Aku Bukan Anak Pembawa Sial

Lima tahun berlalu, bukan waktu yang lama untuk membesarkan seorang anak. Meskipun banyak hal yang sudah dilalui Kakek Adi dan Nenek Imah dalam membesarkan Ananta, rasanya baru kemarin mereka menggendong dan menimang-niman cucu kesayangan mereka itu.

Banyak hal buruk yang menimpa Ananta pada tumbuh kembangnya, dia sering terkena penyakit kulit karena dampak dari sanitasi yang kurang baik.

Maklumlah hidup di desa apalagi dibawah asuhan orangtua yang sudah sepuh dan minim pengetahuan tentang pengasuhan bayi yang baik.

Tidak hanya itu, Ananta juga tidak seprti anak-anak seumurannya. Jika anak-anak lain diusia 1 tahun atau 1 tahun lebih sedikit sudah bisa berjalan, berbeda dengan Ananta.

Dia baru bisa berjalan diusia 2 tahun lebih, itu juga karena faktor nutrisi yang dia dapatkan kurang banyak, dan makanan yang dia makan kurang bergizi.

Tapi Nenek Imah bersyukur, Ananta tumbuh menjadi anak yang penurut dan mengerti dengan keadaan kakek neneknya. Meskipun baru berusia 5 tahun, tak jarang Ananta ikut Nenek Imah atau Budhe Riani ke ladang mencari kayu bakar, yang nantinya akan digunakan untuk memasak.

Seperti pagi ini, disaat anak-anak lain sudah dipersiapkan oleh orang tuanya untuk pergi bersekolah di TK, Ananta dengan langkah kecilnya berjalan riang mengikuti Budhe Riani ke ladang orang untuk mencari kayu bakar.

Sampai pukul 9 mereka baru pulang dari ladang, bertepatan dengan anak-anak pulang sekolah. Budhe Riani bukan tidak ingin menyekolahkan Ananta, tapi dia tidak punya biaya untuk itu.

Selama ini apa yang dikatakan Suli bohong, dia bilang akan rutin mengirim uang untuk Ananta tapi sampai hari ini, sepeserpun tidak pernah ada uang yang diterima Ananta dari ibunya.

Setelah lelah mencari kayu dengan budhenya, Ananta beristirahat sambil menemani Nenek Imah membersihkan beras yang baru digiling tadi.

Sementara Budhe Riani pergi ke warung untuk membeli tempe dan minyak goreng, sepulangnya dari warung Ia memilih untuk istirahat di rumah Nenek Imah.

Setelah hari cukup sore Nenek Imah membangunkan Budhe Rianai, tujuannya agar Budhe Riani segera memasak untuk makan malam nanti.

"Ni, Riani, sudah sore bangun nggak jadi masak kamu. Tadi kayaknya beli tempe" ujar Nenek Imah membangunkan anaknya, tapi yang dibangunkan diam tidak bergeming.

"Ni bangun nanti kesorean kamu bikin makannya" tetap tidak ada sahutan.

Ditaruhnya tampah yang digunakan Nenek Imah untuk membersihkan beras lalu berjalan ke dipan diruang tamu untuk membangunkan anaknya. "Ni bangun, sudah sore ini lo. Ya Allah Riani!!!" Betapa terkejutnya nenek Imah saat membalikkan tubuh anaknya yang saat itu posisinya tidur miring, darah bercampur nanah keluar dari hidung, mulut, dan juga telinga Riani.

"Bangun nduk!! Riani bangun!!! kamu kenapaa!!!"

Sontak saja teriakan Nenek Imah membuat orang-orang berdatangan ke rumahnya untuk melihat apa yang terjadi, Nur yang melihat kondisi kakak perempuannya begitu syok.

Dia segera menghubungi petugas kesehatan terdekat untuk memastikan bagaimana kondisi kakanya. "Innalillahi wainnailaihi roji'un, Bu Riani sudah tidak ada pak" ucap petugas kesehatan itu.

"Tidak Riani!!!"

Seru Nenek Imah seketika Ia pingsan diatas jasad anaknya. Ananta yang saat itu masih belum mengerti arti dari kematian hanya bisa menangis lantaran melihat neneknya menangis.

___

Kejadian yang menimpa Budhe Riani tentu menjadi musibah yang tidak bisa diterima oleh keluarga besar Nenek Imah terutama anak-anak budhe Riani. Mereka tidak percaya jika ibunya sudah tiada.

Bagaimana tidak, Selama ini Budhe Riani tidak pernah mengeluh sakit apapun, bahkan sebelum kematiannya sempat mencari kayu bakar dan mempersiapkan bahan makanan.

Siapa yang mengira wanita yang usianya belum mencapai 50 an tahun itu akan meninggal secepat ini bahkan tanpa meninggalkan firasat apapun.

Setelah tujuh hari kematian budhe Riani, Nur mengumpulkan anggota keluarga kecuali ayah dan ibunya, yaitu Kakek Adi dan Nenek Imah.

Tujuannya kali ini adalah untuk menghasut saudara-saudaranya agar membenci Ananta.

"Kematian mbak Riani bukan hal yang wajar, mana ada orang sehat bugar tiba-tiba dia meninggal mendadak. Ini pasti ada hubungannya dengan anak pembawa sial ini!" tunjuk Nur kepada Ananta kecil.

