Bab 9 Maling di Rumah Rubi dan Uhang Pandak

Kedua bola mata Rubi terbelalak. Ia menatap pintu rumah terbuka. Biasanya Bima dan Abi masih di langgar disaat sore ini.

"Ya Allah... " Gumam Rubi seraya masuk ke dalam rumah. Di lihatnya sebuah kaleng roti terbuka. Kaleng itu adalah tempat biasa Rubi menyimpan berasnya, dan kaleng satunya untuk menyimpan garam, gula dan beberapa bumbu lainnya.

"Mak... " Panggil Bima yang muncul dari pintu belakang.

"Ada apa mak?" Tanya Abi.

"Berasnya di curi orang." ucap Rubi sedih.

"Bima tahu siapa yang mengambil Mak...." Ucap Bima dengan air wajah yang merah. Dari tatapan matanya memendam kemarahan.

"Tidak usah di sebut siapa Nak... Dia pasti lapar. Karena jika dia betul-betul mencuri, maka isi kaleng ini pasti habis..." Jelas Rubi seraya memiringkan kaleng roti itu. Terdapat sekitar 1 liter beras dan juga sebongkah kecil garam dan gula batu.

"Tapi Mak..." Protes Bima.

"Shuut.... Sudah, cukup kamu tahu. Tidak usah di sebut. It aib orang. Mak tidak mau jadi ikut marah pada orang itu." ucap Rubi pada Bima.

Dari tersisa nya beras dan garam juga gula. Ia tahu jika orang itu pasti kenal mereka. Karena masih ada belas kasihan terhadap mereka.

'Tak niatkan shodaqoh... Mungkin dia betul-betul kelaparan. Atau anak-anak nya kelaparan.' Rubi coba berlapang dada di tengah musibah nya.

"Ayo Bima bantu Mak. Ambilkan air buat besok pagi. Abi bantu angkat jemurannya." Rubi sibuk dengan kayu bakar dan tungku untuk menanak nasi.

"Ya Mak..." dua bocah itu cepat pergi menjalankan titah Rubi.

Saat mengambil air di belik', Bima menatap tajam seorang perempuan. Ia bahkan memicingkan mata ketika menunggu dirigen nya terisi penuh oleh air.

Perempuan paruh baya itu salah tingkah di tatap tajam oleh Bima. Ia berusaha mengalihkan pandanganya dari Bima. Ia sibuk memandikan anaknya yang berusia 3 tahun. Bima bahkan menyipitkan kedua matanya dan nyaris tak berkedip.

'Awas kamu! Berani kamu curi beras mak lagi! Aku akan berteriak!' Batin Bima yang kesal karena saat Yana mencuri beras juga garam di rumah Rubi, Bima sedang berada di belakang rumah. Sehingga Bima mengintip dari celah-celah dinding bambu rumahnya. Yana tak tahu jika Bima melihat dirinya yang mencuri.

'Apa Bima tahu kalau aku mencuri beras dan minyak juga garam Mak nya Ya?' Yana merasa khawatir dan tak tenang. Ia akhirnya tak mencuci pakaiannya. Ia bergegas meninggalkan belik' saat selesai memandikan putrinya, Halimah. Yana adalah Janda beranak 2. Ia sama seperti Rubi, hanya saja ia sudah dua kali menikah. Dan suaminya yang kedua pergi entah kemana semenjak dirinya hamil besar. Sedangkan suami pertamanya meninggal ketika menjadi buruh pikul kayu di Jambi.

Setelah kejadian itu, Yana kembali mengulangi hal yang sama. Yana yang memang tak bisa bekerja, tubuhnya ringkih. Belum lagi ia punya dua anak balita. Halimah berusia 3 tahun dan Daryati yang berusia 5 tahun.

Saat pagi hari, Yana menunggu di balik pohon kapuk yang berukuran besar. Ia melihat Bima menuntun Abi untuk pergi ke sekolah. Tak lama ia melihat Rubi meninggalkan rumahnya. Yana bergegas mendekati rumah Rubi. Yana mengambil separuh beras Rubi. Kali ini ia hanya meninggalkan sedikit sekali beras itu. Namun saat ia baru akan membelah gula batu dan garam. Suara teriakan dari arah depan rumah.

"Maling! Maling!" Teriakan Bima membuat Yana Panik dan berlari-lari lewat pintu belakang.

Tak butuh waktu lama, semua yang masih berada di desa berhamburan ke rumah Rubi. Rubi yang belum jauh mendengar teriakan itu, ia juga ikut berlari.

"Kenapa seperti suara Bima." Gumam Rubi seraya berlari.

Tiba di rumah, sudah ramai orang. Rubi menembus kerumunan orang.

"Mana malingnya?" Tanya salah seorang tetangga Rubi yang berbadan jangkung.

"Iya, kamu tahu siapa orangnya?" tanya nya lagi.

Bima mengangguk.

"Orang kita?" tanya pria itu lagi.

Bima mengangguk lagi.

"Siapa?" Buru pria itu kian penasaran. Karena beberapa warga lainnya ternyata sering juga kehilangan gula, minyak, beras.

Rubi menatap Bima. Ia melihat kaleng yang terbuka dan beras yang berceceran.

Baru Bima ingin menyebutkan sebuah nama. Namun kedua mata Rubi yang membesar sempurna dengan gelengan pelan membuat Bima menunduk.

"Ayo. Siapa? Jangan takut." Ucap pria itu.

Bima menunduk dan menahan gerahamnya.

'Mak tidak boleh sebut nama orangnya. Apa mak sudah tahu kalau yang sering mencuri beras kami Bik Yana...' Batin Bima.

"Bima?" Panggil pria itu lagi sedikit kesal.

"Aku tidak melihat wajahnya. Tapi hanya melihat bajunya. Ia pakai baju putih." Jawab Bima.

"Perempuan apa lelaki?" Tanya lelaki itu lagi.

"Ti-dak Ta-hu... Di-a pakai topeng." Bima terpaksa berbohong. Karena kembali ia melirik Rubi. Maknya masih menatap Bima dengan kedua mata yang terbuka lebar. Ia hapal betul mimik wajah Maknya. Rubi hanya cukup membesarkan anak matanya saat ia tidak setuju, tidak suka atau marah pada anak-anaknya. Tanpa teriakan dan makian, anak-anaknya langsung paham jika Rubi sedang marah.

Sekumpulan lelaki dan perempuan yang tadi berkumpul merasa kecewa. Mereka sudah berharap kali ini ada saksi yang bisa menuduh siapa pelaku pencurian itu. Ternyata hampir setiap rumah sering kehilangan. Tetapi sedikit demi sedikit. Masriah tak langsung pulang. Ia kembali bertanya pada Bima.

"Badannya tinggi atau pendek?" Tanya Masriah.

"Ndak tahu Bik... Yang jelas ia berlari sangat cepat." Ucap Bima.

"Aku sudah beberapa kali melihat kaleng beras ku juga berkurang. Padahal aku memberi garis di kaleng itu setiap selesai ku ambil untuk di masak. Itu pasti berkurang. Maka dia sepertinya tidak niat mencuri... Kalau pencuri jelas dia bawa sekaleng-kalengnya." Gumam Masriah.

"Ya sudah Bima dan Abi berangkat sekolah. Mak akan dirumah. Mak mau menyemai bibit sayur dari nenek Hasmi saja." Titah Rubi pada dua buah hatinya.

"Jadi kamu tak menebas?" Tanya Yumni.

"Berangkatlah Yum. Dan ini bekal ku. Bawalah." Ucap Rubi pada Yumni, mereka memang biasa berangkat bersama-sama.

"Wah... Aku jadi malu Ru..." Ucap Yumni.

"Malu apa kesenangan...!" Masriah Gusar. Karena Yumni itu tidak pernah memberikan Rubi apapun. Padahal ia selalu mendapatkan sesuatu dari Rubi.

"Mas..." Rubi mengingatkan sahabatnya yang lain.

"Ye... Sirik...! Ru.. Aku pinjam parang mu ya?" Tanya Yumni.

"Ooo... Kowe ki... Di kei ati njalok jantung!" Masriah kian kesal. Ia tahu betul bagaimana Rubi akan berjam-jam mengasah mandau atau parangnya di sore atau pagi hari.

{O... Kamu ini. Dikasih hati minta jantung!}

"Uwes to Mas... Ya wes di nggoh wae kono..." Rubi memberikan izin parangnya di pakai Yumni.

{Sudah Mas... Ya sudah di pakai saja.}

Masriah akhirnya pulang dan mengingatkan Rubi.

"Ru... Yumni itu cuma manfaatkan kamu. Kamu ingat apa dia pernah balikin apa yang dia pinjam?" Gerutu Masriah yang kesal. Ketika Rubi tersengat tawon, Yumni bahkan tak membantu Rubi untuk memenuhi kebutuhannya selama tidak bisa apa-apa. Belum lagi Yumni akan meminjam garam, beras setengah canting dan tidak pernah dikembalikan.(canting adalah sebuah alat takar beras yang terbuat dari bekas kaleng susu kalau sekarang. Kalau dulu pakai bambu mirip cangkir bentuknya.)

Rubi hanya tersenyum, Masriah tidak tahu jika Yumni sedang kesulitan ekonomi. Rubi tak menceritakan apa yang dialami Yumni. Ia sudah berjanji pada Yumni jika hanya dirinya yang tahu soal masalah rumah tangga Yumni juga masalah ekonomi Yumni.

'Andai kamu tahu... Bahwa Yumni sedang berjuang keras untuk menyembunyikan aib suaminya... Kalian berdua orang baik....' Batin Rubi dan bibirnya tersenyum. Masriah pun kembali ke rumahnya dan merasa dongkol dengan Yumni yang dianggap mengambil keuntungan berteman dengan Rubi. Sedangkan Rubi, ia berusaha menepati Janji pada Yumni juga merasa bahwa tidak semua hubungan itu harus ada memberi dan menerima. Mungkin saat ini Yumni hanya bisa menghiburnya disaat di ladang. Karena mereka saat di ladang akan saling sahut-sahutan untuk menghilangkan rasa takut akan seramnya hutan yang belum terjamah manusia. Masriah tak mengalami apa yang Yumni dan Rubi alami.

Malam harinya, saat akan tidur. Bima menghadap ke arah Rubi. Sehingga ia memeluk lengan Rubi. Suara dengkuran Abi sudah terdengar di sisi kiri Rubi. Abi akan selalu tidur di sisi Kiri Rubi dan tepat di bawah ketiak Rubi.

"Mak..." Panggil Bima.

Dari remang-remang cahaya bulan, Rubi memandangi wajah Bima. Memandang wajah sulungnya selalu mampu membuat rindu Rubi pada Surya terobati. Hidung mancung dan alis hitam nan lebat sang anak begitu mirip dengan suaminya.

"Kenapa Mak tidak cerita kalau Mak sudah tahu Bik Yana suka mencuri beras kita? Dan kenapa tadi Bima tidak boleh bilang?" Tanya Bima penasaran.

Rubi sedikit beringsut lalu memeluk Bima. Ia usap lengan Bima pelan.

"Coba Bima pikiran kalau Bik Yana harus di usir dari sini atau di tangkap tentara karena mencuri. Apa tidak kasihan Halimah dan Daryati? Mereka masih kecil. Mereka tidak punya bapak. Mungkin selama ini Mak suka berbagi walau cuma setengah canting. Tapi beberapa minggu ini Mak memang tak bisa berbagi. Mak pentingkan untuk kamu dan Abi. Jadi, mungkin Bik Yana sangat lapar." ucap Rubi.

"Tapi kan ada keladi, ubi kayu. Kenapa harus mencuri... Belum lagi Bik Yumni. Kalau pinjam apa-apa dan mak tidak ada. Itu ambilnya banyak." Keluh Bima.

Rubi menatap dalam Bima.

'Kamu anak yang cerdas... Semoga besok kamu jadi orang nak....' Batin Rubi yang tak menyangka jika selama ini anaknya tak banyak bicara justru banyak mengamati.

"Mak dulu waktu di Kalimantan juga sering dapat bantuan dan belas kasihan. Rasanya sangat senang. Masa kecil Mak dulu juga begitu.... Mak tidak bisa melupakan orang-orang yang sudah baik sama Mak. Sekarang Mak juga ingin berbuat baik. Kalau kata Nenek Hasmi,nanti yang panen kalian... Bukan Mak." Ucap Rubi.

Bima menatap Rubi. Perempuan paling cantik, perempuan tertangguh dalam hidupnya. Ia melihat wajah Maknya yang tanpa polesan bedak seperti para nyonya Menir pun sudah cantik.

"Bapak apa kabar Ya Mak? Bima rindu Bapak." Bima membenamkan kepalanya dalam pelukan Rubi. Bagi Bima dan Abi berada dalam pelukan Rubi adalah suatu kehangatan. Bahkan aroma keringat Mak nya adalah sesuatu yang begitu menenangkan.

"Bapak pasti sedang bekerja keras untuk mengumpulkan uang untuk kita." Ucap Rubi yang juga merasakan hal yang sama.

Di tempat lain, Surya justru sedang ketakutan. Ia bahkan bersembunyi di balik pohon besar. Ia tadi harus kembali ke pondok karena meninggalkan sebuah alat asah untuk mesin potong kayu. Namun kini Surya hampir mati ketakutan. Ia melihat banyak makhluk mirip manusia tapi bertubuh kerdil.

'Uhang Pandak.... Apakah ini yang dulu Kolonel bilang jika di Sumatera ada manusi dengan kaki terbalik.' Batin Surya dan keringat dingin jatuh membasahi bajunya.

Seketika saat Surya coba mengintip, ia justru di buat hampir pingsan. Mata makhluk itu terlihat merah menyala.

"Glek!"

'Selamatkan aku Ya Allah...'

Terpopuler

Comments

we

we

bertambah lagi pengetahuan 🤗

2024-03-18

1

Sadiah

Sadiah

Asli bagus banget ceritanya,,😊👍👌

2024-03-03

0

Jihan Rafif

Jihan Rafif

aku sangat salut dgn tulisan mu Thor 👏👏👏

2024-01-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!