#11. Revisi
Setelah menyegarkan diri dengan guyuran air, Daniel kembali naik ke kamarnya di lantai atas, setelah sepanjang siang menemani Mila, kini saatnya ia kembali pada pekerjaan, walaupun kenangan Naya dan Mila kini mulai berbaur membuat pikirannya semakin bercabang kemana-mana.
Entah kenapa, sosok Naya yang galak seperti mawar berduri, terasa kian lengkap, karena disempurnakan dengan sosok serupa, yang bukan hanya galak, kadang menyebalkan dan suka membantah, tapi ia pun memiliki sisi kelembutan dan mudah berempati dengan penderitaan orang lain, dia lah Mila.
Padahal baru sehari ini ia menghabiskan waktu bersama Mila, namun ia seperti sudah mengenal Mila seumur hidup, bahkan jiwa mengatur serta melindungi mendadak kembali hadir kala berdekatan dengan Mila.
Padahal ia sudah mulai menghilangkan kebiasaan tersebut karena adik-adiknya sudah besar dan bisa menjaga dirinya sendiri, perasaan itu hanya muncul ketika Daniel berdekatan dengan Luna, dan ketika pertama kali bertemu Aya. Inilah alasan utamanya memasang CCTV di depan apartemennya, itu semua karena ia tak bisa terlalu dekat dengan Aya, setidaknya jika memasang CCTV ia bisa mengawasi Aya. Demi keamanan, dalihnya pada saat itu.
.
.
Sementara itu, di kamar Papa Dika dan Mama Miran.
Sepasang pasutri tersebut, sudah berbaring, namun sama sama belum bisa memejamkan kedua mata mereka, bermacam pikiran mulai berkecamuk, bermula ketika keduanya membaca nama lengkap dari pemuda yang mendarat darurat di atap rumah mereka.
Bagaimana bisa takdir kembali menghubungkan mereka dengan keluarga Geraldy, padahal 20 tahun sudah berlalu, sengaja mereka menyembunyikan diri di desa ini, semua agar mereka benar-benar terlepas dari incaran seseorang yang hingga kini masih penasaran dengan ciptaan Profesor Ricky kakak kandung Papa Dika.
Papa Dika merubah posisi tidurnya, ia menerawang menatap remang cahaya di langit-langit kamar, “Papa belum tidur?”
Papa Dika menoleh ketika mendengar suara sang Istri, “Bagaimana bisa tidur Ma? sementara Pikiran Papa masih berkelana memikirkan Nasib Mila, Apa mungkin keputusan Papa dulu salah ya?”
Mama Miran mengusap pundak suaminya, “Saat itu bersembunyi adalah jalan terbaik bagi kita, terbukti kan Betapa jahat nya Hardiman itu, mungkin kita berdua hanya tinggal nama jika tetap berada di Surabaya.” Jawab Mama Miran dengan sisa emosi di dadanya, teringat betapa kecelakaan hebat itu hampir menghilangkan nyawa Mila.
“Tapi kini lihatlah Ma, Tuhan mengirim pemuda itu pada kita, Papa merasa sudah saatnya kita berhenti menyembunyikan diri.”
Mama Miran sontak duduk, kemudian menatap tajam, “Jangan berani-berani mengambil tindakan yang hanya akan membuat Mila celaka, jika Papa masih nekat, Langkahi dulu mayat Mama !!!” Ancam Mama Miran.
“Pelankan suaramu … Mila bisa mendengar pembicaraan kita.”
Mendadak Mama Miran berurai air mata, “Papa tahu kan Mila sudah Mama anggap seperti anak kandung? Mama gak mau kehilangan Mila Pa,”
“Iya, Aku tahu itu, tapi Pemuda itu juga bukan orang sembarangan, Papa yakin setelah menikah nanti dia akan menjaga Mila dengan baik.”
“Tak bisakah setelah menikah nanti Mila tinggal di sini saja?”
Papa Dika memeluk istrinya, “ketika seorang gadis menikah, maka saat itu pula orang tua harus merelakan anak gadisnya berbakti pada suaminya, seperti itulah orang tua.”
Sendu di wajah Mama Miran kian mendung, baginya Mila kecil adalah bidadari di hatinya, Mila yang pintar dan selalu menyenangkan, mampu mengisi hari-hari kosongnya pasca keguguran, dan dokter memvonisnya tak bisa lagi memiliki anak, karena rahimnya terlalu lemah.
.
.
