Senja kuning menerpa kastil bintang, aku membuka jendela kamar menunggu malam jatuh untuk menyaksikan bintang yang akan mulai bermunculan di atap Kastil Bintang, dari beranda kamarku aku bisa melihat kedua atap menara kastil yang gemerlap menampilkan antraksi bintang gemintang. Sejak di pohon kenangan, aku tidak bertemu lagi dengan Nyonya Lucy, mungkin dia sedang sangat sibuk hingga tidak sempat menemui ku. Kurasa apa yang dikatakan Torc benar, aku tidak boleh berharap bisa bertemu dengan Nyonya Lucy setiap hari.
Sejak kejadian di rumah kaca tiga hari yang lalu, Torc tampak berbeda, dia tampak sakit, punggungnya semakin membungkuk setiap harinya hingga hampir membentuk sembilan puluh derajat, setiap kali dia datang menyeret kakinya ke kamar untuk membawa nampan makanan dan setumpuk baju, dia tidak pernah lagi bicara satu kata pun padaku. Tubuh Torc terlihat selalu gemetaran dan dia terus bergumam pada dirinya sendiri dan aku tidak bisa mengerti apa yang dia katakan, sepertinya dia demam, mungkin peristiwa buruk yang menimpanya di rumah kaca membuatnya sakit. Suatu malam, Torc menaruh nampan makan malam di meja rias dan bajuku di pinggir kasur lalu perlahan-lahan pergi. Sebelum Torc pergi dan menutup pintu dia menoleh ke arah Mike dan aku bisa melihat meski hanya sekilas mulutnya yang berliur tersungging.
Mike langsung meloncat ketakutan ke balik punggungku.
"Pergilah," kataku.
Torc menunjukkan wajah kesal dan menutup pintu dengan keras hingga Mike mengeong karena kaget.
Mike gemetaran di punggungku, aku mulai berpikir dia akan terus bersembunyi di balik punggungku sampai besok pagi.
"Mike apa kau akan tetap di sana? kau tidak ingin makan?" kataku.
Mike menongolkan kepalanya dari balik punggung dan menggeleng, dia tidak mau makan.
"Bagaimana caranya aku bisa makan sementara di dalam kastil ini ada nenek tua yang berusaha merebus ku," seru Mike.
Aku berkata, "Dia tidak akan merebus mu Mike, lagipula kau aman bersamaku."
"Apa kau tidak melihatnya, nenek itu semakin hari semakin menakutkan," kata Mike.
"Sepertinya dia sakit?" kataku.
"Kurasa dia melakukan itu karena tidak ada Nyonya Lucy di sini, nenek itu hanya takut pada Nyonya Lucy kurasa Nyonya Lucy sudah meninggalkan pulau ini," seru Mike.
"Nyonya Lucy masih ada di Kastil Bintang, kita hanya tidak bertemu dengannya, terlalu banyak kamar terlalu banyak lorong di dalam kastil sangat mudah untuk tampak menghilang di sini," seruku.
Aku mengambil potongan daging ikan salmon dan meletakkannya di depan hidung Mike yang memalingkan wajahnya.
"Masih tidak mau makan?" tanyaku.
Mike menggeleng.
Aku berkata, "Jika kau tidak mau makan, aku akan menghabiskan semuanya sendirian."
Mike menunjukkan wajah kelaparan padaku dan tidak kuasa bertahan di depan potongan daging segar ikan salmon.
Aku dan Mike memakan makan malam ku lalu tidur dengan cepat.
Aku jatuh tertidur dan bermimpi buruk.
Aku melihat ibu ku terbang rendah menerobos padang rumput berduri di tengah malam, aku bisa merasakan deru nafasnya yang berat, Dalam kegelapan aku mendengar ayahku berteriak putus asa dari kejauhan menyuruh ibuku untuk menjauh darinya,
"Kenapa kau kembali, jangan kembali, pergi Bella!" seru Ayah.
Tapi, ibuku tidak mempedulikan peringatan Irian. Ibuku terus berlari untuk menghampiri ayahku yang terbaring di antara semak belukar. Kaki Ayahku patah, ibuku coba mengangkat ayahku agar bisa berdiri tapi ayahku mengerang kesakitan. Aku bisa merasakan luka yang menyayat di kaki dan tangan ayah seolah sabetan pedang itu juga mengenai tubuh ku juga.
"Tidak akan berhasil, aku hanya akan membuatmu celaka, pergi dari sini, pergi Bella! terbang kau masih bisa terbang!"
