Agha memandang dengan lemah kepergian dua orang kejam itu. Rasa sakit di sekujur tubuhnya sungguh luar biasa. Namun ia baru menyadari satu hal. Ia tak diikat rantai saat ini. Hanya sebuah tali yang melilit di tubuhnya. Dan pisau yang tadi digunakan Bella untuk menyiksanya berada di dekat kakinya. Agha hanya perlu sedikit menggeser pisau itu agar lebih dekat dan bisa diraihnya.
Keberuntungan kini seolah sudah mulai berpihak kepada Agha. Tak ada siapapun di ruangan itu saat ini yang bisa mencegah dirinya melarikan diri. Dengan merangkak dan menyeret kakinya Agha terus berusaha menggapai pintu keluar.
Cairan darah yang keluar dari tubuhnya semakin banyak, sepanjang jalan yang dilaluinya terdapat genangan berwarna merah itu.
"Agha mulai merasakan teriknya mentari di tempat ia berada saat ini. Ia tak sanggup lagi meneruskan pelariannya dan saat ini ia bersembunyi dibalik batu besar di tengah tengah lapangan yang gersang. Ia bagaikan ikan asin yang dijemur, kering kerontang kehausan dan kepanasan.
Perlahan kesadarannya menurun, ia tak sanggup lagi bertahan. Dalam keadaan setengah sadar Agha merasa ajal sudah dekat untuk menjemputnya. Slide demi slide memori kenangan dosa yang diperbuat di masa lalu bermunculan. Akan tetapi wajah seorang gadis yang direnggut mahkota nya oleh Agha, itulah yang paling sering muncul. Gadis yang dibelinya dari seorang teman. Saat itu Agha tak mempedulikan gadis itu berasal darimana dan bagaimana keadaannya. Ia hanya butuh tubuh wanita untuk melampiaskan emosinya malam itu.
Agha ingat itulah untuk pertama kalinya ia berhubungan badan dengan seorang wanita. Dan itu juga yang terakhir, karena setelah itu Agha tak pernah lagi melakukannya. Entah mengapa ia merasa sedikit berdosa telah memaksa seorang gadis kecil menyerahkan harga dirinya. Meskipun gadis itu tak mengetahui siapa yang telah menodainya akan tetapi tetesan air mata saat pelepasannya malam itu selalu menghantui Agha.
Perlahan lahan Agha mulai kehilangan kesadaran, sebelum ia benar benar pingsan, wajah Alana si pembantu kecil di rumah orangtuanya muncul. Agha merasa gadis itu ada di hadapannya dan menepuk nepuk pipinya.
"Mas Agha sudah siuman?" hanya itu yang didengar sebelum akhirnya ia benar benar pingsan.
.
.
Agha membuka mata perlahan. Ia merasakan cahaya yang membuat matanya begitu silau. Pria itu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, sampai akhirnya berhenti di pojok ruangan ia melihat Alana berdiri tersenyum kepadanya.
"Alhamdulillah mas Agha udah siuman" suara lembut gadis itu menyapanya.
"Agha berusaha menggerakkan tubuhnya, namun seketika rasa sakit menyerang seluruh persendiannya. Agha tak bisa merasakan tubuhnya selain rasa sakit yang begitu hebat.
"Arghhh" Agha menjerit jerit kesakitan. Tubuhnya sampai bergetar karena tak sanggup menahan sakit yang teramat menyiksa.
Tak menunggu lama dokter datang. Mereka memberikan beberapa obat di infus yang sedang terpasang. Salah satu obat itu adalah penghilang nyeri dengan dosis tinggi. Agha mulai tenang dan bisa mendengar percakapan antara dokter dengan Alana.
"Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, kondisi pasien tidak stabil. Kandungan racun yang cukup tinggi di dalam darah pasien membuat rusak jaringan syaraf nya. Butuh waktu cukup lama untuk menghilangkan pengaruh racun itu di dalam tubuh. Kemungkinan pasien kembali normal tipis" Dokter memberikan penjelasan.
"Apa ada tindakan lain yang bisa mempercepat proses penghilangan racun itu dokter?, kasihan beliau pasti sangat kesakitan" Agha mendengar Alana bertanya. Terdengar dari suaranya bahwa gadis yang selalu dihinanya itu sangat mengkhawatirkan kondisinya.
"Kami sedang mempertimbangkan proses cuci darah. Namun untuk saat ini terkendala stok darah di PMI. Stok darah yang dibutuhkan untuk didonorkan kepada pasien kosong. Butuh beberapa hari untuk kembali memprosesnya" dokter menjelaskan.
"Boleh saya mengetahui apa golongan darah pasien dokter?" Alana terus berdiskusi dengan dokter yang merawat Agha. Pria itu memperhatikan diskusi keduanya meski Alana tidak menyadari.
Aura pintar seorang Alana begitu nyata terpancar. Tak nampak sedikitpun tanda bahwa ia sebelumnya adalah pasien penghuni rumah sakit jiwa. Agha mengakui itu.
"Golongan darah AB" dokter menjawab pertanyaan Alana.
"Golongan darah saya sama dokter dengan pasien ini. Silahkan gunakan sebanyak yang dibutuhkan, saya bersedia asal mas Agha bisa segera disembuhkan" spontan Alana mengucapkan kebersediaannya.
Hati terdalam Agha seolah dicubit dari dalam. Ia tak menyangka gadis yang ia marahi dan hina sejak kemarin ternyata seorang yang tulus dan ikhlas. Gadis berhati baik dan mau berkorban untuk kesehatannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments