Bab 11 Denda

Sore hari di kediaman Rubi, istri Surya itu harus tertunduk di hadapan tiga pasang suami istri yang datang kerumahnya.

"Pokoknya saya tidak mau tahu! Saya lapor kepala dusun! Ini anak saya sampai hidungnya berdarah, matanya sampai bengkak begini!"

"Saya juga, Mana Bima! Sini kalau berani sama saya bapaknya!" Teriak lelaki yang mencoba masuk ke dalam rumah Rubi.

Rubi bertahan di depan pintu rumah. Ia rentangkan tangannya. Bima sedang duduk tertunduk di pojokan pintu dapur. Bocah kecil yang bertubuh gemuk itu tak berani keluar, ia ketakutan. Namun ia bisa mendengar suara isak tangis Rubi yang meminta maaf.

"Maafkan saya, saya siap menerima denda. Nanti kalau besok Pak Dolah datang, saya akan membayar dendanya." Suara Ribu terdengar lirih.

"Baik! Aku mau 50 Sen!"

"Aku juga!"

"Berarti anak kami 100 Sen! Gigi nya patah karena ulah anak mu!" Bentak tiga pasa orang tua itu dengan telunjuk yang menghardik.

Puas memaki-maki Rubi dan Bima, mereka meninggalkan kediaman Rubi. Kepala dusun pun mengingatkan Rubi agar bisa menasehati Bima.

"Kau nasehati saja anak mu. Jangan sampai berkelahi. Aku tidak bisa berbuat apa-apa Ru. Kau lihat sendiri anak mereka sampai bonyok begitu. Besok segera bayar denda yang mereka minta kalau Pak Dolah sudah datang." Nasihat sang kepala dusun dan bergegas meninggalkan Rubi yang mengangguk pelan.

Diusap Rubi air matanya, Abi mendongak menatap kearah Rubi. Dari tadi ia di peluk dan tak boleh menatap tiga pasang suami tadi. Ia bahkan merasakan bagaimana eratnya pegangan Rubi saat ia mencoba menoleh, ingin melihat. Namun sia-sia. Hingga Abi pasrah membenamkan wajahnya ke dalam perut Rubi. Hal itu sengaja Rubi lakukan. Ia tak ingin Abi trauma, atau benci. Karena ia tak pernah membentak atau menghardik sang anak.

"Mak..." ujung jari Abi mengusap air mata Rubi.

"Mak tidak apa-apa. Ayo cepat, sebentar lagi gelap. Kalian tidak akan ke langgar?" Tanya Rubi.

"Ma-ma-maafkan Bima Mak...." Bima berdiri tepat di depan pintu dapur yang terbuka. Rubi menoleh ke arah Bima. Ia mendekati Bima dan di pegangnya satu pundak sulungnya itu.

"Kenapa sampai memukul mereka seperti itu?" Tanya Rubi. Kini Rubi sudah berdiri dengan lututnya sehingga sejajar dengan Bima. Bima tak berani menatap kedua netra ibunya. Ada rasa bersalah dalam hati Bima. Gara-gara ia berkelahi, Rubi harus membayar denda.

"Maafkan Bima ya Mak. Bima nyusahin Mak. Bima memang jadi anak ga berguna...."

"Hus.. Siapa bilang Bima ndak berguna. Kemarin Mak belajar dari nenek Hasmi debu saja berguna untuk bersuci saat tidak ada air. Kalau tidak salah namanya...Ta-ta-taya...Mum...!" Ingat Rubi.

"Sekarang bilang sama Mak. Kenapa kamu memukul mereka?"

"Mereka menghina rumah kita. mereka bilang rumah kita doyong, sebentar lagi ke samber petir mak." Jawab Bima dengan nada penyesalan.

"Bima... Sini...." Rubi mengajak anaknya duduk di tikar dan satu anggukan ke arah Abi. Dua kakak beradik itu duduk di hadapan Rubi.

"Kalian tahu, Abah Manan kemarin waktu hari jumat bilang apa?" Pancing Rubi yang ingin tahu apa kata anaknya. Saat itu Rubi sedang meminta ajarkan menyemai cabai. Maka ia bisa mendengar apa yang diucapkan Abah Manan saat memberikan nasehat pada anak-anak didiknya selesai sembahyang Jumat.

"Setiap du muka bumi ini ada allah yang berkehendak mak." Jawab Bima.

"Ya, termasuk rumah kita sekarang ini yang dibuat doyong, karena Allah yang berkehendak. Dan itu agar Bima semangat belajar, agar besok bisa beli alat-alat untuk bertukang dan buat rumah dengan kokoh, jadi setiap allah kasih ujian, Allah sedang ingin bima semangat untuk lebih baik. Bukan justru sedih... Apalagi marah. Karena itu malah bikin mereka tambah senang." nasihat Rubi.

"Tapi gara-gara Bima, mak jadi harus bayar denda." Lirih suara Bima saat mengucapkan itu.

"Tidak apa-apa, yang penting Bima sudah tahu kalau bima bersalah. Dan anak pintar tidak akan mengulangi kesalahannya yang sama. Mak dulu juga pernah salah berkali-kali buat opak, ingat? Dan saat kita tahu kesalahan kita. Lalu kita perbaiki, kita bakal jadi pandai. Begitupun Bima dan Abi. Kalau salah, akui salah. Mak tidak marah," Jelas Rubi.

'Bukan uang yang berarti bagi Mak.... Tapi sikap kalian dalam menjalani hidup Nak. Kalian hidup harus punya prinsip, dan semua itu harus aku latih dan bangun dari sekarang.' Rubi menyemangati dirinya sendiri untuk bersabar mendidik anak-anak nya, terutama Bima yang memang gampang marah.

"Berarti kalau gaji bapak untuk bayar denda, Kita makan Oyek lagi mak?" Abi justru sudah memikirkan jauh ke depan.

"Wah... Anak emak pintar sekali... Besok jadi orang besar ini. Mak saja tidak mikir kesana...hehehe..." Rubi mengusap rambut Abi dan Bima silih berganti.

"Hhh.... Kita memang tidak akan membeli beras dari gaji Bapak. Tapi jangan lupa kalau rezeki itu datang dari mana saja, tidak dari gaji bapak mungkin dari yang lainnya. Itu pentingnya kita berdoa. Jadi kalau sembayang jangan lupa berdoa." Ucap Rubi seraya mengembangkan senyumnya. Walau ia sudah mulai membayangkan satu bulan ke depan.

'Tidak Ru... Kamu punya Tuhan yang tidak akan diam saja jika kamu berusaha dan berdoa.' Batin Rubi.

Malam harinya Bima dan Abi shalat di langgar. Abah Manan memperhatikan dua anak itu lebih lama keluar dari langgar tidak seperti anak-anak lainnya yang sudah pulang membawa obor masing-masing.

Sayup-sayup Abah Manan mendengar doa dua anak itu di sebelah dinding gedek langgar yang ia bangun sendiri.

"Ya Allah... Gusti... Kasih rezeki mak Kami... Jangan sampai makan oyek lagi Gusti... Rasanya tidak enak."

"Hus... Tidak boleh menghina makanan kata Abah Manan. Sini aku yang doa." Sungut Bima mendengar doa Abi.

"Ya Allah, hari ini Bima sudah berdosa, karena memukul teman bima hingga berdarah. Mak juga harus bayar denda. Bantu Mak agar dapat uang untuk beli beras kami ya Allah. Bima janji ya Allah... Tidak akan berkelahi lagi..." Ucap Bima.

"Aamiin. Ayo kak, nanti kita tidak kebagian minyak lampu" Ajak Abi yang gelisah dari tadi, semua anak sudah pergi. Dua bocah itu beranjak dari sana tanpa tahu kalau Abah Manan tersenyum dan mendoakan kedua muridnya itu.

"Aku ridho akan setiap ilmu ku pada dua anak itu, bagaimana seorang ibu dan guru tidak bahagia saat memiliki dua anak dan murid berhati bersih... " Gumam Abah Manan menatap kepergian Bima dan Abi.

Keesokan harinya Nenek Hasmi menemui Rubi. Ia meminta Rubi membantunya untuk memanen padi miliknya.

"Nanti upah nya dalam lima kaleng beras kamu mendapatkan 1 kaleng. Kamu bisa mengajak siapa satu lagi, paling tidak aku butuh 2 orang." Ucap Nenek Hasmi. Rubi langsung menyanggupi. Bima yang pulang sekolah mendengar itu ikut senang.

"Mak, Bima bantu ya untuk menggilas pari nya." ucap Bima semangat.

"Jangan, nanti bantu mak jemur saja. Mak jadi terpikirkan sesuatu nanti kalau dapat upah itu..." ucap Rubi tersenyum membayangkan idenya.

"Alhamdulillah... Terimakasih Allah... Tidak makan oyek lagi..." Ucap Abi senang. Hari itu mereka semua tersenyum lebar karena Allah kasih solusi disaat masalah sudah di depan mata.

Bersambung....

(Abi... Sini tak kasih tahu... Kalau di tahun 1950-an kamu ga suka oyek. di tahun 20-an ke atas Oyek menjadi makanan paling di cari bagi mereka yang punya penyakit dan tidak bisa makan nasi... Harganya mahal pula Bi 😅😅😅)

Terpopuler

Comments

we

we

oyek sekarang lebih banyak pilihan rasa Abi

2024-03-18

1

melia

melia

😭😭jdi inget emakkkkk.. inget waktu kecil nimpuk anak orang sampe berdarah,,
sekarang malah makanan tradisional yg banyak di cari..

2024-01-23

1

naynay

naynay

🥺🥺

2024-01-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!