#10
Flashback
Lima anak-anak itu sedang ramai bermain di halaman sekolah, sementara Ibu Guru mereka mengawasi dari jarak aman.
Miss Devi mencari cari satu orang anak lagi yang seharusnya bersama kelima anak tersebut, namun anak tersebut tak ada di manapun.
“Anak-anak … ada yang melihat Naya?” tanya Miss Devi.
Kelima anak tersebut saling pandang, yah mereka adalah Daniel, Darren, Luna, Dean dan Danesh di usia Sekolah Dasar. “Sejak keluar kelas kami tak melihatnya,” jawab Dean yang memang satu tingkat di bawah ketiga sepupunya.
“Tadi Naya bilang mau ke Toilet.” Luna menjawab, dari atas perosotan.
“Biar saya cari Miss … ” Daniel berinisiatif.
“Terima kasih Daniel, tapi jangan sampai keluar dari pagar sekolah ya?” pesan Miss Devi.
Daniel pun mengangguk, bocah gembul menggemaskan itu pun, berlari kecil ke sisi lain gedung sekolah. Sejak dulu begitulah Daniel, ia sudah mengerti bahwa di antara adik adiknya dirinya adalah yang paling tua, tanpa diminta pun, ia selalu berbesar hati mendahulukan keinginan adik-adiknya. Tapi jangan di tanya jika bersama Aunty Emira, sampai ke ujung dunia sekalipun ia tak akan mau mengalah.
“Naya…!” Serunya pelan, ia berdiri di depan pintu toilet perempuan, tapi sunyi tak ada sahutan. Daniel pun berinisiatif masuk dan memeriksa satu per satu bilik toilet, barangkali Naya tak mendengar seruannya.
Tapi usahanya tak membuahkan hasil, Daniel pun keluar dari toilet, bermaksud mencari ke tempat lain. Daniel berpindah ke sisi luar dekat perpustakaan, benar saja Naya sedang duduk di dekat taman bunga.
Pagi tadi seekor kucing kecil ditemukan tewas di dekat Perpustakaan, maka pak Ijong Tukang Kebun mengubur kucing malang tersebut di dekat taman bunga.
“Kamu ngapain disini?” Tanya Daniel.
“Kucing itu, aku menunggui nya sebentar.”
“Repot sekali, dia kan cuma kucing.”
“Kenapa kamu jahat sekali!!! kita harus sayang binatang, dia juga ciptaan Tuhan.” Seru Naya kesal.
Daniel tersentak, ia tak menyangka Naya akan bereaksi begitu keras, hanya gara gara kucing.
“Tapi … “
“Kasihan, dia sendirian di dunia, induknya hilang entah kemana, sekarang sudah mati pun kamu masih tak berbelas kasih padanya.”
Naya yang kesal, kemudian pergi sambil menghentakkan kakinya, tinggallah Daniel yang masih belum menyadari apa kesalahannya, hingga Naya begitu berlebihan memarahinya.
“Hei … Apa salahku, kok kamu jadi memarahiku?” Daniel berusaha mensejajarkan langkahnya.
“Kamu gak salah, sikapmu saja yang menyebalkan!!” jawab Naya ketus.
Setibanya di rumah, ia pun menceritakan pada sang Mama, setelah mendengar penuturan bijak Mama Disya, barulah Daniel menyadari dimana letak kesalahannya.
Namun ia jadi bingung bagaimana caranya meminta maaf sekaligus menghibur kesedihan Naya.
Flashback end
.
.
Karena Hari semakin gelap, mereka pun kembali melanjutkan perjalanan, udara sore semakin dingin, namun Daniel tetap santai, ia sudah terbiasa menghadapi cuaca dingin ekstrem di London, jadi walau kini ia hanya memakai kaos oblong dan celana pendek milik Mas nya Jupri dia tetap enjoy tanpa beban.
“Stop… stop… stop… !!” Seru Mila.
“Duuhhh mau ngapain lagi sih?”
“Tuh…” Tunjuk Mila dengan wajah berbinar, ia menunjuk sebuah keramaian, pasar malam rakyat, ramai dan ada banyak penjual makanan dengan harga ramah di kantong.
“Itu pasar malam, Trus kenapa?”
“Ya mampir lah, pakai tanya kenapa,” jawab Mila, gurat kesedihan di wajah Mila kini berganti senyum bahagia manakala melihat keramaian yang kini tersaji di hadapan mereka.
“Duuuhhh kita pulang aja lah, sebentar lagi gelap nih.”
“Aku lapar, sejak siang belum makan.” Jawab Mila sendu.
Daniel pun menepuk keningnya, terbiasa jomblo hingga tak pernah memikirkan orang lain. Jika di tempat kerja, makanannya di siapkan oleh Tara, kadang ia memesan makanan tertentu pada OB, itu pun jika lapar, jika tidak, maka akan ia abaikan makanan yang ada di hadapannya.
Karena terbiasa mengurus dirinya sendiri, Daniel pun lupa bahwa mereka belum makan siang.