Ibu menggeleng, air mata jatuh dari wajahnya.
"Aku tidak mungkin meninggalkanmu, aku tidak akan pergi tanpamu," seru ibu.
Ayah mengambil tangan Bella dan menggenggamnya dengan erat, lalu dia memohon.
"Dengarkan aku, dengar."
Bella menggeleng.
Ayah meletakkan tangannya yang penuh darah ke pipi ibu dan mengusapnya.
"Kembalilah ke Kastil Bintang, jaga Alesia untukku, katakan padanya kalau aku menyayanginya. Aku akan menahan Amenthis di sini, pergi dari sini sebelum terlambat."
"Jangan gila Irian, kau bahkan tidak bisa berdiri," seru ibu, "kau juga harus kembali ke Alesia, dia membutuhkanmu, aku membutuhkanmu."
Ibu mengusap air matanya, dan aku bisa melihat ketegaran di wajahnya kembali. Ibu berdiri dan dia menggunakan kedua tangannya untuk menarik bahu Ayah dan mencoba untuk terbang.
ibu dengan susah payah mencoba menyeret Ayah melewati semak belukar, sebuah akar yang menonjol ke tanah membuat mereka tertahan, tapi ibu tidak berhenti dia terus menyeret ayah hingga mereka sampai di balik sebuah pohon besar yang menghalangi pandangannya.
Ayah mengerang memegangi kakinya yang terluka dan terus mengalirkan darah segar.
Ibuku menyobek ujung bajunya dan membalut luka di kaki ayahku.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" kata Irian.
Ibuku menempelkan tangannya yang berdarah pada pipi ayahku dan dia berseru.
"Jangan menyerah Irian!, Jangan menyerah! demi Alesia kita, demi anak kita."
"Aku mencintaimu Bella," seru Ayah.
"Aku juga mencintaimu Irian," seru Ibu, "maafkan aku ini semua salahku aku tidak seharusnya membawamu ke gunung utara."
Ayah tersenyum sorot matanya mengatakan bahwa dia rela mengalami penderitaan ini seratus kali demi menemani ibu.
Ibu mengambil sebuah batang pohon dan menggenggamnya dengan erat seolah itu sebuah pedang.
"Dia datang," seru Ayah.
Lalu, sebuah bayangan besar menyelimuti kedua orang tuaku, menutupi mereka dengan ketakutan menyelimuti mereka dengan kengerian.
Ibuku berdiri dan berbalik lalu dia mengacungkan tongkat kayu di tangannya ke depan.
Sebuah kibasan membuat tongkat kayu itu terlempar.
Aku melihat tangan yang hitam dan kurus mencengkeram leher ibu dan mengangkatnya ke atas hingga kaki ibu tidak menyentuh tanah.
Ibuku menggelinjang berusaha untuk bisa bernafas.
"Bagaimana mungkin kau bisa melewati dindingnya," seru ibu.
"Kau pikir kau cukup beruntung bisa bertemu dengan wujudku langsung," seru suara bayangan itu, "tidak keturunan Alexandria! bayanganku saja sudah cukup untuk menghabisi kalian."
Bayangan itu melempar ibu hingga terpelanting ke tanah.
Ayah menyeret kakinya, dia merayap menghampiri ibu. Ayah menggunakan punggungnya berusaha untuk melindungi ibu dari serangan.
Lalu, aku mendengar pekikan ayah dan ibuku, aku mendengar teriakan mereka, aku mendengar erangan mereka.
Aku mendengar suara tawa berat yang melengking dari monster dalam kegelapan.
Lalu, sebuah pedang yang terbakar terangkat ke atas.
Aku merasakan jantungku terasa pecah seakan ujung pedang itu juga menusuk dadaku.
Aku tersentak terbangun terengah-engah dengan keringat dingin membasahi baju tidurku. Bayangan wajah ketakutan Bella dan Irian terngiang-ngiang di kepalaku hingga membuatku mengerang. Aku terduduk memeluk lututku dan menangis.
Aku berusaha mengatur nafasku kembali dan ketika mulai kembali tenang aku merasa ada sesuatu yang hilang di kamar. Mike tidak ada di kasur! Aku memanggil Mike, mencoba mencarinya di bawah ranjang atau di balik gorden di pinggiran jendela. Aku mendapati pintu kamar sedikit terbuka, saat aku tertidur seseorang masuk ke dalam kamar dan mengambil Mike.
Torc!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments