Suasana pagi di hutan Kungku begitu segar dan damai. Burung-burung berkicau riang sambil terbang melintasi pepohonan yang menjulang tinggi. Di tengah keheningan pagi itu, tampak Rubi yang sedang berada di tengah hutan. Bermodalkan parang dan kampak yang ia beli dari gaji suaminya, ia pun semangat dan giat setiap hari pergi ke hutan, untuk membuka lahan kebun karet.
Dia telah memutuskan untuk membuka lahan selebar-lebarnya, agar kelak ia bisa memiliki kebun karet yang lebar, dan bisa untuk membiayai anak-anaknya sekolah, dan Surya tak perlu pergi merantau. Dengan parang yang dipegang erat dalam genggamannya, Rubi berjalan dengan mantap menuju area yang telah ia pilih. Jika sewaktu ada Surya ia sudah mampu menebas hampir satu hektar tanah, kini ia bertekad untuk menebas satu atau dua hektar. Rubi bahkan memulai dari sisi yang telah ia tebas, sehingga nanti ia memiliki kebun yang berjejeran, berbeda dengan beberapa transmigran lain yang menebas di tempat lain, setelah mendapatkan satu hektar.
Langkah demi langkah, Rubi memasuki hutan yang sudah sering ia jelajahi sebelumnya. Daun-daun rimbun dan cabang-cabang pohon yang menjuntai menjadi hambatan, namun Rubi tak gentar. Terkadang akar pohon itu juga membentur sepatu karet miliknya. Dengan keahliannya, ia memotong dan membersihkan jalan dengan parang yang ia bawa. Ia bahkan mengumpulkan kayu-kayu atau ranting untuk ia bawa pulang, terkadang ada jamur-jamur juga ia bawa pulang, agar bisa menjadi lauk makan.
Waktu berlalu, dan keringat mulai mengalir di dahi Rubi. Namun, semangatnya tidak pernah padam. Ia terus melanjutkan pekerjaannya, memotong ranting-ranting yang menghalangi lahan yang akan menjadi kebun karetnya. Suara parang yang membelah udara terdengar, memberikan semacam ritme yang mengiringi langkah Rubi. Saat matahari semakin tinggi di langit, Rubi akhirnya berhasil membersihkan sebagian besar lahan. Ia melihat potensi yang luar biasa di depannya. Lahan yang sebelumnya tersembunyi di balik hutan kini terbuka lebar, siap untuk ditanami bibit karet.
“Aku akan meminta bibir cabai dan juga sayuran Nenek Hasmi. Aku akan menanam sayur dan cabai di tepi lahan yang telah ku tebas, agar selama aku menebas lahan ini, aku juga mendapatkan hasil untuk dimakan.” Gumam Rubi yang duduk bersandar di pohon besar, pohon itu bahkan tak bisa di peluk karena besarnya lingkarannya. Rubi masih beristirahat, ia mengipas-ngipaskan topi yang tadi ia pakai.
Perut yang terasa perih, ia pun segera membuka bungkusannya. Saat ia teringat satu teman perempuan yang juga membuka lahan dan tak jauh dari tempatnya, ia memanggil perempuan itu.
“Yu… Yumni….” Panggil Rubi.
“Hui…. Ada apa Ru?” tanya Yumni.
“Kamu sudah makan?” Tanya Rubi setengah berteriak.
“Ini baru mau makan…” Jawab Yumni dengan teriakan.
“Kemari Yum… aku ada sayur. Rasanya enak.” Panggil Rubi.
“Kamu dimana?”
“Disini… dibawah pohon besar. Ikuti saja jalan yang aku tebas tadi Yum…” Teriak Rubi.
Yumni bergegas menuju tempat Rubi. Ia pun menemukan Rubi duduk bersandar di pohon itu.
Saat dibuka bungkusan nasi Yumni, hanya ada satu bungkus nasi jagung, tanpa lauk dan sayur.
“Ayo kita makan sama-sama.” Ucap Rubi. Yumni terbelalak menatap sayur yang dimaksud Rubi.
“Ru…” Yumni tak segera makan, ia menatap sayur itu lalu mengambilnya dan mengangkat sayur itu.
“Ini… seperti rumput di tepi rumah…” Gumam Yumni.
“Tidak usah lihat bentuknya, yang penting halal dan sehat, kata nenek Hasmi.” Ucap Rubi.
Tampak ragu-ragu Yumni makan satu suap sayur itu. Ia kunyah sayur yang ditumis Rubi menggunakaan separuh satu siung bawang putih dan setengah siung bawang merah lalu sedikit minyak sawit, di berikan sedikit garam dan gula.
“Hem… enak Ru…” Ucap Yumni dan kini ia semangat memakan sayur dan nasi yang sudah Rubi jadikan satu diatas daun pisang. MEreka makan diatas daun pisang yang di letakkan di atas tanah.
“Semoga tidak hujan ya Ru…” Ucap Yumni seraya menikmati nasi mereka.