Ananta hanya mendengarkan saja apapun yang mereka omongkan sambil bermain kertas bekas bungkus bawang, dia tidak mengerti sama sekali bahwa dari sinilah nantinya semua anggota keluarga akan membencinya mati-matian.

"Mulai hari ini jangan ada yang membantu anak ini dalam hal apapun, benci anak ini karena dia yang sudah menjadi sebab kematian mbak Riani, dan dia cuma beban yang ditinggalkan orang tuanya untuk kita." ucap Nur menggebu-gebu.

"Kamu benar Nur, kalau orang tuanya saja tidak mau merawat dia kenapa harus kita yang kesusahan membantu hidupnya" Pakdhe yuri yang sedari tadi diam ikut menimpali.

Tahun berlalu Ananta sudah bersekolah di jenjang sekolah dasar, dia tumbuh menjadi murid yang cerdas dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Semakin hari pula Ananta semakin mengerti bagaimana dirinya dimata keluarganya yang lain.

Dia sadar tidak ada yang menyukainya kecuali hanya Nenek Imah dan Kakek Adi. Karena itu Ia bertekad untuk bisa bersekolah dengan baik selalu berprestasi agar dia bisa membuat kakek dan neneknya bangga.

Selama ini, banyak sekali percobaan yang Nur lakukan untuk melenyapkan nyawa Ananta ketika anak itu sedang sendirian dirumah, tapi selalu gagal.

Kakek Adi mengetahui rencana Nur anaknya, oleh karena itu kemanapun Kakek Adi pergi, Ananta akan selalu dibawa, dia tidak mau terjadi sesuatu yang buruk pada cucu kesayangannya.

Di penghujung tahun Ananta menempuh pendidikan sekolah dasar, yaitu kelas 6. Dia bercita-cita bisa melanjutkan ke sekolah favorit di kecamatan, namun dia juga sadar akan kondisi perekonomian kakek neneknya.

Bersekolah di sekolah favorit tentu dia harus menempuh perjalanan jauh, dan membutuhkan kendaraan. sedangkan saat ini jangankan untuk membeli kendaraan untuk makan saja susah.

Bahkan kadang tidak jarang Ananta dan kakek juga neneknya hanya makan ubi dari hasil menggarap ladang orang. Sapi yang dulu sempat dipelihara sudah dijual untuk melunasi biaya pemakaman dan segala macam keperluan kematian budhe Riani sampai tujuh hari.

Untuk bersikap egois rasanya Ananta tidak tega, meskipun para guru disekolahnya mewanti-wanti agar Ananta meneruskan ke sekolah favorit, karena sayang jika kecerdasan Ananta tidak didukung dengan sarana belajar yang memadai.

Pernah suatu hari Ananta mengutarakan keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke sekolah favorit "Mbah nanti kalo Danem aku udah keluar kita coba seleksi masuk SMP favorit ya mbah, aku pingin banget ngerasain sekolah di sekolahan yang bagus"

Kakek Adi yang mendengarnya hanya bisa diam termenung, sementara Ardi anak Nur yang juga kebetulan ada disana menjawab

"Haduh bisanya cuma nyusahin aja, orang tuamu itu suruh pulang ngurusin kamu jangan cuma nyusahin kakek sama nenekku aja. Emang dasar anak pembawa sial!"

Deg..

Seperti dihantam batu rasanya, sakit hati Ananta mendengar penuturan Ardi, selama ini Ia kira Ardi bisa menerima dia sebagai saudara karena sikap Ardi tidak sedingin saudara-saudaranya yang lain, namun anggapannya kali ini salah.

"Aku bukan anak pembawa sial!!"

Lantang Ananta mengucapkan kalimat itu kemudian dia berlari masuk kedalam kamarnya, menangis sesenggukan sambil memanggil-manggil ibunya.

"Kenapa buk, kenapa harus aku? Aku salah apa? Kenapa ibu ngga pulang dan bawa aku pergi dari sini, aku kangen sama ibu" sambil menelungkupkan wajahnya, Ananta mengeluarkan unek-unek yang Ia rasakan.

Pada akhirnya Ananta memilih untuk bersekolah di sekolah swasta dikampungnya,

"Ya udah mbah aku sekolah di SMP sini aja ngga papa, kan deket bisa jalan kaki berangkat sama pulangnya, irit ongkos.Sekolah dimana aja juga sama mbah, mau sekolah di kecamatan ataupun disini juga sama aja, tinggal gimana niatnya aja, nanti udah sekolah jauh-jauh malah nggak niat cari ilmu kan percuma buang-buang uang" tutur Ananta kepada Kakek Adi

"Bener nduk, mbah minta maaf ya nggak bisa kasih kamu pendidikan terbaik. Mbah cuma bisa berdoa supaya nanti kamu pinter sekolah sama ngajinya biar bisa bikin bangga mbah sama mbok" jawab Kakek Adi, sebenarnya Ia merasa kasihan pada cucunya.

Dia anak yang baik, penurut dan juga cerdas, tapi tidak mendapat kehidupan yang layak. Bahkan makan saja, tak jarang Kakek Adi harus menahan lapar demi bisa melihat Ananta makan. Setiap malam hanya doa yang bisa orang tua itu panjatkan untuk cucunya, harapaannya semoga kelak dia bisa bertemu lagi dengan orang tuanya dan mendapat kehidupan yang lebih baik dari sekarang.

...****************...

Terpopuler

Comments

iza

iza

Suka banget sama cerita ini, thor!

2024-01-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!