Dua hari kemudian.
Mansion Hendrik.
Pagi itu, sebelum semua anggota keluarganya menjalankan aktifitas hari ini. Mereka menyantap sarapan pagi bersama-sama seperti biasanya.
"Mei, Daddy dapat telepon dari om Tjandra. Katanya nanti malam, pria yang sudah kau pilih waktu itu rencananya akan datang berkunjung kesini," ucap Hendrik memberitahu.
"Hmm ... " jawab Mei Chen malas.
"Namanya Daniel, Daddy harap kau bisa bersikap sopan kepada calon suamimu," tekan Hendrik.
"Calon suami? Bertemu saja belum," jawab Mei Chen enggan menganggap pria pilihannya sebagai calon suami.
"Anggap saja seperti itu!" tegur Hendrik.
Mei Chen memutar bola matanya malas, lalu menyudahi sarapan paginya yang belum habis. "Aku sudah kenyang," ucapnya berdiri.
"Mei, sarapanmu belum habis. Dihabiskan dulu ya," tegur Alin.
"Mei hilang nafsu makan Mom, Mei pergi kuliah saja ya," balas Mei Chen.
"Mei, turuti Mommymu!" titah Hendrik.
Alin segera menggenggam tangan Hendrik agar menurunkan amarahnya. "Sudah sayang, jangan memarahi Mei. Biarkan dia pergi, lagi pula ini sudah siang."
"Tapi sayang, semakin hari Mei semakin membangkang saja dan aku sama sekali tidak mengerti dengan sikapnya itu," balas Hendrik.
"Mungkin ada sesuatu yang tidak bisa ia ceritakan pada kita, sudah begitu Mei masih dalam proses pendewasaan. Jadi ku mohon, bersabar-lah dalam menghadapi sikap Mei yang seperti ini," saran Alin memberi nasehat.
Yuan terdiam mendengar perkataan ibunya itu, ia merasa ada sesuatu yang membuat adik tirinya bersikap tidak sopan. "Mei memang punya sikap arogan dan juga keras kepala, tapi kali ini sikapnya itu agak lain. Seperti apa ya? Apakah lelah atau pasrah?" batinnya berpikir.
"Yuan, apa Kokoh sudah selesai sarapan?" tanya Alin.
"Sudah Ma," balas Yuan.
"Kalau begitu cepat susul Mei dan antar dia ke kampus! Jangan biarkan dia pergi seorang diri tanpa pengawasan," pinta Alin.
Yuan mengangguk. "Baik Mah," patuhnya lalu berdiri. "Kalau begitu Kokoh pergi dulu ya," pamitnya kemudian.
"Ya hati-hati," balas Alin dan Hendrik bersamaan.
Setelah Mei Chen dan Yuan pergi, Hendrik menatap Alin. "Kau selalu saja memanjakan Mei Chen," tegurnya.
"Aku tidak memanjakannya," balas Alin.
"Kalau tidak memanjakannya, kenapa kau selalu saja membiarkan dia berbuat sesuka hati?" ucap Hendrik.
"Aku tidak membiarkan dia berbuat suka hati, sayang. Aku hanya tidak ingin melihat Mei semakin depresi," balas Alin.
"Depresi apa? Mei sudah terbebas dari cengkraman Nicolas, harusnya dia merasa tenang sekarang," ucap Hendrik.
"Kau seorang pria, mana mungkin tahu apa isi hati seorang wanita. Mei memang sudah lepas dari cengkraman Nicole, tapi apa kau tidak berpikir, Mei baru saja mengalami jatuh cinta dan ia percaya kekasihnya itu dapat membuatnya bahagia. Tetapi setelah ia percaya terlalu jauh, Nicole malah mengecewakannya. Dia merasa terkhianati dan bukan hanya itu saja yang terparahnya, Mei pasti sedang sedih sekarang ini karena patah hati saat ini dan kita malah memaksanya untuk menikah disaat hatinya masih belum bisa menerima pria lain," jelas Alin.
Hendrik terdiam cukup lama mencerna perkataan Alin, sejenak ia berpikir. Apakah dia tidak memiliki hati sampai memaksa putri kecilnya menikah?
"Jadi menurutmu aku harus bagaimana? Kita sudah terlanjur menjodohkan dia dengan pria pilihannya sendiri," tanya Hendrik meminta pendapat.
"Mei memang sudah memilih calonnya sendiri, tapi ada baiknya biarkan mereka saling mengenal terlebih dahulu dan jangan terburu-buru menikahkan mereka berdua," jawab Alin.
"Baiklah, aku akan memberikan Mei waktu. Setidaknya sampai dia merasa kalau pria pilihannya itu cocok untuknya," balas Hendrik.
Alin tersenyum lega mendengar hal tersebut. "Terima kasih sayang, semoga saja Mei bisa melupakan masa lalunya dan mau menatap masa depan yang baru."
