Bab 10 Omah Doyong

Surya begitu ketakutan saat tatapannya bertemu dengan manusia pendek yang ia yakini Uhang Pandak. Uhang Pandak merupakan makhluk legendaris dalam mitologi Jambi yang memiliki penampilan yang menakutkan. Makhluk ini digambarkan memiliki tubuh yang besar dan berotot, dengan kulit yang berwarna gelap. Uhang Pandak memiliki badan yang dipenuhi bulu berwarna abu-abu, dengan tinggi sekitar 80-130 cm.Bahkan Anthony Reid menjelaskan dalam bukunya Soematra Tempoe Doeloe tentang keberadaan Uhang Pandak yang memiliki kaki terbalik ini.

Surya dengan cepat berlari menuju hutan yang lebat, mencari perlindungan di balik sebuah batang kayu yang besar. Ia merasa ketakutan karena sebelumnya telah melihat Uhang Pandak, makhluk legendaris yang konon berkeliaran di daerah tersebut. Dengan nafas terengah-engah, ia berusaha menyembunyikan diri, berharap agar tidak terlihat oleh makhluk yang menakutkan itu.

Badan yang gemuk dengan tangan yang panjang, serta mata berwarna merah, memberikan kesan yang tak membuat bulu-bulu halus pada sekujur tubuh Surya berdiri.

Kaki yang mirip kera menjadi ciri khas yang melekat pada citra Uhang Pandak. Dalam beberapa cerita, juga disebutkan bahwa Uhang Pandak sering terlihat membawa peralatan berburu seperti tombak. Walau tadi Surya melihat sekumpulan manusia pendek itu tak membawa senjata apapun. Orang-orang pendek itu terlihat hanya mencari sesuatu di pondok Surya dan mencicip setiap yanga ada dalam kaleng.

Kini Surya berhenti di sebuah tambi batang Kulim yang besar. Ia bersembunyi, khawatir jika di kejar. Ia kembali mengintip.

"Tampaknya manusia pendek itu tidak mengejar ku..." Gumam Surya dengan napas tersengal-sengal. Ia melihat satu temannya kembali karena menanti Surya tak kunjung kembali ke rombongan.

"Hei...!" Kejut lelaki itu.

"Haaaaah!" Teriak Surya melengking ketakutan.

Ia memeluk kayu besar itu dan sampai terkencing-kencing di celana.

"Hei... Surya... Ada apa kamu? Habis lihat hantu?" Tanya Santo tertawa melihat celana Surya yang tiba-tiba basah dan mimik wajah ketakutan.

"San-to... A-a-a-aku.... U-u-uhang pandak!" Ucap Surya terbata-bata.

Santo terdiam dan mengintip ke arah yang di tunjuk Surya.

"Tak ada apapun." Ucap Santo yang berjalan menuju pondok. Surya mencoba kembali mengintip.

"Aneh... Mereka begitu banyak tadi... Kemana pergi nya." Gumam Surya.

"Halah... bilang saja kau takut hantu atau beruang yang semalam datang ke pondok!" Santo tak percaya cerita Surya bahwa ada sekumpulan Uhang Pandak yang datang ke pondok mereka.

"Betul San. Aku berani bersumpah! Matanya merah, tubuh mereka penuh bulu. Dan... Kaki mereka terbalik..." Ucap Surya cepat memeriksa tempat yang biasa dijadikan untuk menanak nasi.

"Lihat... Lihat ini... Garam-garam kita habis di bawa mereka.... Dan mereka tadi mencelupkan tangan mereka di minyak dan cangkir-cangkir ini..." Surya menunjukkan satu kaleng tempat menyimpan garam.

Santo melihat isi kaleng tersebut. Tiba-tiba ia kaget akan teriakan Surya.

"Lihat! Lihat ini San...!" Panggil Surya dengan suara teriakan histeris. Santo berlari menemui Surya di belakang pondok.

"Lihat... Ini salah satu telapak kaki mereka." ucap Surya. Santo kembali membantah.

"Tadi kamu bilang rombongan. Tapi kenapa hanya satu jejak kaki... Harusnya banyak... Ah kamu pasti berhalusinasi atau melihat monyet. Kalau Uhang Pandak, sudah habis kamu di cabik-cabik nya." Santo tak percaya dan bergegas mengambil pengasah mata pisau mesin potong kayu.

Surya menggaruk kepalanya.

"Kemana perginya mereka, tapi... Betul... Aku yakin bahwa yang ku lihat tadi adalah Uhang Pandak... Nyatanya jejak kaki mereka ke arah sini. Sedangkan mereka tak mengejar ku. Maka kaki mereka pasti terbalik... Sesuai apa yang pernah di kisahkan kolonel jika di Hutan Jambi ini ada orang pendek yang diberi julukan Uhang Pendak." Gumam Surya. Melihat Santo sudah akan pergi, Surya bergegas mengganti celananya yang basah.

Saat malam hari tiba, semua orang menertawakan Surya. Mereka tak percaya pada cerita Surya. Namun saat malam makin larut, mandor yang menggantikan Pak Lesmana mendekat. Ia bernama Tejo, usianya masih muda.

"Katakan pada ku... Apakah mereka mengejar mu...?" tanya Tejo.

"Em... Sepertinya tidak karena tadi jejak kakinya menghadap kemari." Ucap Surya jujur.

Sayang hujan baru turun, sehingga jejak kaki makhluk tadi hilang. Tejo mengeluarkan sebuah alat besar seperti kotak. Ia tunjukkan alat itu pada Surya.

"Kau tahu Sur... Aku kemari bukan hanya untuk mencari kayu dan uang... Bisik Tejo."

Surya menoleh dan menyimak setiap kalimat dari Tejo.

"Ini adalah alat untuk memotret. Aku membelinya dari orang China. Aku berharap dapat berfoto atau mengambil gambar Uhang Pandak. Ada banyak orang inggris yang ingin membeli foto itu. Aku bisa menjual nya mahal... Kita akan bekerja sama. Kamu mulai besok aku tugaskan untuk menunggu pondok dan masak. Upah mu tetap sama. Malam ini aku ajarkan kamu menggunakan alat ini. Mulai besok bersembunyilah.... Kita akan bagi dua hasilnya." Tawar Tejo. Surya Antara senang dan takut. Karena bagaimana ia berani menghadapi banyak manusia kerdil yang konon akan memakan manusia dan mencabik-cabik tubuh mangsanya seraya tidur. Namun Surya lelaki yang cerdas, ia berasumsi jika itu tidak mungkin.

'Mungkin saja itu hanya cerita dari mulut ke mulut. Jika Uhang Pandak makan orang... Maka aku tadi sudah menjadi mangsa mereka. Jumlah mereka tadi cukup banyak... Aku terima saja tawaran Tejo... Toh aku jadi lebih banyak waktu memancing untuk ku buat ikan salai.' Batin Surya menimbang tawaran dari Surya. Akhirnya malam itu ia setuju, ia pun belajar menggunakan alat potret yang begitu besar. Bahkan untuk mengambil gambar, kepala Surya harus dimasukkan ke dalam kain hitam dan akan ada cahaya seperti kilat dari arah depan alat itu. Saat malam kian larut, surya menyimpan alat itu di tepi pondok dan mencoba memeluk sebuah selendang, sebuah selendang milik istrinya.

'Aku berjanji akan pulang sebelum lebaran Ru...' Surya berjanji akan pulang satu bulan setengah lagi.

Ditengah rimba hutan Jambi, Surya bertaruh nyawa untuk mencari nafkah, namun di desa Kungku, Rubi dan kedua putranya sedang merasa ketakutan.

Bima dan Abi, juga Rubi merasa ketakutan yang menggelayut di hati mereka saat hujan deras mengguyur tanah Kungku, Bumi Transmigran. Dalam pelukan ibu mereka, mereka merasakan getaran ketakutan yang tak terelakkan. Wajah mereka penuh dengan ekspresi cemas, mata mereka memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Suara angin yang menggoyahkan rumah dan suara hujan yang memukul dinding bambu membuat mereka gemetar. Mereka memeluk Mak mereka dengan erat, mencari perlindungan dan keamanan di dalam pelukan hangat Rubi. Meskipun mereka mencoba menenangkan diri, namun ketakutan itu tetap menempel di benak mereka, terasa seperti badai yang menerjang hati mereka.

Dalam kepanikan yang melanda, Rubi melihat posisi rumah kian miring atau doyong, dengan cepat menggandeng kedua anaknya, menarik mereka menuju Tambi batang kayu Pule yang cukup besar, yang berdiri tegak di dekat rumah mereka. Hujan deras yang disertai angin kencang membuat hati Rubi berdebar kencang, khawatir bahwa rumah mereka yang miring akan tertimpa kayu-kayu yang mungkin terlepas atapnya.

