"Dari mana kamu?"
deg....
Teryata didalam rumah sudah ada Mas Bagus, anak tertua Budhe Riani, yang sedang duduk dengan Nenek Imah. Sorot mata Mas Bagus menunjukkan ketidaksukaan, Ananta tahu mungkin Mas Bagus tidak suka Ananta keluar malam apalagi dengan laki-laki.
"Ini mas abis beli sepatu, buku, sama ambil seragam di penjahit" jelas Ananta sambil mengeluarkan semua barang bawaanya.
"Sepatunya baru ta dapat uang darimana?" tanya neneknya, mungkin sekarang neneknya punya fikiran yang kurang baik padanya. Sebab selama ini Ananta tidak pernah punya uang, lalu sore ini Ia berpamitan pergi dengan teman, pulangnya bawa barang belanjaan sebanyak ini.
"Ini dibeliin guruku mbok, biar aku bisa sekolah terus." jawab Ananta sedikit keras agar neneknya bisa mendengar, setelahnya neneknya diam saja. "Laki-laki tadi guru kamu?" giliran Mas Bagus yang bertanya.
"Iya mas, tapi yang beliin bukan orang itu, ada guru perempuan yang laki-laki tadi cuma nganterin aja." Ananta menjawab tanpa ada yang ditutup-tutupi. Karena memang selama ini Ananta tidak pernah diajari berbohong oleh kakek neneknya.
"Besok kamu sekolah kalo gitu?" tanya Mas Bagus lagi "Iya mas" jawab Ananta singkat. "Bareng siapa besok, kalo ngga ada barengan tak anterin besok" entah ada angin apa, tapi kali ini Mas Bagus yang menawarkan diri membantu Ananta.
"Enggak usah mas besok bareng guruku, Mas Bagus kalo mau kerja, kerja aja" jika selama ini Ananta seolah mengemis bantuan pada Bagus maupun Iril, kali ini Bagus menawarkan.
Mungkin Bagus sadar bahwa adik keponakannya ini tidak pernah bermasalah dengan dirinya, kematian ibunya dulu juga karena takdir yang maha kuasa, bukan karena Ananta.
"Ya udah, cepet tidur lampu-lampu matiin jangan lupa" kata Bagus sambil berlalu pulang ke rumahnya. "Iya.. " jawab Ananta.
___
Esok paginya Ananta sudah siap dengan seragam barunya, Ia juga sudah mempersiapkan buku-buku sekolahnya. Hanya tinggal menunggu Pram datang, awalnya Ananta ingin bareng dengan Fita, tapi lima menit lalu Ananta lihat Fita sudah berangkat berboncengan dengan Eva.
Mungkin mereka pikir Ananta benar-benar berhenti sekolah, jadilah mereka berangkat berdua. Tidak lama kemudian terdengar suara motor dihalaman rumahnya, waktu menunjukkan pukul 06.20 Pram baru datang.
"Maaf ya kesiangan, ayo langsung berangkat aja udah siap kan?" tanya Pram, "Udah kok mas, eh pak" jawab Ananta bingung, Pram sedang tidak ingin mempersoalkan masalah panggilan Ananta kepadanya, fokusnya hanya harus sampai sekolah tepat waktu.
Hari ini Ia sedikit telat karena ban motornya sempat bocor dijalan, meskipun belum begitu jauh dari rumahnya Ia harus buang-buang waktu untuk pulang lagi dan tukar motor yang lain.
Diperjalananpun tidak ada obrolan yang terjadi sampai akhirnya mereka sampai disekolah, Pram menurunkan Ananta didepan gerbang sekolah. Disana sudah ada guru piket dan petugas OSIS yang akan menyambut kedatangan para siswa-siswi setiap harinya.
Kedatangan Ananta dan Pram tidak luput dari perhatian mereka semua yang ada digerbang sekolah "Lho pak Pram sama siapa pagi-pagi" tanya seorang guru perempuan yang tidak lagi muda, namun juga tidak begitu tua.
"Selamat pagi Bu Munifah" bukannya menjawab pertanyaan guru itu Pram malah mengucapkan selamat pagi sambil mendorong motornya keparkiran.
Sedangkan Ananta Ia menyalami semua guru yang ada di gerbang sekolah, setelahnya langsung berlalu kearah kelas. Seingatnya pembagian kelasnya sudah dilakukan hari sabtu minggu lalu, dua hari tidak masuk sekolah tidak membuat Ananta lupa posisi kelasnya.
Kelasnya ada di samping masjid dekat kantin. Setelah sampai dikelas, teman-temannya yang lain terkejut, terlebih lagi Fita dan Eva. Mereka yang mengira Ananta benar-benar berhenti sekolah dibuat kaget karena pagi ini Ananta datang.
"Lho mbak, mbak berangkat sama siapa?" tanya Eva, "Sama guru va, tadi aku dibarengin" jawab Ananta sambil mendudukkan dirinya dimeja sebelah Eva. "Tadi kalo masuk kenapa nggak kasih tau aku, tau gitu tadi bareng kita aja ya va" kata Fita menimpali. "Iya jawab Eva.
