Bersama Anak-anak

"Ayo mbak belajar, ada game apa lagi hari ini?" tanya salah satu anak bernama Rehan.

"Bentar ya" Ananta tersenyum ke arah Rehan, kemudian beranjak ke kamarnya untuk menaruh tas dan melepas sepatu. Setelah itu Ia kembali lagi ke ruang tamu, Ia pikir Pram tadi sudah pulang, ternyata laki-laki itu masih disana.

"Mas belum pulang?" tanya Ananta, "Kan saya udah janji kemarin sama anak-anak mau ikut nemenin belajar. Gimana, boleh nggak nih saya ikut nemenin belajar kali ini?" tanya Pram kepada anak-anak.

Semua anak serentak menjawab "Boleh", Pram menaruh tasnya disamping kursi meja. Kemudian berjalan mendekat mensejajari Ananta yang berdiri menghadap anak-anak.

"Saya nggak dikenalin nih?" tanya Pram dengan senyum, Ananta yang terkesima dengan senyum itu seketika menjadi gugup. Ia jadi gelagapan sendiri.

"Oke, ini guru mbak namanya Pak Pram. Kalian boleh panggil pak, atau mas atau om gapapa terserah senyaman kalian, asal jangan di panggil mbak aja, nanti ketuker dong" Tutur Ananta memperkenalkan Pram, anak-anak tentu tertawa mendengar caranya memperkenalkan orang.

Sedangkan Pram, Ia tersenyum sambil memandang wajah Ananta. "Oh iya tadi Rehan tanya apa? Game?" Tanya Ananta.

"Iya mbak, main apa kita hari ini?" Memang setiap hari sebelum belajar, anak-anak akan diajak untuk memainkan sebuah permainan yang bisa memancing semangat mereka untuk belajar, dan setiap hari permainan yang dimainkan berbeda.

"Hari ini kita main tebak lagu, jadi nanti game-nya berpasangan. Satu orang tugasnya menebak lagu, satunya lagi, nanti akan mbak kasih kertas yang ada tulisan judul lagunya.

Nah, tugasnya adalah menggambar sesuatu yang berhubungan dengan lagu itu supaya ditebak sama pasangannya" jelas Ananta.

"Lagunya nanti lagu apa aja mbak?" tanya salah satu anak perempuan. "Oh kalo lagunya nanti yang milih, guru tamu kita, yeeayy!" Ucap Ananta sambil tepuk tangan, anak-anakpun jadi ikut tepuk tangan.

Dalam hati Pram merasa sangat senang bisa terlibat dengan anak-anak ini, selain bisa mengasah skill mengajarnya sebelum benar-benar terjun untuk mengajar langsung nantinya, Ia juga bisa melihat versi lain dari Ananta.

Versi Ananta yang ceria, yang sangat jarang Ia lihat. Mungkin disekolah Ia bisa melihat senyum ceria Ananta saat gadis itu sedang bersama teman-teman, atau saat sedang berada dikantin melayani pembeli. Itupun dari kejauhan.

Tapi hari ini, dia bisa menikmati senyum ceria Ananta dari jarak yang cukup dekat. Dan menyaksikan bagaimana hangatnya sikap Ananta terhadap anak-anak, pantas saja jika mereka semua merasa nyaman dengan Ananta.

Sebelum permainan dimulai, Ananta meminta Pram untuk menuliskan judul lagu pada potongan-potongan kertas yang sudah Ia gunting sebelumnya.

"Mbak nanti yang kalah suruh apa?" tanya Rehan. Anak ini memang anak yang paling aktif di kelompok belajar ini.

"Mmm nanti yang kalah.... Nyanyi tiga lagu wajib nasional, gimana?" tanya Ananta meminta persetujuan anak-anak.

"Okeee" kata mereka kompak.

Permainanpun dimulai, Pram bertugas mengundi kertas bertuliskan judul lagu, yang sudah digulung dan dimasukkan dalam gelas. Banyak dari mereka yang kesulitan merepresentasikan judul itu kedalam gambar. Alhasil banyak yang salah menebak.

"Karena lebih banyak yang salah dari pada yang benar, sekarang semuanya kena hukuman, horeeee!" seru Ananta sambil tepuk tangan.

"Yaaahhh" keluh anak-anak dengan wajah kecewa.

"Enaknya dihukum apa nih mas Pram anak-anak keren ini?" tanya Ananta dengan nada bicara seolah mengancam. Ia pandai memainkan intonasi suara dan mimik wajah, sehingga bagi anak-anak itu terdengar menarik.

"Gimana kalo nyanyi Garuda Pancasila aja, Nah Kamu Rehan, kamu jadi dirijennya" tunjuk Pram pada Rehan.

Singkat cerita sesi permainan berakhir, sekarang waktunya bagi anak-anak belajar. Hebatnya anak-anak ini, mereka tau kapan waktu serius dan kapan waktunya bercanda.

Ketika Ananta sedang mengajari Anggun, salah satu anak perempuan memanggilnya meminta bantuan "Mbak Ananta ini gimana aku lupa rumusnya?" tanya anak itu.

"Sebentar ya" kata Ananta, "Sini biar mas bantu, mana yang susah?" Pram berinisiatif untuk membantu. "Ini mas, lupa rumusnya gimana.. "

Soal matematika tentang hitungan berat, Pram menjelaskan rumus matematika untuk mengerjakan soal itu. Tapi anak itu bukannya mengerti, Ia malah bingung.

"Mbak Ananta ngajarinnya nggak gitu mas" kata anak itu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Terus gimana, ini rumusnya memang begini" kekeh Pram.

Ananta mendengar perdebatan itu, Ia mendekati kedua orang itu "Safira, mana coba jari tangannya" Kata Ananta sambil mengangkat kelima jari tangan kanannya.

"Ibu jari dipanggilnya Ton karena paling berat, jadi jarinya yang paling gendut, Anak-anak ibu jari namanya kwintal, kilo, ons, gram. Setiap sela jari ada nilainya, 10, 100, 10, 100. Pertanyaanya 45o Ton berapa kilo? Dari Ton ke kilo ada tiga nol. Jadi dikalikan 1000. 450 dikalikan 1000 hasilnya berapa Safira???" tanya Ananta.

"Nah ini nih mbak aku lupa ada 10, 100 nya. Makasih mbak Ananta yang cantik hehehe" jawab Safira dengan senyum lebar.

"Gitu lo mas caranya, kaya mas tadi ribet ngga ngerti. Pake tangan gini gampang" cecar Safira pada Pram.

"Safiraaa... " Ananta menegur sikap tidak sopan Safira terhadap Pram, "Hehe iya mbak maaf, Maaf mas saya nggak sopan" Kata Safira meminta maaf.

___

Pram sudah beristirahat dikamarnya sekarang, sehabis pulang dari rumah Ananta dia langsung mandi dan mengisi perutnya yang lapar. Sekarang sudah pukul 20:45.

Ia mengingat kembali momen belajar bersama anak-anak tadi, Ia ingat bagaimana cara Ananta menganalogikan soal-soal yang sulit dikerjakan anak-anak, menjadi soalan yang mudah dicerna otak mereka.

Kadang Pram dibuat takjub dengan cara didik Ananta, dia seperti punya 1001 cara untuk membuat anak-anak tidak takut mengerjakan tugas mereka, meskipun nanti akan berpotensi salah.

"Yang penting jangan patahin semangat belajar mereka, salah itu nggak papa mas. Jangan langsung di cap bodoh, perlahan mereka pasti berproses kok. Buat mereka percaya diri dulu, percaya diri kalo mereka juga bisa. Nanti pintar itu akan datang seiring waktu"

Begitu pesan Ananta, mengingat bagaimana cara Ananta tertawa dengan anak-anak membuat hati Pram menghangat, tanpa sadar Ia malah senyum-senyum sendiri dikasur.

Ponselnya tiba-tiba berdering, itu panggilan dari bundanya.

"Ya bunda halo assalamu'alaikum" sapa Pram.

"Mbah uti pingin ketemu aku? kok tumben, ada apa nih. Mau bagi-bagi warisan?" tanya Pram berkelakar.

"Hahaha, iya, iya bunda besok aku pulang.... Oke bunda.. Walaikumsalam"

"Ada apa nih, kenapa mbah uti minta ketemu. Apa gue buat salah sama kerjaan disekolah? Tapi perasaan tadi dokumen laporan keuangannya udah gue suruh buat taruh di TU. Masak iya salah sih?" Pram bermonolog dengan dirinya.

Ia menerka-nerka, biasanya mbah uti hanya akan memanggilnya jika Pram berbuat kesalahan fatal perihal sebuah pekerjaan. Tapi kali ini Pram pikir pekerjaannya baik-baik saja, tidak ada yang salah.

Diingat-ingat lagi memang semuanya sudah clear, tidak ada yang salah dengan pekerjaannya. Atau mbah utinya ingin bertemu karena rindu dengan cucu satu-satunya yang paling ganteng ini, batin Pram.

Ditempat lain, bundanya tidak habis pikir dengan sifat Pram. "Dikasih perempuan cantik, mapan, berpendidikan, dari keluarga baik-baik di cuekin, malah bergaul sama anak ingusan yang keluarganya nggak jelas, ekonominya kelas rendahan, pasti juga anak itu urakan, gini nih kalo kebanyakan bergaul sama keluarga ayahnya" geram Widiawati, wanita yang melahirkan Pram.

"Kamu sabar dulu wid, nanti biar ibu yang ngomong. Kalo kamu yang ngomong malah jadi panjang lebar nggak nemu keputusan" Ucap Oma Titik.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!