Di daerah ini tak banyak penjual makanan, lagi pun Daniel belum yakin dengan rasa dan kualitas makanan yang ada di sana, maka menahan lapar adalah solusi terbaiknya.
“Ayo belok ke sana, kita jajan dulu sebelum pulang,” pinta Mila.
Karena sedikit merasa bersalah Daniel pun menuruti permintaan Mila. Dan disinilah mereka kini, di depan lapak penjual bakso colok, bakso mini, siomay, serta tahu bakso, menjadi puluhan Mila. Dengan wajah berbinar gadis itu menambahkan kecap manis dan saus tomat kemudian mulai menyantapnya, “mau?” Ia menawarkan suapan berikutnya pada laki laki yang sejak pagi tadi menjadi pengawalnya.
“Mau, tapi pakai sambal.”
“Aaahh kalau gitu, beli dibungkus terpisah, aku tak suka makanan dengan rasa menyiksa.” celetuk Mila.
“Menyiksa … helloooww … pedas itu seperti mewakili sebagian besar selera rakyat Indonesia, kenapa itu disebut menyiksa?” Protes Daniel.
“Memang aku peduli? Hanya karena mayoritas rakyat Indonesia suka pedas, aku tak harus menyamakan selera makanku dengan mayoritas orang kan??” Jawab Mila realistis, “aku lebih suka makanan manis, makanan manis membuatku bahagia.”
“Ah terserahlah.” Daniel cuek cuek saja mendengar alasan Mila, ia pun menyantap bakso coloknya sendiri, namun ketika hendak membayar, Mila menghalanginya.
“Pakai uangku saja.” Jawab gadis itu santai, “anggap aku mentraktirmu.”
“Mana ada traktiran di pinggiran begini.”
“Ya adanya ini, kalau kita di kota, mungkin aku akan membawamu ke food court kekinian.”
Benar juga yang Mila katakan, Daniel hanya belum terbiasa dengan tempat ia berada saat ini.
Semakin gelap, tempat hiburan rakyat tersebut semakin ramai, kelap-kelip lampu hias dari beragam wahana suasana malam, wahana komidi putar, bianglala, kereta hias, serta mini kora-kora seperti di Dufan pun ada, rata rata yang mengantri di sana adalah anak-anak kecil beserta pendampingnya.
“Aku mau main itu,” Mila menunjuk both yang berisikan banyak hadiah dari beragam permainan, melempar gelang, melempar bola untuk menjatuhkan semua tumpukan kaleng, menembak sasaran dengan pistol mainan, hingga memancing ikan mainan pun ada.
Mungkin jika Daniel menceritakan pada Darren, Dean, dan Danesh, ketiganya pasti akan kompak mengejek, bahkan Ryu saja mungkin belum pernah mendatangi pasar malam.
“Kok jadi main sih, katanya lapar?” Sungut Daniel.
“Iya … nanti makan lagi, sekarang main dulu.” Jawab Mila riang, ia pun melangkah menghampiri loket karcis, namun Daniel lebih dulu mengeluarkan uang nya.
Mila melotot ke arah Daniel. “Jangan mendebatku, ini sudah malam, kita harus segera pulang!”
Mila diam, benar yang Daniel katakan, bisa-bisa sampai rumah Mama Miran akan menguliti nya hidup-hidup.
“Baiklah, tapi maukah kamu membantuku memenangkan permainan itu?” pinta Mila.
“Kau bercanda? Bisa jatuh harga diriku karena bertarung melawan anak-anak itu!!” Tolak Daniel tegas, karena di booth tersebut ramai antrian anak-anak yang mencoba menaklukan tantangan.
“Katanya mau cepat selesai.” Gerutu Mila.
Dengan berat hati Daniel pun menyetujuinya, “janji ya, setelah ini selesai, trus kita pulang?”
“Iya … bawel amat, kayak Mama.” Celetuk Mila reflek.
Deg
Bagi orang lain, gerutuan itu terdengar sederhana, tapi tidak bagi Daniel, hal itu membuat Daniel teringat akan kebiasaan kecil Naya, yang memang suka membantah perkataannya.
Ketika dulu Daniel dengan cerewetnya memarahi serta menegur adik-adiknya yang mencoba permainan berbahaya tanpa pengawasan Nany mereka. Secara otomatis Naya pasti menjadi salah satu korban omelan Daniel, dan jika sudah demikian, gadis itu pun hanya bisa memanyunkan bibirnya sambil menggerutu kesal, “Bawel amat, kayak Mama.”
Sepanjang bermain, Daniel tak konsentrasi, ia justru mengutuk diri dan perasaannya sendiri, karena tiba-tiba kenangannya bersama Naya kembali hadir, padahal raganya tengah berada di dekat Mila.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
sampai sekarang pun masih menyebalkan 🤫
2024-08-09
0
Dewi Purwati
up eps 12 tapi kok masih 10 ku scrool GK keluar
2024-01-30
0
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈
mila mah nama orangnya doank, aslinya mah orangnya naya...🤣🤣🤣
2024-01-30
1