Bab 3. Perkelahian

Sebuah rumah yang berdindingkan bambu terlihat ramai, para warga membawa pulang Rubi ke rumahnya. Ia di baringkan di tikar. Kondisinya begitu memprihatinkan, ia bahkan tidak sadarkan diri karena sengatan tawon hutan yang menyerang hampir sekujur tubuhnya.

Seorang tetangga Rubi yang bernama Masriah, ia sibuk mengambil sengat yang tertinggal di wajah Rubi. Beberapa tetangga yang lain juga mencari sengat yang berada di tangan dan bagian leher Rubi. Ada yang menggunakan sepotong triplek yang berukuran kecil, ada yang menggunakan alat seperti angkup, ada juga yang menggunakan tangan kosong. Satu persatu mereka ambil sengat yang tertinggal di tubuh Rubi. Bima dan Abimanyu hanya bisa menangisi kondisi Mak mereka.

Wajah rubi bengkak, bibirnya bahkan begitu besar, begitu pula dengan kelopak matanya.

Hampir setengah hari Rubi terbaring dengan kondisi tak sadar, saat menjelang sore hari Rubi sadarkan diri. Masriah yang sedari tadi bolak-balik dari rumahnya ke rumah Rubi, kini setengah berlari seraya menggendong buah hatinya kala suara teriakan Bima begitu memanggil namanya.

"Bik Masriah! Bik.... Mak Sadar Bik!" Teriak Bima dari jarak 20 meter. Bocah bertubuh tambun itu berlari-lari. Masriah pun segera berlari dan menuju rumah Rubi. Tiba di dalam rumah, Masriah memberikan minum pada Rubi.

"Minum Ru..." Ucap Masriah.

Rubi menenggak setengah kelas air hangat yang diberikan Masriah.

"Asi... Mas..." Ucap Rubi dengan suara yang tak jelas karena kedua bibirnya sudah bengkak. tubuhnya bahkan terasa seperti terbakar, pinggang nya juga terasa sakit mungkin karena ia berlari tadi. Entah berapa hektar yang ia lalui hutan tadi karena menjauhi serangan tawon, namun semua sudah menjadi musibah bagi Rubi. Ia harus menyerah saat menanjak satu tebing.

Masriah menyerahkan Kuntum, putrinya yang berusia 3 tahun ke Bima.

"Adiknya di gendong dulu. Bibik mau menyuapi Mak mu." Ucap Masriah. Ia menyuapi Rubi dengan oyek yang sudah tak hangat lagi. Namun saat baru satu suap. Rubi tak membuka mulutnya untuk suapan kedua.

"Mas... " Tatapan Rubi melirik kearah Abi dan Bima.

"Makanlah Ru. Aku sudah memasak oyek cukup banyak. Bima dan Abi sudah makan tadi. Kamu harus makan agar cepat sehat, kasihan anak-anak mu kalau kamu kenapa-kenapa." Bujuk Masriah.

Rubi tahu betul jika kondisi ekonomi dan dapur Masriah sama seperti dirinya. Masriah asli orang Palembang yang menikah dengan salah satu dari para transmigran. Ia bertemu suaminya kala sang suami ikut menjadi buruh upah menggesek kayu di daerah Pagaralam. Kulitnya putih, hidungnya mancung. Tetapi semua mulai pudar karena kerasnya hidup sebagai perintis di wilayah yang belum terbuka akses jalan dan pembangunan.

Saat matahari hampir terbenam, Masriah pulang. Karena ia sama dengan Rubi, tak punya minyak lampu untuk dijadikan obor atau sentir (sebuah lampu kecil yang diberikan sumbu kain dan minyak lampu) untuk menerangi malamnya. Mereka hanya mengandalkan cahaya bulan atau menghidupkan api di dekat rumah agar hangat dan juga ada cahaya.

"Terimakasih Mas." Ucap Rubi saat tetangganya itu pamit pulang.

Malam hari, Bima dan Abimanyu justru terlibat perselisihan karena sang kakak tak mau mengantarkan adiknya untuk ke belik.

"Mas... Perut ku sakit..." Ucap Abi seraya menggerakkan lengan Bima.

"Opo toh...!! Aku ngantuk." Ucap Bima. Sebenarnya bukan karena ia mengantuk tetapi ia takut kegelapan. Belum lagi cerita-cerita horor tentang makhluk genderuwo yang menghuni pohon kapuk di tepi belik membuat Bima tak mau mengantarkan adiknya untuk buang hajat malam-malam.

Satu sentuhan dari Rubi pada lengan sulungnya dan suara Rubi walau tak jelas membuat Bima bangkit dari tempatnya.

"Bima... Antar adik mu nak... Mak belum kuat jalan." Ucap Rubi. Telapak kakinya masih nyeri karena terluka menginjak akar dan semak belukar yang berduri. Ia tak memiliki sepatu l, hanya sandal jepit yang tali nya disambung dengan tali rapiah yang menjadi pelindung kakinya.

"Ayo! Ganggu wae!" Gerutu Bima kesal. Ia bahkan menghentakkan kakinya. Sekalipun ia takut, atau ia tak mau. Titah Mak nya adalah sebuah perintah yang tak berani ia ingkari.

"Bima..." Suara lirih Rubi dengan bibir yang terasa perih ketika digerakkan.

Bima diam, beruntung cahaya api dari tungku tak menunjukkan wajah yang ditekuk oleh Bima. Kakak beradik itu akhirnya pergi ke belik yang jaraknya dari rumah kira-kira 250m. Bermodalkan sebuah kayu yang terdapat apinya, Bima menuntun Abi. Ia pun menunggu tepat di sisi sang adik yang sedang buang hajat, ia tak berani jauh-jauh, ia takut dimakan genderuwo.

"Sudah belum?" Tanya Bima yang memunggungi Abi, seraya menutup hidungnya dengan leher baju.

"E... Ben..tar lagi..." Ucap Abi terbata-bata.

"Is.... Makan opo toh...!" Gerutu Bima lagi, karena ia merasa sudah rapat menutup hidungnya namun aroma busuk masih saja berhasil melewati rongga hidungnya.

Setelah beberapa menit selesai, saat di perjalanan pulang Bima berlari meninggalkan Abi jauh sendirian di belakang.

"Awas Bi... Ada Genderuwo...Ih....." Teriak Bima yang sudah jauh meninggalkan Abi seorang diri dalam gelap.

"Mas Bimaaaa! Hiks... Hiks..." Teriak Abi. Umumnya bocah, maka Bima menganggap itu hanya bercanda. Ia berlari meninggalkan Abi di belakangnya. Saat tiba dirumah, ia tertawa karena puas mengerjai adiknya. Tiba dirumah, Abimanyu langsung menindih tubuh Bima.

"Mas Bima jahat!!" Teriak Abi seraya memukul tubuh Bima bertubi-tubi. Merasa tak terima di pukul. Bima membalas pukulan itu pada adiknya. Jika tadi Abi berada diatas tubuh gempal nya. Kini ia duduk di perut Adi.

"Buughh!

Buuuggjh!

Saling balas pukulan terjadi antara dua bocah itu. Rubi yang merasa sedih sekuat tenaga ingin berjalan, baru mau duduk namun kakinya sakit sekali.

"Bima... Uwes to leh... "

Tak ada yang mau mengalah.

"Bi... Uwes toh Leh... Uwes... " Lerai Rubi. Namun dua anak laki-laki yang merasa sama-sama benar dan kesal tak mengindahkan panggilan Rubi. Akhirnya ia berteriak dan membuat dua buah hatinya berhenti berkelahi.

"Berhenti....! Bima! Abi...!" Teriakan itu membuat bibir, tenggorokan dan leher Rubi sangat sakit.

Dua bocah yang tak pernah melihat Mak nya berteriak akhirnya duduk dan diam. Tak ada yang berani berucap atau bergerak.

"Hiks...Hiks... Kalian sayang ndak sama Mak?" Ucap Rubi yang duduk tanpa bersandar. Karena dari tadi ia tidur dalam posisi bersandar di dinding rumah.

"Sayang Mak.." Ucap dua bocah itu bersamaan.

"Mbok Seng akur... Kalian itu saudara... Kalau kalian begitu sama saja kalian itu nyakitin Mak. Mak ndak pernah ngajarin Kalian untuk nyakitin siapapun, lah kok sekarang berkelahi sama kakak dan adik." Lirih suara Rubi, namun kedua buah hatinya sama-sama mendengar isi hati Rubi. Bima merasa bersalah. Ia cepat merangkak ke arah Rubi.

