Bab 20 Kekecewaan Bima

Gubuk Rubi tampak di penuhi asap yang berasal dari tungku api nya. Ia sedang menyalakan api untuk menanak nasi jagung. Sesekali ia membenarkan rambut yang menghalangi bibirnya untuk meniup bara api agar segera menyala, tangan kanannya memegang sebuah bambu kecil dan beberapa kali ia meniup bambu itu ke arah tungku.

"Fuuuuh....Fuuuuhhhh." Bambu itu mengeluarkan suara karena di tiup oleh Rubi.

Tiba-tiba suara pintu terbuka.

"Ngeeet..." Tampak sosok sulung Rubi dengan mata sembab dan rambut yang terlihat kusam. Bocah itu tampak melempar tas nya ke sudut ruangan, ia bersidekap dengan kedua lututnya. terdengar suara isak tangis dari Bima.

Rubi yang masih bergulat dengan bambu kecil juga kayu yang berada di tungku segera berdiri. Ia juga membenarkan posisi kain gendongan yang berada di depan dada. Bungsunya harus ia gendong di punggung, karena sedari tadi selalu menangis jika di tidurkan di tikar. Setelah memastikan bungsunya aman di punggung nya. Rubi meletakkan periuk nasinya ke atas tungku lalu berjalan ke arah Bima.

"Ada apa?" Tanya Rubi penasaran. Bima jarang menangis, ia tidak sama dengan Abi yang lebih sering menangis jika ada masalah.

Bocah bertubuh gempal itu tak menghiraukan panggilan sang ibu. Ia masih larut dengan rasa sesak di dadanya. Ia merasa sakit hati, kecewa. Sebulan penuh ia belajar dengan sungguh-sungguh agar bisa pergi ke kota untuk mewakili lomba hapalan surat pendek atau juz 30. Namun pagi ini pihak sekolah mengumumkan nama siswa yang akan berangkat ke kota, dan itu bukan Bima.

Bima anak yang pandai, ia bisa menilai jika dirinya dan siswa yang dipilih untuk mewakili sekolah mereka lebih lancar dirinya ketika membacakan surat-surat pendek. Namun seorang anak yang merupakan kepala dusun lebih di pilih untuk mewakili sekolah mereka.

"Bima..." Panggil Rubi, putra sulung Rubi itu mendongakkan kepalanya.

"Bima tidak mau ngaji lagi mak. Bima juga tidak mau belajar sungguh-sungguh lagi...hiks...hiks..." bocah lelaki itu menangis sesenggukan.

"Kenapa?" Tatapan Rubi dan satu usapan pada rambut Bima membuat Bima menceritakan semua isi hatinya dan ia peluk tubuh Rubi. Hati ibu mana yang tak nelangsa kala mendengar jika anaknya harus tersisih menjadi wakil sekolah nya untuk ke kota, karena ia bukan anak orang berwenang. Rubi mengerti yang di rasakan Bima. Ia paham rasa kecewa akan satu keputusan yang diambil bukan karena orang tersebut berprestasi tetapi melainkan karena ada campur tangan dari jabatan orang tua. Maka Bima, siapalah Bima. Ia hanya seorang anak dari orang tua yang masih merintis untuk masa depan mereka.

"Bima ingat dulu saat Bima belajar berenang?" Kenang Rubi kala mengingat masa-masa mereka di Kalimantan, saat itu Bima masih kecil, usianya baru 5 tahun. Namun Surya melemparkan tubuh puteranya ke tengah sungai, setelah berhari-hari mengajari anaknya berenang. Tentu saja di lemparan pertama Bima tak mampu menyeimbangkan tubuhnya. Sehingga Surya harus terjun dan menyelamatkan tubuh mungil Bima. Dan ketika percobaan kelima, Bima justru bisa berenang. Hingga kini ia termasuk anak yang pandai menyelam.

"Apakah Bima belajar berenang sehari? Atau dua hari?" Rubi bergegas menuju tungkunya, periuk nasinya menimbulkan buih, ia hampir lupa jika sedang menanak nasi karena khawatir dengan kondisi semangat belajar putranya. Bima menatap Rubi yang sibuk mengaduk-aduk Periuk tersebut seraya menggendong adiknya di punggung.

"Lihat nasi ini Le... Kamu tahu nikmatnya makan nasi toh? Coba bayangkan bagaimana proses nasi ini untuk menjadi nasi. Maka petani tidak bisa duduk manis, harus bersusah-susah agar benih menjadi padi lalu bisa diolah menjadi nasi, maka jika petani tidak kuat lelah, panas, ia tidak akan panen." Kini Rubi sudah menutup periuknya dan menarik kayu bakar dari bawah periuk, tinggal bara nya saja, agar nasi itu matang sempurna tanpa meninggalkan banyak kerak di bagian bawah periuk.

Bima diam, ia mencerna ucapan Rubi.

"Tapi buat apa belajar Mak. Kalau nyatanya bukan Bima yang di pilih." Lirih suara Bima.

Rubi tersenyum ke arah putranya yang baru merasakan sebuah ketidak adilan dari gurunya. Padahal Abah manan mengatakan jika bacaan Bima sudah baik, dan yakin akan mendapatkan juara jika berangkat. Karena Abah Manan yang kemarin iku menyeleksi siswa yang akan di pilih.

"Dulu mak belajar buat opak, menanam karet, menanam padi, bukan buat untuk di akui orang bahwa mak hebat atau pintar. Tapi Mak semangat agar menjadi bekal Mak untuk bertahan hidup dimana pun mak berada, dan itu kini kita menikmatinya." Satu genggam beras Rubi buka dari genggamannya. Ya, padi yang Rubi tanam di tepi lahannya, baru saja di panen, walau hasilnya tak seberapa tapi ia dan anak-anaknya bisa makan nasi dengan aroma wangi. Abi bahkan tak mengeluh jika di campur jagung. Karena padi darat begitu pulen ketika di tanak.

"Apakah Bima bisa menjadi orang kaya Mak? Kalau Bima belajar sungguh-sungguh?" Kini Bima sudah cukup tenang, ia tak lagi sesenggukan. Hanya ada sisa-sisa air mata di pipinya. Rubi tersenyum, ia memberikan semangat pada putranya.

'Maafkan Mak, mungkin kalian di luar sana sering di remehkan, di hina karena kekurangan kita. Mak akan mendoakan agar kalian anak-anak Mak, lebih kaya, lebih bahagia dari hidup Mak.' Rubi termenung saat hatinya bermonolog, harapan seorang ibu yang juga tak mampu memberikan jawaban untuk putranya. Namun mematahkan semangat putranya juga bukan hal yang baik menurut Rubi.

"Nanti kalau sudah dewasa, Bima akan tahu dan paham arti kaya. Maka kalau sekarang yang Bima maksud kaya harta. Maka untuk mendapatkan Gaji bima harus bekerja, kabarnya beberapa tahun kedepan untuk bekerja harus ada ijazah. Dan untuk menghasilkan uang juga harus rajin dan disiplin. Maka Bima hanya perlu rajin dan disiplin juga berdoa. Paham?" Tanya Rubi.

Bima menatap kedua netra ibunya. Selalu ada kejujuran yang bisa Bima lihat di kedua mata sang ibu. Ia bisa melihat jika Rubi mengatakan hal yang sebenarnya, bukan hanya sekedar harapan seperti yang gurunya katakan tadi, jika Bima akan mewakili sekolah mereka tahun depan. Padahal tahun depan Bima sudah akan sibuk ujian.

Hari itu Bima belajar keras untuk menjadi pribadi disiplin, ia selalu tepat waktu pulang, pergi. Bahkan Bima begitu konsisten meletakkan barang-barang miliknya, tidak berpindah-pindah. Ia juga selalu belajar. Ia tak sibuk maju ke depan ketika guru meminta murid yang bisa mengerjakan. Bagi Bima menjawab soal yang benar ketika ujian itu lebih baik daripada menjawab di papan tulis jika akhirnya yang mendapat peringkat pertama adalah anak-anak orang terpandang. Jauh di sanubari Bima, ia ingin menjadi orang kaya. Agar ia tak selalu di remehkan.

Pemerintah pusat masih terus berupaya menciptakan kesejahteraan bagi para transmigran khusunya di desa Kungku. Sebuah bantuan untuk masing-masing keluarga diberikan dua pasang ayam berserta pakannya membuat Rubi dan kedua anaknya juga mendapatkan bagian itu. Mereka memelihara ayam tersebut hingga berkembang biak. Terkadang telur ayam nya Rubi tukar dengan kebutuhan sembako di warung atau ia tukar dengan minyak tanah. Begitu pula dengan keinginan anaknya, ia rela menukar bibit ayam pertama yang merupakan ayam kesayangan Rubi dan kedua anaknya karena babon ayam tersebut pintar momong. Hal itu terpaksa Rubi lakukan demi keinginan dan kebutuhan buah hatinya.

"Mak... Abi malu, celana Abi sendiri yang pakai tali rapiah begini." Keluh Abi pada Rubi. Bungsunya itu merasa malu karena perut yang kian membesar, sedangkan uang Rubi belum punya untuk membeli yang baru, sehingga celana sekolah Abi dan Bima diikat menggunakan tali rapiah agar tetap bisa di pakai. Selain itu pengaitnya juga sudah hilang, tak ada tukang jahit di desa Kungku. Harus pergi ke kota jika ingin menjahit baju atau membeli pernak pernik baju.

"Sabar ya Bi. Mak kerja keras dulu. Nanti kalau uangnya sudah terkumpul. Mak akan belikan." Hanya kalimat sabar yang mampu Rubi ucapkan. Ia menghindari kata-kata tak ada uang, ia lebih memilih kata belum ada uang karena sebuah nasihat yang diajarkan nenek Hasmi pada dirinya. Agar ada motivasi pada sang anak, bahwa uang itu tidak sulit di dapatkan.

"Sama beli kue lupis ya Mak?" Kedua mata Abi berbinar seraya menatap Rubi. Sebuah senyuman dan anggukan ia berikan pada putranya.

'Semoga Gusti Allah mempermudah Mak menjemput rezeki kita.. '

Bersambung

Terpopuler

Comments

SigMa love

SigMa love

Sabar itu luas sekali.... & buah kesabaran itu akan kita tuai d hari esok🩷🩷🩷

2024-02-25

1

naynay

naynay

'uang'
self reminder

2024-02-22

0

Afternoon Honey

Afternoon Honey

mak Rubi yg sederhana, banyak belajar sabar ikhlas dari mu mak 💖💐

2024-02-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!