"Nanti kalo istirahat aku mau cerita kekalian" kata Ananta sedikit berbisik kepada dua sahabatnya, "Mau cerita apa?" tanya Eva penasaran. "Udah nanti aja" terdengar bel tanda masuk berbunyi setelahnya.
Ananta bersyukur dihari pertama sekolahnya Ananta tidak telat meskipun tadi Pram menjemputnya sedikit kesiangan.
Beberapa menit kemudian seorang guru perempuan masuk, dan itu adalah guru bahasa Indonesia.
Hari ini hari pertama guru itu mengajar dikelas, jadi Ia memperkenalkan dirinya pada murid-murid. "Assalamu'alaikum wr wb, selamat pagi anak-anak" ucap guru itu mengawali.
"Waalaikumsalam salam bu" jawab murid-murid "Hari ini pelajaran bahasa Indonesia ya, ini hari pertama saya masuk dikelas kalian jadi perkenalkan nama saya Yunissa Maulidia, kalian bisa panggil saya bu yunisaa"
"Bu kalo saya panggil sayang boleh nggak?" celetuk salah seorang murid laki-laki yang Ananta ingat dulu waktu MPLS murid itu satu gugus dengannya, namanya Arya.
"Yeeeee, ngarep banget biawak" jawab salah seorang murid lain entah siapa namanya, hal itu membuat seisi kelas tertawa tak terkecuali guru muda itu.
Guru itu masihlah muda, cantik, dan tutur katanya lembut. Hal pertama yang Ananta lihat adalah guru ini punya pesonanya sendiri, wajar jika anak kemarin sore seperti temannya berani menggodanya.
Baru ingin memulai kelas, terdengar ketukan dari arah pintu. "Permisi bu, panggilan piket" ternyata itu guru piket yang tadi ada digerbang "Ooh iya Pak silahkan" kata Bu Yunissa mempersilahkan.
"Panggilan untuk keruang piket Muhammad Arya Mashudi dan Ananta Putri Soehadi, keruang piket sekarang juga" setelah menyebutkan dua nama itu guru laki-laki itu pamit pergi.
"Ayo silahkan yang namanya dipanggil boleh meniggalkan kelas ke ruang piket" kata Bu Yunissa.
"Bu tunggu saya ya, nggak lama kok, jangan berpaling" kata Arya sebelum meninggalkan kelas "Apaan sih si aryo" kata Fila seorang anak laki-laki yang tadi duduk dengan Arya.
Bu yunissa hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum melihat tingkah Arya.
Diperjalan menuju piket Arya bertanya "Kenapa kemarin nggak masuk?" Ananta bingung harus jawab apa, tidak mungkin Ia jujur kalau akan berhenti sekolah "Ada urusan mendadak" jawab Ananta sekenanya.
"Ngurusin apa?lebih penting mana sama sekolah?" tanya Arya lagi, "Lebih penting urusan kemarin"
"Nama lu tadi siapa? Ananda?" tanya Arya, Ananta heran kenapa laki-laki ini suka sekali bicara. "A-nan-ta" Ia mengejakan namanya agar Arya tidak salah sebut. "Ooh" hanya itu tanggapan Arya.
Dilorong dekat dengan ruang piket, tidak sengaja Ananta berpapasan dengan Pram. Laki-laki itu menyapa melalui gerakan alisnya yang Ia naik turunkan. Ananta hanya menganggukan kepalanya sambil tersenyum. tentunya Ia kembali deg-degan bertemu dengan Pram.
Ananta dan Arya harus antri terlebih dulu, karena panggilan piket bukan hanya mereka saja. Setelah tiba gilirannya Ananta diminta untuk duduk di kursi piket.
"Kamu namanya Ananta ya?" tanya guru perempuan, rupanya guru itu adalah guru yang tadi pagi menyapa Pram digerbang, kalau Ananta tidak salah dengar namanya Bu Munifah.
"Iya bu saya Ananta" jawab Ananta tegas tapi tenang. "Tadi pak Pram sudah kesini menjelaskan kenapa kamu dua hari kemarin nggak masuk sekolah, jadi nggak perlu ada panggilan orang tua." jelas guru itu, Oo rupanya Pram tadi dari ruang piket dan menjelaskan perihal Ananta tidak masuk dua hari, itu pasti suruhan Bu Indra.
"Oh iya Ngomong-ngomong kamu beneran saudaranya pak pram?" tanya Bu Munifah, Ananta sedikit kaget, saudara? darimana? apamungkin Pram berbohong untuk membuat alasan tidak masuknya Ananta terdengar lebih logis?
"Iya bu, saya saudara jauhnya pak pram" jawab Ananta, ia terpaksa berbohong "Ooo saya kira kamu adik kandungnya, soalnya tadi pak Pram bilang katanya kamu saudaranya" benarkan, Pram yang membuat kebohongan itu.
Setelah selesai urusan piket, Ananta kembali ke kelas sendirian tidak bersama Arya, Ia malas kalau harus menunggu laki-laki itu selesai dipiket.
Nanti pulang sekolah Ia akan menanyakan kenapa Pram mengakuinya sebagai saudara didepan Bu Munifah.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments