BUMI TRANSMIGRAN, 1952.
Di ufuk timur matahari belum tampak. Udara dingin menusuk ke sembilu. Disaat Bima dan Abimanyu masih terlelap diatas tikar anyaman bambu hasil buah tangan Rubi, ia justru sudah sibuk di belakang rumah. Tangan perempuan yang masih berusia 22 tahun itu sibuk dengan parang dan sebuah kayu yang ia belah dari tadi. Ia akan menyalakan api. Namun semua kayu basah, sehingga Rubi memotong kayu yang setengah basah itu menjadi kecil-kecil. Setelah di tumpuk diatas tungku, Rubi bergegas menumpangkan oyek yang akan menjadi sarapan kedua putranya juga sang suami yang akan berangkat merantau.
Saat satu tungku sudah menyala, cepat Rubi menumpangi nya dengan ceret kecil yang berwana hitam. Ceret itu dulu berwarna hijau loreng putih, namun karena sering di pakai untuk memasak air, sehingga warnanya berubah menjadi hitam.
"Minum dulu Pak." Rubi menyodorkan secangkir air hangat yang telah diberikan daun teh dan di tepi cangkir itu ada sebongkah gula batu. Ya, zaman serba susah, tak ada gula pasir. Hanya ada gula batu. Maka untuk mengecap rasa manis, para transmigran harus memakan sedikit demi sedikit gula batu setelah meneguk air teh.
Surya meneguk air hangat yang disajikan istrinya. Bahkan ia 'ngerikiti' sedikit sekali gula batu itu.
"Kamu juga minum..." Ucap Surya seraya mendorong lepek (piring kecil) yang terdapat cangkir loreng biru dan putih ke arah sang istri.
"Ndak Usah mas, aku sudah minum secangkir air hangat. Dulu mbok pesan, kalau bangun tidur isi dulu perut dengan air hangat kuku." Tolak Rubi. Padahal Rubi sudah memikirkan jika sebongkah gula batu kecil itu akan ia bungkus bersama perlengkapan untuk Surya pergi merantau.
"Itu alasan indah dari orang tua, agar mereka tahu bahwa orang tua mengganjal rasa lapar sebelum beraktivitas disaat di dapur tak ada apa-apa. Kini kita pun mengalami hal yang sama." Tatapan Surya mengarah kepada dua buah hati mereka yang masih terlelap di atas tikar.
Rumah Surya dan Rubi lebih pantas disebut gubuk. Bangunan itu hanya terdiri dari kayu sebagai tiang, dan dinding bambu gedek sebagai penghalang angin dan sinar matahari masuk. Atapnya pun hanya terbuat dari sirap. Sirap adalah kayu yang dibelah lalu dijadikan atap. Rumah mereka hanya memiliki satu ruangan. Ruang itu yang menjadi tempat istirahat, di sudut ruang itu juga yang menjadi tempat memasak, ada tungku yang terbuat dari debok (batang) pisang. Tak ada barang mewah, semua peralatan makan hanya terbuat dari bahan seng yang khas dengan corak loreng-loreng.
Matahari sudah terlihat muncul, dari celah-celah dinding rumah Rubi telah memberikan sinar, Bima mengerjabkan matanya. Rubi membangunkan Abimanyu yang masih meringkuk di balik selendang hitam yang menjadi penghangat dirinya dan Bima di setiap malam.
"Le... Bangun... Ndang ados... " Rubi menggerakkan kaki Abi yang masih meringkuk.
(Nak... Bangun... Cepat mandi)
"Dilit....meneh Mak...Jek adem...." Abimanyu tak membuka kedua matanya. Ia justru merapatkan selimut itu.
Rubi bergegas memindahkan dandang yang diatas tungku ke sisi tungku. Ia lorot kayu yang masih bisa ia gunakan untuk masak nanti sore. Ia sadar mulai hari ini semua harus berhemat dan prihatin. Beberapa bulan ke depan tak ada Surya, sang suami. Maka siapa yang akan mencari kayu. Masih sulit mencari kayu bakar. Hanya mengandalkan kayu-kayu ranting yang berjatuhan jika tak ada lelaki di rumah itu.
