Suara jangkrik dan serangga lainnya masih terdengar nyaring di desa Kungku, Rubi sudah bangun lebih dulu. Ia menepuk-nepuk paha Bima.
"Bima... Ayo bangun. Bantu mak ambil bibit." Panggil Rubi.
Bima tampak beringsut dari tempat tidurnya. Ia berkali-kali menggaruk lehernya dan segera menuju pintu dapur. Ia cuci mukanya lalu meminum air teh campah milik Rubi dan menggigit gula batu di tepi piring teh itu. Rubi sudah membangunkan Abi. Dua bocah itu masih dengan mata yang sipit dan berkali-kali mengantuk, mereka masih ingin tidur. Tetapi Rubi butuh bantuan dua anaknya. Agar bisa mendapatkan bibit karet yang baik dan tentu saja banyak.
"Kita mau kemana mak?" Tanya Bima yang mengikuti langkah kaki Rubi, sedangkan Abi setengah di seret oleh Rubi. Ia tahu bungsunya masih memejamkan matanya walau kakinya melangkah.
"Bantu Mak ambil bibit." Ucap Rubi terus menatap ke arah persimpangan.
Saat Rubi tiba, sebuah truk besar sudah ada di simpang. Rubi bergegas berlari.
"Dengar, Mak akan naik ke truk. Bima tangkap bibit yang Mak berikan. Abi, tunggu di bawah. Jaga bibit dari Mas Bima ya?" Ucap Rubi seraya mengikat rambutnya dan bergegas menuju kumpulan para lelaki dan wanit yang menjadi satu, satu petugas bahkan kewalahan meminta para warga agar tertib. Mereka khawatir mendapatkan bibit yang jelek. Maka Rubi bergegas ikut berdesak-desakan di kerumunan orang itu. Ia bahkan bertahan dengan siku tangannya kala ia di dorong oleh orang-orang. Dengan susah payah, Rubi berhasil naik ke atas truk itu. Ia merai beberapa bibit dan melemparkannya kepada Bima yang menunggu di bawah.
Bima dengan sigap menangkap yang maknya beri. Ia bawa ke arah Abi yang duduk di tanah dengan Mata terkantuk-kantuk. Sungguh kondisi serba susah, membuat mereka begitu haus dan berlomba-lomba agar mendapatkan bibit paling bagus dan banyak, demi masa depan yang lebih baik lagi. Rubi terus melihat bibit yang sudah memiliki batang cukup besar. Ia sudah bertanya pada Pak Dolah, Abah Manan seperti apa bibit yang baik. Terus saja Rubi berdesakkan di atas truk. Hingga akhirnya istri truk itu habis, Rubi melihat dari atas truk, bungsunya sedang melakukan tindakan yang membuat beberapa orang marah.
"Ayo.... Ambil... Ambil!" teriak Abi yang sengaja mengencingi bibit yang ia tunggu, ternyata bibit yang diberikan Bima pada Abi, ada saja orang nakal yang mengambil bibit itu. Abi yang berusaha melarang namun masih saja ada yang sibuk mengambil. Sehingga ia mengencingi bibit itu. Tentu saja semua menjauh dari Abi. Rubi menatap dari truk. Ia bergegas turun.
Obor di sisi Abi hampir padam, mungkin minyak tanah di dalamnya hampir habis. Dalam remang-remang Abi menundukkan ketika Rubi mendekati dirinya.
"...." Abi takut Rubi marah.
"Mak tidak marah, tapi tidak boleh seperti itu lagi. Malu dan tidak elok..." Ucap Rubi. Abi hanya mengangguk.
'Abi kasihan Mak... Mereka enak saja ambil bibit punya mak. Kenapa mereka tidak ajak anak mereka.' Tak ada keberanian Abi untuk membela diri dihadapan Rubi.
Beberapa tetangga Rubi bahkan mencibir Rubi.
"Tidak punya hati nurani kamu Rubi. Anak masih kecil kau ajak semua. Besok pagi mereka sekolah." Ucap tetangga itu. Rubi hanya diam. Ia tak memperdulikan omongan orang. Nyatanya ia berhasil mendapatkan lumayan bibit, walau ada beberapa yang patah.
"Terus bawaknya gimana mak?" tanya Bima. Rubi melihat hampir 70 batang bibit. Ia pun segera mengeluarkan sebuah kain panjang. Ia susun bibit itu dan ia gendong layaknya baku jamu.
"Bima tunggu disini sama Abi. Mak bawa pulang bibit ini." Ucap Rubi. Mengandalkan cahaya bulan, Rubi terus berjalan menuju rumahnya. Ia hanya punya satu obor. Maka obor itu ia tinggalkan di kedua anaknya.
Saat tiba dirumah, Rubi memasukkan semua bibitnya ke dalam rumah. Terus ia lakukan itu, bolak balik ia memikul bibit itu dan membawanya kerumah. Saat tinggal sedikit. Bima dan Abi membawa dengan cara memeluk bibit-bibit itu.
"Besok berarti bawa ke ladangnya sedikit-sedikit mak?" Tanya Bima.
"Iya." jawab Rubi.
"Bima bantu ya Mak." Ucap Bima. Rubi menoleh ke arah Bima.
"Kamu bagaimana belajar nya?" Tanya Rubi.
"Pulang sekolah Bima dan Abi menyusul Mak. Nanti pulang nya kita sama-sama Mak." Ucap Bima. Rubi mengusap kepala Sulungnya. Kondisi serba kekurangan, serba sulit membuat putranya lebih cepat dewasa. Usia 8 tahun, sulungnya justru sudah bisa mengerti arti kesusahan bagi orang tuanya. Rubi mengangguk. Hari-hari di lalui oleh ibu dan anak itu dengan sabar. Pagi-pagi sekali Rubi sudah menanak nasi dan membaginya menjadi dua bagian. Ia letakkan diatas papan tepat di atas luweng nya.
Saat pulang sekolah, Bima sibuk mengikat bibit-bibit itu. Jika Rubi membawanya seperti tukang jamu, Bima justru meminjam sebuah benda milik Abah Manan, keruntung'. Alat itu kalau di kalangan orang jawa bernama tenggok, tapi Abah Manan dan Nenek Hasmi yang menganyamnya mengatakan jika benda itu bernama keruntung'.
"Mak! Emak!" Panggil Abi yang memanggil Rubi saat tiba di hutan bersama Bima. Ia menyusuri jalan yang sudah di tebas oleh Rubi. Ia lihat beberapa batang sudah di tanam. Sesekali Bima membenarkan posisi tali yang melekat di dahinya. Ya, keruntung' yang di bawa Bima meletakkan beban pikulan pada punggung dan kepala yang membawanya. Begitu pula Abi, ia membawa keruntung lebih kecil.
"Mak!" Bergema suara dua bocah itu memanggil Rubi.
Seketika Mereka merinding karena suara aneh.
"Hi....hi...," Suara seperti hantu.
Dan tiba-tiba dari balik semak-semak mereka di kejutkan seseorang.
"Baaa! Hahahaha..." Tawa lantang dari Yumni membuat Rubi yang sedang berjalan ke arah Abi dan Bima bertanya.
"Bibi Yumni! Bikin jantung copot saja!" Gerutu Bima yang sudah hampir buang air di celana. Ia paling takut dengan hantu.
"Abi... Bima..." Lirih suara Rubi menatap dua putranya yang memikul bibit karet dengan keruntung.
"Bima pinjam sama Abah Manan. Biar banyak yang di bawa." Jelas Bima yang paham tatapan mata Rubi.
'Maafkan Mak....' ada perasaan tak tega di dalam hati Rubi melihat anak sekecil Bima dan Abi justru harus ikut merasakan perjuangan merintis di tempat ini.
'Apa kami kembali ke Jawa saja... ' Batin Rubi. Namun melihat tangannya yang begitu kasar dan ia pandangi hutan yang perlahan kini berubah menjadi lahan, ia cepat menepis rasa di hatinya.
'Tidak, Jawa sudah cukup sesak oleh manusia. Disini aku akan berjuang untuk anak dan keturunan ku." Batin Rubi untuk tetap semangat meneruskan apa yang ia rintis.
"Kenapa harus di pagar mak?" Tanya Bima.