 Dalam pelukan hangat Rubi, kedua anaknya memeluknya dengan erat, wajah mereka penuh ketakutan. Bersama-sama, mereka berlindung di balik Tambi kayu, mencari perlindungan dari ancaman cuaca yang menerpa dengan kekuatan yang tak terduga. Meskipun ketakutan meliputi mereka, Rubi berusaha menenangkan anak-anaknya.

"Jangan takut, kita aman disini. Bapak pernah bilang untuk berteduh di sini." Rubi berteriak untuk menenangkan kedua anaknya karena hujan begitu deras. Rubi bahkan rela kehujanan, karena kain panjang yang telah di lapisi karung hanya mampu melindungi Bima dan Abi yang ia dekap tepat di hadapannya. Ia bahkan memalingkan wajah dua anaknya kala angin semakin kencang dan berkali-kali menghantam gubuk mereka. Atap gubuk Rubi bahkan terangkat beberapa kali.

"Jangan dilihat... Ndak baik lihat itu. Sudah sini... Peluk ibu. Baca doa dalam hati." Teriak Rubi bersahutan dengan guruh dan kilat yang tampak kian menjadi-jadi.

'Duh Gusti... Jangan robohkan rumah kami....' Harap Rubi yang merasa hangat pipi nya. Hampir setengah malam ia dan kedua anaknya berdiri di dalam tambi kayu puleh tersebut.

Suasana dipenuhi oleh gemuruh hujan yang deras. Tetesan air yang jatuh dari langit menghasilkan suara riuh yang mengisi udara. Tetesan-tetesan air menari-nari di atap rumah. Bau tanah basah dan segar menyelimuti udara, memberikan kesan alami dan menyegarkan. Suara angin yang bertiup dengan kuat, membawa kabar hujan yang akan bertahan lama. Perlahan dalam keadaan yang seolah-olah berdansa dalam harmoni, hujan memberikan ketenangan dan keheningan yang menyelubungi kediaman Rubi.

Saat hujan reda, Rubi menuntun kedua anaknya yang terkantuk-kantuk ke dalam Gubuk. Rubi Bergegas ke arah luar rumah. Diambilnya bambu yang biasa untuk menjemur pakaian dan opak. Ia dorong sekuat tenaga ke arah dinding rumahnya yang terbuat dari bambu.

"Aaaa....."

Bruuugh!

Rubi sampai terjatuh karena licinnya tanah di samping rumahnya. Ia kini sudah bermandikan lumpur. Bima yang terjaga cepar keluar, ia khawatir ada maling. Dalam remang-remang, Bima melihat Rubi berusaha memberikan cagak atau penopang untuk dinding rumahnya. Setelah hujan lebat tadi, rumah mereka tampak miring atau doyong.

"Mak!"

Kecupluk.

kecupluk.

Suara kaki Bima berlari karena memijak tanah yang di genangi air hujan. Ia bantu Maknya untuk berdiri.

"Bima bantu ya Mak." Bima mendorong Bambu itu sekuat tenaga, lalu Rubi kembali mengambil 2 bambu lainnya. Alhasil di pagi buta itu, ibu dan anak itu bermandikan lumpur dengan tubuh yang menggigil sibuk mempertahankan agar rumah mereka tetap berdiri. Karena itu adalah satu-satunya harta dan tempat mereka berlindung.

Dan keesokan harinya, Bima berkelahi dengan tiga anak orang berada. Karena anak itu berkali-kali mengejek rumah Bima dengan sebutan.

"Omah Doyong.... Omahe Bima doyong... Omahe Bima doyong... Dilit meneh ambruk... Dilit ne ke samber petir..." Teriak beberapa anak.

Tanpa ba-bi-bu, Bima cepat memukul tiga anak lelaki itu hingga semua nya menangis dan lari ketakutan.

"Rene! Jeneng ku Bima! Omah ku memang Doyong! Tapi hati ku Ra doyong!" Wajah Bima merah padam menatap punggung anak-anak yang baru saja di hajarnya habis-habisan.

{Sini! Nama ku Bima! Rumah ku memang miring! Tapi hati ku tidak miring!}

Terpopuler

Comments

N Wage

N Wage

tampi itu apa k debu?

2024-01-24

1

Jihan Rafif

Jihan Rafif

tiap bab ny blm berhenti mewek...ayo Thor kpn mereka hidup nya bahagia...aku gk tega thor... sungguh

2024-01-22

1

Sukhana Ana Lestari

Sukhana Ana Lestari

Thor... apakah di masa depan dengan kesuksesan Bima Abi.. Rubi udah tdk bersama mereka..??? karena Bima merasa sia" membangun rumah sebesar itu tapi Rubi gk ada tinggal bareng mereka lagi..??

2024-01-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!