatian lelaki yang diam-diam ia cintai. 

“Nona … tunggu!” Seru Nick, ia pun berjalan cepat menyusul Carissa, namun langkah Carissa lebih cepat, jadi Nick hanya bisa pasrah mengikuti dari kejauhan. 

Sesampainya di pintu Lift, Carissa sengaja menekan tombol agar pintu segera menutup, hal itu membuat Nick panik, ia berlari kencang agar bisa menyusul Carissa sebelum pintu lift tertutup sempurna. 

Usahanya berhasil namun karena berlari kencang, ia jadi kehilangan kendali tubuhnya hingga tanpa sengaja bertabrakan dengan tubuh Carissa. Secara reflek kedua tangan kekarnya menahan tubuh gadis itu agar tak terjatuh. Namun di luar dugaannya Carissa justru sengaja memanfaatkan hal itu untuk memeluk lehernya kemudian mencium bibirnya. 

Nick tertegun beberapa saat ketika bibir mungil merah muda itu menempel di bibirnya, kedua matanya melotot tajam, ini pertama kalinya ada yang mencium bibirnya. Setelah tersadar ia kembali berdiri tegak dan melepaskan pelukan Carissa, sungguh suasana yang canggung, tapi tidak bagi Carissa yang sangat menikmati momen tersebut. 

Pintu lift kembali terbuka, “Tolong jangan lakukan lagi Nona, saya merasa tidak nyaman.”  ujar Nick sebelum Carissa melangkah keluar. 

“Kita lihat saja nanti, yang jelas aku tak akan menyerah, karena aku sudah melepaskan calon suami yang tampan dan memiliki segalanya hanya demi bisa meraih hatimu,” Gumam Carissa dalam hati.

Terpopuler

Comments

Qaisaa Nazarudin

Qaisaa Nazarudin

Sembarangan prof Hardiman,Mana bisa kek gitu,setiap harta yg di temui itu di wartakan HAK KERAJAAN malaysia,Kalo mau melakukan sesuatu itu harus seijin pemerintah/Kerajaan malaysia,Gak bisa sewenang-wenangnya minta sama warga setempat..😅

2025-01-31

1

Qaisaa Nazarudin

Qaisaa Nazarudin

Pulau Melaka??! PULAU BESAR kah??

2025-01-31

1

Qaisaa Nazarudin

Qaisaa Nazarudin

Cantik ayat ini thor..👍👍

2025-01-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!