"Kemarin Abah Manan bilang harus di pagar. Agar tidak di seruduk babi.Kalau diseruduk babi dan patah, kita harus ganti bibit baru." Ucap Rubi. Bima yang melihat peluh mengalir deras dari dahi ibunya.
"Sini Mak. Bima yang gali, mak buat pagar yang sudah di tanam. Abi bantu mas Bima buang tanah yang sudah mas Gali." Ucap Bima. Rubi membiarkan anak-anaknya ikut bekerjasama untuk kebun mereka.
Hanya pandangan sayang dengan semua rasa di hati Rubi ke arah Bima dan Abi. Bima menggali tanah, Abi yang akan mengeluarkan tanah-tanah itu dari lubang. Lalu Abi berlari untuk mengambil bibit nya. Tampak Yumni juga membantu Abi ketika akan menanam bibit itu.
"Ndak gitu Bi. Ini begini, akarnya biar ga patah." ucap Yumni. Rubi cepat membuat pagar bibit yang sudah ia tanam. Hari mulai sore, mereka pun bergegas pulang saat semua bibit yang mereka bawa sudah di tanam dan di beri pagar. Lalu ibu dan anak itu berhenti saat Yumni berhenti.
"Ru... Ayo kita ambil rebung." Ucap Yumni.
"Rebung..." Gumam Rubi.
"Sudah ikut saja." Ucap Yumni.
Dua bocah itu duduk menunggu Rubi dan Yumni mengambil rebung, sebuah umbut dari pohon bambu yang bisa dijadikan sayur.
"Ini nanti direbus lalu di tumis. Ini aku punya sedikit cabai." ucap Yumni mengeluarkan segenggam cabai berwana hijau dari sebuah kainnya.
"Cabai mu sudah berbuah?" tanya Rubi.
"Ssstt... Jangan keras-keras. Nanti ada yang dengar. Sekarang musim apa-apa di curi Ru. tidak ada yang tahu kalau di balik semak-semak di lahan ku itu, aku menanam cabai dan beberapa sayur. Kalau aku menanamnya dengan lahan terbuka. Aku tak mungkin bisa memakannya." Gerutu Yumni.
Tiba dirumah Rubi merebus umbut itu. Namun seketika ia merasakan tubuhnya gatal. Ia tidak tahu jika bambu yang ia tebang tadi memiliki lugut atau semacam bulu yang membuat tubuh gatal. Maka hampir semalam suntuk Rubi menggaruk-garuk tubuhnya. Ia bahkan tidak berani tidur di dekat anaknya. Tangan dan lehernya bahkan lecet karena di garuk.
Namun saat ia memasak umbut itu, hanya sedikit sekali minya yang ia miliki. Sehingga sedikit gosong rebung itu ia masak. Namun dua anaknya makan dengan lahap.
"Hem... Enak mak... Rasanya enak. Kita tanam cabai juga ya mak? Rasanya seger..." Ucap Bima yang bercucuran keringat.
"Nanti bibitnya masih mak semai." Ucap Rubi.
Hari demi hari di lalui Rubi dengan kedua anaknya cukup sabar. Namun kesabaran bagi mereka yang lelah dengan keadaan ada batasnya, begitu pula dengan Bima. Ia menatap tajam 4 orang anak yang tertawa terbahak-bahak. Ia menarik lengan Abi dengan kasar.
"Ayo pulang!" Bentak Bima pada Abi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Zahbid Inonk
ini mh bnr" mengenang masa lalu
dulu serba susah v ada byk pembelajaran dlm kesusahan itu ,, sekarang mh jaman modern ttp susah karena byk manusia yg ga bertanggung jawab ingin untung dari ke lemahan yg lain menindas dgn cara berpura-pura menolong pdhl ngaleng bari neke
2024-01-28
1
Sofia Zidna
hmm keingat waktu kecil dulu, paling susah beli alat sekolah,, justru menjadi rajin belajar
eh sekarang serba ada, fasilitas memadai malah leha² belajarx..yg mau brangkat sekolah males, suntuk, bosen lah😏 cm bikin kesel ortu
2024-01-27
0
Binar Syanum
semangat up thor
2024-01-27
0