“Ya… karena kalau hujan, kita jadi tertunda membuat kebun.” Ucap Rubi.
“Ru…” Yumni tertunduk.
“Ada apa?” tanya Rubi usai mereka makan, biasanya Yumni akan bergegas kembali bekerja.
“Aku ingin cerita… aku sudah tidak tahan menanggungnya sendiri.” Kini suara Yumni terdengar lirih.
“Ceritakan Yum… ada apa?” tanya Rubi.
“Mas Karyo… kabarnya kini pacaran dengan orang tempat ia merantau… dan itu aku dengar dari temannya yang kemarin pulang dari merantau, saat ku tanya kenapa mas Karyo tak memberikan kabar?” kini air mata telah membanjiri pipi Yumni. Perempuan yang selalu semangat dan tak pernah mengeluh itu kini menangis di hadapan Rubi, yang usianya jauh dibawah Rubi.
“Yum… kita tidak bisa mendengarkan sepihak. Kamu harus tunggu suami mu pulang, bisa saja berita itu bohong.” Nasihat Rubi.
“Tapi… sudah dua bulan mas Karyo tak pulang dan mengirim uang… apa aku pulang ke Jawa ya Ru… rasa-rasanya tak sanggup aku hidup di tempat ini. Semua serba sulit, bahkan ketika sulit pun tak ada yang mau membantu…” Kini Yumni berkali-kali mengelap air yang keluar dari hidungnya.
Rubi beranjak dari tempat duduknya, ia buka topi yang tadi ia pakai. Sebuah usapan pada punggung dan lengan Yumni, “Yum…Dulu, kita berjuang bersama suami kita. Bahkan ketika mereka berangkat untuk berada di barisan depan menghadapi belanda, kita tidak khawatir kehilangan mereka. Walau ada rasa sedih setiap mereka pergi, karena kita tidak tahu akan pulang atau tidak. Bahkan aku ketika melahirkan Abi, Mas surya tidak pulang. Lantas kenapa kita harus menyerah disaat bangsa kita sudah merdeka? Kamu tahu tujuan Jendral Sudirman kenapa kita di sebar di seluruh penjuru tanah air?” tanya Rubi.
Yumni menggeleng.
“Karena, agar bangsa kita yang besar ini tidak kembali di jajah bangsa asing. Dan anak cucu kita tidak lagi hidup susah, dan untuk itu…. Kita yang harus berjuang. Termasuk saat ini, kalau memang Mas Karyo pacaran atau menikah lagi, masih ada Bambang dan Aji yang harus kamu pikirkan masa depannya. Pulau Jawa sudah penuh sesak Yum… Maka kesempatan kita untuk masa depan gemilang bagi anak-anak kita adalah berjuang disini!” Rubi memeluk tetangganya yang juga sahabatnya.
Rubi juga menceritakan jika sudah dua bulan suaminya tak mengirimkan uang juga kabar.
“Aku tak perduli apapun yang orang katakan tentang mas Surya. Aku akan berjuang disini… untuk Bima dan Abi. Pulang atau tidaknya mas Surya. Bangsa ini butuh perempuan kuat Yum… lihatlah Pak Sukarno, Pak Hatta dan istri Jendral Sudirman. IStri-istri mereka adalah orang yang kuat.” Ucap Rubi seraya menghapus air matanya.
“Tapi kita seperti diasingkan di tempat ini Ru… padahal suami-suami kita dulu berjuang untuk bangsa ini…” Gumam Yumni yang memang awalnya tak ingin ikut transmigran. Ia ingin tetap di Jawa.
“Kamu ingat pidato Kolonel ketika di Kalimantan?” tanya Rubi.
Yumni menggeleng.
Rubi mengingat betul dalam pidato kolonel mereka saat itu, bahwa mereka yang diminta berjuang di hutan-hutan untuk membuka sebuah lahan atau perkampungan adalah orang-orang yang hebat.
“Beliau mengatakan jika kita adalah patriot pembangunan. Dan tugas pertama kita, menundukkan alam ini… agar bisa di buat jalan, adanya lahan pertanian, adanya bangunan atau gedung seperti di Jawa. Itu tidak bisa berdiri tanpa kita perintis. Dan anak-anak kita nanti yang akan menikmati hasilnya.
“Tapi di Jawa juga bisa jadi kuli.. disini… aku merasa seperti kuli.. Ru…” Keluh Yumni yang merasa lelah karena di Kungku tak ada fasilitas seperti di Jawa, jalan juga belum ada. Masih jalan tanah merah.
“Sabarlah, kita justru senang. Di Jawa tidak dapat bagian tanah. Lihat kita, di desa kita dapat bagian tanah untuk tempat tinggal. Tanah seluas itu jika nanti anak kita dewasa, kita bisa membaginya kepada anak-anak kita. Sehingga mereka tidak perlu membeli tanah untuk membangun rumah bersama istri mereka kelak… Sabarlah, jika bibit datang dari Jakarta, kita akan dapat bantuan alat untuk membuka lahan..” hibur Rubi pada Yumni.