Gadis berambut panjang itu berdiri di halaman sebuah rumah besar dan mewah, namun ia tak tahu itu rumah siapa. Dua rumah terlihat menyatu, tapi sebenarnya kedua rumah tersebut terpisah, sementara satu rumah lagi terhubung karena ada pintu penghubung yang sengaja dibuat.
Enam anak-anak bermain dan berlarian di taman bermain, ingin sekali Mila memanggil mereka, namun ia seperti makhluk tak kasat mata, karena anak-anak tersebut tak melihat kehadirannya dan Mila pun sama sekali tak mengenali anak-anak tersebut.
Mendadak suasana berganti, seperti rol film yang berpindah secara otomatis, di hadapannya kini nampak pertengkaran 2 anak. Keduanya sama-sama tak mau mengalah, bahkan gadis itu dengan lantang berteriak. “Bodoh … masa perkalian dan penjumlahan 1 sampai 10 saja tak bisa!!” Pekik si anak perempuan itu kesal, ketika si anak laki-laki salah menghitung uang kembalian.
Bocah gembul itu memang diam, tapi wajahnya terlihat marah, hingga … “Dan kamu gadis jahat, galak seperti nenek sihir!!!” serunya kesal sembari menjulurkan lidah, kemudian berlalu pergi.
Bayangan kembali berganti, kali ini gadis itu tersenyum bahagia ketika menerima gula kapas, “Kenapa gula kapas yang kamu ambil, susah payah aku mendapatkan boneka kucing itu dari mesin capit boneka !!”
“Karena aku suka makanan manis, tak suka makanan yang menyiksa.”
“Lalu boneka kucing ini?”
“Besok kumpulkan saja di sekolah, untuk di donasikan, pasti menyenangkan bisa berbagi.”
Mendengar hal itu, si anak lak-laki tersebut tersenyum lebar, pipi bulatnya terlihat merona, membuat anak perempuan itu semakin gemas, hingga ia reflek mencubit pipi bulat kemerahan tersebut, “pipi kamu bulat, menggemaskan, seperti bakpao hangat.”
#Naya adalah pencetus kalimat yang sering digunakan Darren untuk meledek Daniel.
Gambar kembali berganti, memperlihatkan gadis kecil itu menangis pilu di depan sebuah rumah yang terbakar, hingga seseorang yang wajahnya pun masih buram, memeluk kemudian membawanya pergi menjauh dari rumah tersebut.
Film tiba-tiba berakhir manakala kedua mata Mila terbuka, rupanya ia baru saja bermimpi, bukan mimpi seram, tapi membuat Mila merasa menemukan sesuatu yang hilang.
Udara di dalam kamar yang sedikit hangat membuat pelipis dan lehernya basah karena keringat.
Hal pertama yang ia lihat ketika membuka mata adalah Gula kapas yang di belikan Daniel, sebagai ganti dari semua boneka hasil bermain di salah satu both pasar malam. Karena Mila memberikan semua boneka itu pada beberapa anak perempuan yang hanya bisa menatap penuh harap karena mereka gagal mendapatkan boneka-boneka tersebut.
Mila mulai merenungi mimpinya beberapa saat yang lalu. Kenapa ia merasa seolah dirinya adalah salah satu anak yang ada di dalam mimpinya barusan, padahal menurut kedua orang tuanya, Mila lahir dan besar di Surabaya, lalu siapa anak laki-laki itu? Mila sama sekali tak ingat pernah memiliki teman dengan wajah itu, jangankan teman, bahkan ingatan masa lalunya pun buram nyaris tak ia ingat sama sekali.
Mila melongok jam dinding di kamarnya, masih Jam 1 malam, Mila kembali mencoba memejamkan mata, tapi bayangan anak-anak kecil yang berlarian dengan tawa bahagia terus terbayang ketika ia memejamkan mata. Menit menit pun berlalu, Mila mulai kesal karena kedua matanya tak juga terpejam.
Akhirnya Mila membawa ponselnya keluar, kebiasaan buruk yang ia lakukan jika tak kunjung menemui kantuk adalah ngedrakor sampai pagi, bukan sekali dua kali Mama Miran memarahinya, tapi Mila tak peduli, maka dengan berbekal selimut serta sebotol air ia pun menaiki tangga menuju jemuran, tempat favorit ketika hendak nonton drama favoritnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Fani Indriyani
Naya pernah kecelakaan ya sampe hilang ingatan,semoga ingatanmu cepet kembali Naya
2025-03-30
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Si pipi bakpao itu sudah jadi pemuda tampan dan calon suamimu 😍
2024-08-09
0
Sofia Zidna
🤣🤣🤣 kolor ijo yg ini ga bikin takut,, justru bikin penasaran
2024-03-11
0