"Abi...." Suara tegas dari Surya yang berpangkat Parjurit Satu ketika melihat putra bungsunya masih tak juga beranjak dari tikar. Dinginnya tanah terhalang karena anyaman tikar yang di buat oleh Rubi. Ada sebuah tikar rotan, itu hanya di pakai Rubi untuk menyambut tamu atau untuk ketika hari raya. Maka untuk duduk atau tidur sehar-hari mereka menggunakan tikar buatan Rubi dari bambu. Rumah mereka hanya berlantaikan tanah, tapi Rubi begitu rajin menyiram dengan air setelah menyapu lantai rumah mereka. Maka tanah di dalam rumah sangat dingin dan padat.
"Iya Pak." Abi cepat duduk. Bima sudah bersiap pergi ke 'Belik' (sungai kecil atau anakan sungai). Ia sudah menenteng ember yang berisi handuk yang sudah berapa kali di jahit oleh Rubi.
"Ayo... Tak tinggal nanti." Panggil Bima pada sang adik. Dengan malas-malasan Abi menyeret kakinya mengikuti Bima. Ia bergelayut di lengan sang kakak.
"Bima... Adiknya di tuntun Nak... Mak mau menyiapkan bontot Bapak. Ndak main air. Cepat langsung pulang." Titah Rubi pada si Sulung.
"Nggeh Mak." Ucap Bima patuh.
Anak tertua Rubi itu sesuai dengan namanya, Bima. Tubuhnya besar, perutnya buncit, kaki dan tangannya besar. Sedangkan Abi, tubuhnya kurus, ia sangat kecil. Usia mereka hanya terpaut satu tahun.
Saat dua bocah itu sudah kembali dari belik, mereka menatap Surya yang sudah siap dengan sebuah kain yang di ikat seperti sebuah bungkusan. Di dalamnya ada 2 setel baju, dua c e l a n a d a la m dan handuk kecil. Handuk itu memang khusus untuk Surya. Rubi dan kedua anaknya menggunakan satu handuk. Rubi memberikan satu bungkusan lagi di dalam bungkusan kain tadi, oyek yang belum dimasak dan satu bungkus kecil juga sebuah garam batang yang ia belah menjadi dua. Satu untuk Surya di tempat rantau, satu untuk dirinya dirumah. Bahkan Gula Baru pagi tadi ia bungkus untuk dibawa Surya.'mas Surya merantau. Aku bisa disini makan seadanya.'. Batin Rubi saat berniat untuk membagi dua gula batu itu. Ia akhirnya mengurungkan niatnya.
"Bapak mau kemana?" Tanya Bima yang berusia 7 tahun.
"Bapak mau pergi ikut kerja nggesek kayu. Bima sama Abi dirumah jaga Mak ya..." Ucap Surya dengan berat hati. Sulit rasanya ia berpisah dari anak dan istri, namun apalagi yang harus ia lakukan. Mereka butuh perubahan dalam hal ekonomi. Mereka melihat peluang itu ada jika salah satu dari mereka pergi merantau.
"Abi ikut pak..." Abimanyu sudah meloncat dan duduk di pelukan Surya.
Usapan lembut pada punggung Abimanyu.
"Loh... Katanya mau jadi Tentara. Kalau mau jadi tentara, harus sekolah dulu... Bapak pergi buat cari uang.. Nanti kalau bapak pulang, bapak belikan beras. Biar Abi dan Bima tidak makan oyek lagi.. Dan, lebaran nanti bisa pakai baju baru... Gimana? Masih mau ikut Bapak?" Surya menenangkan Abimanyu, bungsunya itu memang dekat dan lengket pada dirinya.
"Lama perginya?" Tanya Abi.
"Ya ndak tahu, bisa lama. Bisa sebentar. Tapi, bapak janji.. Nanti bapak pulang bawa sekaleng susu.. Hadiah untuk Abi dan Bima." Janji Surya.
"Pak... Ndak baik janji-janji. Lah wong disana juga belum pasti menghasilkan." Rubi mengingatkan sang suami. Namun Pratu Surya tersenyum simetris.
"Yo ndak Janji.. Tapi buat semangat kerja Bapak disana, dan buat semangat Abi dan Bima belajar. Kalian harus rajin sekolah. Dan manut sama Mak selama bapak merantau? Paham?" Surya menatap Bima yang melahap oyek, makanan yang tidak disukai Abi. Ia tak suka baunya. Berbeda dengan Bima, apapun itu asal makanan maka ia tak ragu untuk melahapnya.
"Jangan bertengkar ya selama Bapak tidak dirumah?" Ucap Surya ketika berpamitan kepada dua buah hatinya. Rombongan yang akan berangkat ke daerah Jambi telah datang. Mereka harus berjalan kaki selama satu hari satu malam untuk tiba di sebuah simpang agar bisa naik truk ke lokasi kerja, kabarnya di Jambi ada banyak kayu yang sedang di tebang dan akan dijual ke Kota.