"Maafkan Bima Mak, Bima yang salah. Mak tidur lagi saja." Sesal Bima. Di bantunya Rubi untuk bersandar pada dinding. Abi sudah terisak namun tak berani untuk mengeluarkan suara tangisannya. Ia meringkuk dan kembali memejamkan matanya. Rubi tidur diapit dua anak lelakinya. Ia bisa tahu dari napas Bima jika sang anak belum tertidur.

"Bima, tahu kenapa kamu di beri nama oleh Bapak, Bima?" Tanya Rubi dengan intonasi pelan.

"Bapak bilang biar kalau bapak lagi tidak dirumah, Bima bisa jaga Mak dan adik." Jawab Bima seraya mengenang ucapan Surya, bapaknya.

"Lalu kenapa berkelahi dengan Abi?" Tanya Rubi penasaran.

"Bima tadi main-main Mak." Ucap Bima jujur.

"Besok lagi main-main ada waktunya Le... Kamu tahu disini kadang ada babi, kadang ada gajah, bagaimana kalau Abi diganggu sedangkan dia tidak bawa apa-apa." Rubi memberikan nasihat kepada Bima seraya menggenggam erat tangan sulungnya.

"Iya Mak..Bima janji tidak akan main-main lagi kalau lagi berdua seperti tadi." Janji Bima pada Rubi. Bima bisa merasakan suhu tubuh Maknya panas.

"Mak... Badan Mak panas sekali...." Ucap Bima.

"Hem..." Hanya deheman dari Rubi yang di dengar Bima.

'Maafkan Bima Mak..Bima janji akan jadi kakak yang baik dan anak yang baik. Sesuai janji Bima pada Bapak.' Batin Bima yang merasakan bahwa Maknya sedang demam tinggil. Ia kompres Rubi semalaman. Saat fajar tiba, Bima cepat ke arah belakang rumah, dicabutnya ubi kayu. Ia sudah menumpangkan Oyek, ia membakar ubi agar oyek yang ia masak bisa sampai sore, ia akan makan ubi bakar saja agar bisa hemat.

Pagi hari ia bahkan mengajak Abi mandi dan menyuapi Rubi sepiring oyek.

"Mak... Oyeknya tinggal sedikit, Bima ajarkan bikin oyek ya. Hari ini, bima tidak usah berangkat ke sekolah." Ucap Bima.

"Jangan, kamu harus sekolah biar pintar. Mak sudah sehat." Ucap Rubi untuk menyemangati anaknya. Hari ini sebenarnya tubuh Rubi seperti habis di lindas kereta api, linu, perih dan nyeri. Namun rasa sayang pada dua anaknya membuat ia tak bisa hanya tergeletak di tikar. Ia harus membuat oyek lagi.

Saat sinar matahari sudah berada tepat diatas kepala. Masriah datang dan membawa secangkir cairan berwarna kuning.

"Ru... Ini aku dapatkan dari Abah Manan." Ucap Masriah seraya menuangkan air dang mengambil satu sendok cairan kuning tadi. Ia berikan pada rubi.

"Minum Ru, ini madu katanya Abah Manan." Ucap Masriah.

"Madu?" Tanya Rubi tak percaya. Ia baru kali ini melihat wujud madu dan mencicipinya.

"Enak Ru?" tanya Masriah. Rubi mengangguk.

"Panis, terimakasih Mas."

"Kamu sudah mirip Nyonya Menir, Londo... Hehehe..." Goda Masriah karena melihat kedua mata Rubi yang terbuka sedikit sekali karena bengkak akibat sengatan.

Sedang tertawa senang seperti itu. Tiba-tiba terdengar suara aneh.

"Duuuuk.....Duuukkk... Duuuk... Tretektek... Tek... Duuuk... Duukkk..." Suara itu seperti suara genderang perang.

"Opo iku Mas?" Tanya Rubi khawatir karena baru kali ini suara seperti itu terdengar.

"Opo yo? Yang jelas bukan mariam Ru..." Dua perempuan itu saling rangkul ketakutan.

Rubi justru khawatir dua anaknya sedang bermain entah dimana, Bima beralasan akan mengambil air di belik. Namun ia biasanya akan bermain lebih dulu dengan teman-temannya.

Terpopuler

Comments

we

we

suara apa

2024-03-17

1

naynay

naynay

apa ituuu

2024-01-17

1

Sugiharti Rusli

Sugiharti Rusli

sangat prihatin yah hidup mereka, tapi jaman sekarang ga menutup kemungkinan juga masih banyak yang hidup seperti mereka sih,,,

2024-01-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!