“Seperti cerita wayang hidup kita ya Ru…” Ucap Yumni yang mulai reda tangis dan rasa sesak di dadanya.
Rubi mengangguk dan mengamini apa yang dimaksud Yumni. Memang mirip dengan kisah cerita pewayangan yang menceritakan Amarta yang membabat hutan Martani. Mereka begitu menderita selama disana dan mempertaruhkan nyawa. Namun Pandawa memiliki semangat pioner.
“Ya.. dan akhirnya hutan Martani menjadi suatu negara yang ‘Gemah Ripah Kerta Rahardjo, Apa Kang Tinandur Jadi’.Untuk menciptakan sebuah lukisan yang indah, kita harus berani kotor dan lelah dari noda cat Yum… Sekarang.. kumpulkan semangat untuk anak cucu kita… sama seperti itu…” Tunjuk Rubi.
“Apa itu Ru…”
“Biji Durian, ku ambil setiap ada saudagar yang membawa buah-buah. Aku selalu memungutnya. Katanya itu Durian, aku mungkin bisa mencicipi hasil panen durian itu nanti kalau anak-anak ku sudah dewasa. Juga itu… kabarnya itu juga buah duku… yang lama untuk berbuah…”Tunjuk Rubi pada beberapa pohon kecil yang ia tutupi karung dan bambu agar tak dimakan Babi hutan.
“Ayo… Kita adalah pahlawan pembangunan…!” Ajak Rubi yang bergegas kembali menebas semak belukar dan kayu-kayu yang cukup besar. Yumni pun kembali ke lahan yang akan ia buka.
Saat Rubi tengah sibuk menebas di tengah hutan, tiba-tiba ia merasa ada gerakan di dekat kakinya. Ia melihat ke bawah dan terkejut melihat seekor ular meluncur dengan cepat di antara rerumputan. Rubi dengan sigap menghindar dan membiarkan ular itu melintas dengan aman. Hatinya berdebar, namun dia tidak membiarkan ketakutan menguasainya. Ia mengambil nafas dalam-dalam dan melanjutkan pekerjaannya dengan lebih hati-hati.
“Aku sudah baca doa yang diajarkan nenek Hasmi… aku tidak mengganggu kalian wahai ular-ular… jangan ganggu aku….” Ucap Rubi saat melihat satu ular di hadapannya. Rubi perlahan berpindah, tampaknya ular itu pun pergi ke arah berlawanan.
Tak lama kemudian, ketika Rubi sedang memotong batang pohon yang besar, suara riuh rendah dari atas pohon mengalihkan perhatiannya. Dia menoleh ke atas dan melihat sekelompok monyet yang bermain-main di ranting-ranting pohon. Monyet-monyet itu saling berkejaran dan melompat-lompat dengan lincah. Rubi tersenyum melihat aksi mereka yang lucu dan menghibur. Ia merasa terhibur sejenak oleh kehadiran mereka, seolah-olah memberikan semangat dan keceriaan dalam pekerjaannya.
Rubi menyadari bahwa di hutan yang indah ini, ia tidak hanya berhadapan dengan tugas dan tantangan, tetapi juga berbagi ruang dengan makhluk-makhluk lain yang hidup di sana. Ia belajar untuk menghormati dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar, termasuk bertemu dengan ular dan berinteraksi dengan monyet. Meskipun ada sedikit ketegangan dan kejutan, Rubi terus melanjutkan perjuangannya untuk membuka lahan kebun karetnya.
“Ya Allah… jadikanlah tanah ini… menjadi Subur… makmur lah desa kami… Hhhh… mas Surya…aku rindu kamu mas….” Ucap Rubi yang telah berlinang air mata, kala ia berjalan pulang dan melihat sepasang suami istri berpegangan tangan turun dari tebing. Rubi merindukan Surya, namun ia harus tetap tegar dan kuat demi kedua putranya. Ia percaya Surya tak mungkin meninggalkan Rubi dengan anaknya. Seperti yang dikatakan orang-orang desa, jika orang yang merantau dan hidupnya lebih enak disana akan lebih memilih meninggalkan anak dan istri. Atau justru istri yang pergi meninggalkan suaminya karena tak tahan hidup sengsara di desa.
“Aku akan menanti mu pulang…. Aku berjanji setia pada cinta kita mas… dan cinta pada bangsa ini….” Rubi melangkah dan menatap langit yang berwarna jingga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
we
sampai hari ini kita masih butuh semangat Rubi
2024-03-18
2
Jihan Rafif
setiap bab nya ku baca dgn linangan air mata.... semangat selalu Thor nulis nya...
2024-01-22
1
Yhanie Shalue
tetap semangat Rubi,, percayalah usahamu kelak akan membuahkan hasil dan akan dinikmati Anak cucumu🥰
2024-01-19
1