Bima dan Abi mengangguk cepat. Tak ada pelukan dari Surya kepada sang istri. Hanya ada usapan lembut pada lengan Rubi juga satu kecupan di dahi sang istri.
"Titip anak-anak ya... Jaga kesehatan mu..." Pesan Surya sebelum meninggalkan sang istri. Rubi mengangguk dan menahan butiran hangat yang akan jatuh.
'Doaku selalu menyertai mu Mas....Paringi lancar urusan suami kulo Gusti...' Rubi bermunajat pada pemilik kehidupan.
(Berikan lancar urusan suami ku ya Allah).
Selepas kepergian Surya, Rubi memberikan pesan pada dua putranya.
"Bima, nanti kalau pulang baju mu dan Abi di gantung. Lalu pakaian di jemuran diangkat. Dan jangan lupa ambil air untuk minum besok. Jangan mandi hujan jika ada kilat atau guntur,jangan mandi di Sungai? Mak akan menggantikan bapak ke hutan." Pesan Rubi pada anak tertuanya. Ia mulai hari ini akan ke hutan, membuka lahan untuk dijadikan kebun karet. Sebentar lagi bibit dari pemerintah akan datang. Ia dan suaminya baru berhasil membuka lahan sekitar satu hektar. Hanya bermodalkan parang dan arit serta Kampak, mereka berharap bisa memiliki kebun yang kelak bisa dijadikan sumber mata pencarian dan juga untuk anak cucu mereka. Namun tanpa seorang suami di tengah hutan sendirian, minimnya ilmu tentang hutan. Membuat Rubi justru menemukan pengalaman yang tak terduga.
Saat Rubi menebas repuh yang setinggi 2 meter. Tiba-tiba kedua mulut Rubi menganga. Ia tak sengaja menebas repuh yang di dalamnya ternyata terdapat sarang tawon.
Nguunggg... Nguunggg...
Suara para tawon itu yang terbang dan menyebar karena merasa terganggu. Rubi cepat melempar parangnya ke sembarang arah. Ia berlari sekencang-kencangnya. Ia menjauh dari kumpulan tawon itu. Namun saat satu tawon itu menyengat bagian leher, Rubi mem b u n u h tawon itu. Sehingga Rubi menjadi target dari ratusan tawon yang mengejar Rubi.
"Toloooooonnng!" Teriak Rubi.
Ketika ia melihat tawon itu semakin dekat. Beberapa orang yang juga sedang membuka ladang tak berani membantu, mereka juga takut tersengat tawon itu.
"Masuk sungai... Masuk Sungai!" Teriak beberapa dari mereka.
Byuuuur.
Akhirnya semua yang berada disekitar sana masuk sungai dan mengikuti arah sungai dengan kondisi menyelam. Termasuk Rubi, ia juga mengikuti arah air tanpa menyembulkan kepala ke permukaan.
Namun apalah daya, setengah jam menyelam membuat Rubi tak mampu bertahan. Ia khawatir pingsan di dalam air justru membuat nyawa melayang. Ia akhirnya keluar dan melihat ke sekitar. Namun bahaya masih mengintainya. Bau keringat Rubi karena sengatan tawon masih ada yang menempel pada lehernya membuat gerombolan tawon tadi kembali terbang ke arah Rubi berlari sekuat tenaga, ia tak hiraukan sengatan yang datang bertubi-tubi. Dari kepala, kaki, leher, punggung. Bahkan wajahnya penuh dengan tawon.
Saat hampir tiba di kamp, Rubi tak mampu lagi berlari. Ia terjatuh di sebuah tebing. Ia pasrah, para tawon itu bahkan tak berhenti menyerangnya. Rubi hanya menutup wajahnya dengan kedua belah tangan dengan merintih kesakitan. .
"Tolong... Tolong... Sakit.... Bima... Abi...Mas Surya..." Rintih Rubi yang sudah lemah di atas tanah, tubuhnya bahkan menempel tanah merah karena berguling-guling ketika mengibaskan serangan tawon.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
we
selamat kah Rubi 🤔
2024-03-17
1
naynay
😢
2024-01-17
1
Sugiharti Rusli
si Ruby umurnya baru 22 tahun kan yah dan putra pertamanya sudah 7 tahun, berarti dia nikah sekitar 14 tahun yah, walo jaman dulu termasuk jamak sih
2024-01-13
1