Hendrik mengangguk, kata-kata Alin seketika mengingatkan dirinya dimasa lalu. Dimana ia maupun istrinya itu sama-sama berjuang melupakan masa lalu dan menatap masa depan bersama.
"Sama-sama," balas Hendrik.
...***...
Malam harinya.
Sesuai dengan jadwal sebelumnya, Daniel telah siap bertemu dengan wanita pilihan Tjandra untuk dirinya beberapa hari yang lalu.
"Silahkan masuk!" sambut Hendrik.
"Terima kasih Om," balas Daniel tersenyum. Lalu melangkah masuk sesekali mengedarkan pandangannya ke sekitar. "Rumah Om sangat bagus sekali," pujinya.
"Terima kasih," balas Hendrik senang. "Mau minum apa?" tawarnya kemudian.
"Apa saja, asal jangan alkohol," balas Daniel berupaya memberikan kesan pertama yang baik.
"Baiklah, tunggu sebentar." Hendrik memanggil Endah dan memintanya untuk membuatkan minuman.
Tak butuh waktu lama, Endah membawakan secangkir kopi susu hangat serta air mineral untuk Hendrik dan juga tamunya.
"Silahkan diminum Tuan," ucap Endah mempersilahkan.
"Terima kasih," balas Daniel.
"Sama-sama, balas Endah.
"Endah, tolong panggilkan Mei Chen kesini. Bilang kalau tamunya sudah datang," pinta Hendrik.
"Baik Tuan," balas Endah patuh. Lalu memanggil Mei Chen sesuai dengan perintah dari majikannya.
Dan selama Mei Chen belum datang, Hendrik mengajukan beberapa pertanyaan-pertanyaan untuk Daniel. Seperti orang tua dan lain sebagainya, namun sungguh disayangkan jika Daniel tidak memiliki orang tua lagi.
"Saya turut berduka, maafkan saya bertanya seperti itu padamu," ucap Hendrik meminta maaf setelah mendengar cerita Daniel bila kedua orang tuanya telah tiada.
"Tidak apa Om, saya memgerti," balas Daniel tidak mengapa.
Bersamaan dengan hal tersebut, Mei Chen yang dipanggil oleh ayahnya pun datang memghampiri. Pandangannya tertuju kepada seorang pria berperawakan tinggi besar yang tengah duduk disebelah ayahnya itu.
Seketika rasa penasaran Mei Chen terjawabkan, mengingat ia tidak sempat melihat wajah pria yang ia pilih secara tidak sengaja itu karena melamunkan Yuan dan juga Caroline.
Sedangkan Daniel tersenyum tipis setelah melihat sosok wanita yang akan dijodohkan dengannya secara langsung. "Hem boleh juga," batinnya memindai penampilan Mei Chen dari ujung kaki hingga ujung kepala, sambil mengusap-ngusap janggut tipisnya.
"Kemari Mei!" pinta Hendrik.
"Ya Dad," patuh Mei Chen lalu duduk berjauhan disebelah Daniel.
Hendrik tersenyum menatap keduanya, lalu memperkenalkan mereka satu sama lain. "Mei, ini Daniel. Dan Daniel, ini Mei putriku."
Daniel mengulurkan lengannya dan tersenyum. "Saya Daniel," sapanya.
"Mei," balas Mei Chen singkat. Entah mengapa hatinya sangat gelisah ketika berdekatan dengan pria tersebut, hingga ia tidak henti-hentinya membuang muka.
"Saya lihat sepertinya Mei masih malu-malu Om," ucap Daniel seraya menggoda.
Hendrik mengangguk. "Benar, kalau begitu sering-seringlah kalian bertemu seperti ini agar terbiasa."
"Itu sudah tentu Om," balas Daniel dengan senyuman miringnya.
Sedangkan di tempat berbeda Yuan sedang memperhatikan gerak-gerik dari pria yang sedang duduk bersebelahan dengan adik tirinya itu. Hatinya merasa senang, karena Mei tidak menunjukkan sikap kasarnya.
Namun tiba-tiba saja hatinya merasakan sesak, lalu ia mencoba menghela nafas berkali-kali untuk mengurangi rasa sesak dalam dadanya itu.
"Harusnya aku senang melihat dia telah menemukan seorang pendamping, tapi kenapa? Kenapa hatiku seakan menolaknya?" tanya Yuan dalam hati.
...~ Bersambung ~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Lee
Pngen bilang klau Daniel itu jahat gmana sih .😤
slam dri Madu pilihan Ibu kak
2024-07-05
0
Dewi Payang
5 iklan buat kak author
2024-02-01
0
Dewi Payang
Mungkinkah Yuan puanya perasaan yg sama dg Mei?
2024-02-01
0