Perempuan itu membuka pintu depan kastil dan aku mengikutinya memasuki aula depan yang luas dan berbentuk lingkaran dengan tangga di kedua sisinya dan lantai yang terbuat dari granit seputih salju berbentuk kotak-kotak besar.
Sebuah lemari jam bandul setinggi dua setengah meter yang terbuat dari kayu dengan banyak ukiran di bagian tepinya berdiri kokoh menyambut kami di depan aula.
Jam itu memperlihatkan jarum hampir jam satu malam kurasa Nenek Lucy sudah tidur sekarang, mungkin aku baru bisa bertemu dengannya besok. Aku berdiri menunggu jamnya berdentang dan ketika dia berdentang seolah dipengaruhi oleh kekuatan sihir, sebuah tulisan bercahaya indah berwarna keemasan muncul di bagian kaca lemarinya :
'Dia yang pergi sepuluh tahun yang lalu sudah kembali, selamat datang di Kastil Bintang, Alesia putri Bella.'
"Itu terjadi setiap kali dia berdentang," kata perempuan itu, "dia sedang menyapamu Alesia. Jam bintang menyampaikan apa yang ingin disampaikan kastil bintang pada kita. Jam bintang seperti penerjemah, dia juga mata dan telinga kastil, dia mengetahui semua yang terjadi di dalam pulau ini. Jika kita bertanya pada jam bintang dia akan memberikan kita jawaban."
Aku termangu.
"Benarkah?" seruku.
"Ya, jika kau bertanya padanya dengan sungguh-sungguh."
"Apakah jawabannya akan selalu benar?" tanyaku.
Perempuan itu menengok ke jam bintang dan tersenyum.
Perempuan itu berkata, "Jam bintang tidak akan pernah berbohong."
Aku melihat pantulan wajahku di kaca jam bintang, memperhatikan bandul jam yang berayun secara teratur. Jam bintang di depanku tampak seperti memiliki nyawa, bagaimana dia bisa tahu namaku?
Ketika kami berjalan hingga ke tengah aula, sebuah lampu kristal menggantung di atas kepala kami, di dasar tali lampu aku melihat sesuatu berwarna hijau dan bercahaya merayap di langit-langit membentuk garis tipis seperti sebuah selang yang bercahaya. Aku mendongak menatap garis-garis tipis itu dan dia menghiasi setiap sudut langit-langit aula lalu menyebar ke setiap lorong, sebagian dari mereka turun hingga ke sisi dinding.
"Cacing api, dia menyerap hawa panas dari kastil dan sebagai gantinya dia memberi kami listrik yang cukup untuk menerangi seluruh kastil," seru Nyonya Lucy.
Cacing api itu adalah listrik alami untuk menerangi seluruh Kastil.
Perempuan cantik itu menepuk bahuku dan berkata, "Ayo Alesia aku akan mengantarmu ke kamar, setelah perjalanan yang panjang kau harus istirahat."
Aku mengikuti perempuan cantik itu menaiki tangga utama, menyusuri lorong dengan jendela berbaris di sisinya dan semua jendela itu dilapisi oleh teralis besi yang kokoh seolah mencoba melindungi kastil dari serangan hewan buas di malam hari. Kami lalu menaiki tangga lagi lalu sebuah lorong yang penuh dengan tikungan dan dengan banyak sekali kamar dengan pintu yang tertutup. Aku bertanya-tanya berapa banyak orang yang tinggal di sini, kurasa aku bisa tersesat jika berjalan sendirian sambil melamun. Perempuan itu berhenti di sebuah kamar dan berbalik padaku.
Perempuan itu berseru, "Kita sudah sampai."
Aku menatap gagang pintu di depanku dan harus menanyakan pertanyaan yang sudah ada di kepalaku sejak aku masuk ke dalam kastil. Aku sudah mendongak dan akan membuka mulut tapi perempuan itu berhasil membaca pikiranku dan menjawab pertanyaanku sebelum aku bertanya.
Perempuan cantik itu tersenyum indah.
"Iya tentu saja," kata perempuan cantik itu, "ada banyak kamar di kastil ini, tapi aku tahu pada akhirnya kau pasti akan mencari kamar orang tuamu."
Aku bergumam, "Ini kamar orang tuaku."
Aku meletakkan telapak tanganku di daun pintu kamar, mereka pernah ada di kamar ini, jantungku berdegup.
Perempuan itu mengusap lenganku dan berkata, "kau pasti lapar, kami menyiapkan makan malam di kamarmu, makan dan tidurlah, besok kita akan bicara lagi."
Aku mengangguk.
Perempuan itu berkata, "Senang bertemu denganmu Alesia."
Perempuan cantik itu mengecup keningku dan berbalik pergi. Aku menunggu perempuan itu hingga dia menghilang di balik tikungan, sesaat kemudian aku sudah merindukan wajahnya yang mempesona, bau harum bunga mawar dari tubuhnya yang memabukkan bahkan masih tertinggal meskipun dia sudah pergi.
Aku menekan gagang pintu dan mendorongnya, berat pintu itu membuatku tahu kalau pintu kamarnya tidak terbuat dari kayu tapi dari besi yang di cat menyerupai pintu kayu berukir. Ketika pintu terbuka, aku hampir mengira akan melihat kedua orang tuaku sedang berdiri di dalam kamar, tersenyum menyambut kedatanganku, sayangnya mereka tidak ada di sana.
Kamar orang tuaku lebih dari yang bisa kubayangkan. Sebuah ranjang besar dengan sprei putih yang bersih, lemari berukir yang bisa saja merupakan pintu rahasia ke dunia binatang yang bisa bicara, meja rias dengan kaca yang aku tidak akan terkejut jika ada seseorang muncul di baliknya. Semua yang ada dalam kastil ini seperti dalam kisah dongeng.
Aku membuka lemari dan menemukan baju Bella dan Irian masih tersimpan di sana, terlipat dengan rapi di rak lemari. Aku mengambil salah satu baju Irian dan memeluknya seolah aku sedang memeluk Ayahku.
Pada bagian lemari lainnya beberapa jaket tebal menggantung, dan beberapa kotak sepatu tersusun di dasar lemari, di dinding dalam lemari terdapat sepasang topi berwarna biru laut dengan tulisan di bagian depannya: Pemburu Tom. Ketika aku mencoba memakai topi itu, dia terlalu besar hingga menutupi mataku, aku tidak sabar menunggu umurku bertambah tua dan kakiku cukup besar untuk mencoba sepatu dan baju ibuku.
Seandainya aku bisa bertambah tua tujuh tahun dalam semalam!
Aku menggantung tasku dan itu menjadi satu-satunya barang lusuh yang ada di dalam lemari.
Di seberang pintu terdapat sebuah jendela yang menghadap ke halaman depan. Seperti jendela lainnya, jendela kamarku memiliki teralis besi dengan kunci slot tanpa gembok di satu sisinya. Di dekat kunci slot terdapat sebuah coretan tangan di dinding bertuliskan: Hanya manusia yang bisa membuka kuncinya.
Lalu, aku menemukan tulisan lainnya di kaca rias, kuduga itu tulisan ibuku, di sana tertulis dalam warna merah lipstik :
'Selalu bersama selamanya.'
Aku duduk di pinggiran jendela di dekat meja rias yang penuh dengan makanan. Melihat makanan membuat Mike melompat dan naik ke atas meja rias, kucing kelaparan itu langsung menenggelamkan kepalanya pada potongan kue.
"Makanlah sebanyak yang kau mau," kataku.
Aku menyodorkan piring berisi daging dan kentang tumbuk ke arah Mike yang mengeong gembira.
Aku tidak merasa lapar, sepertinya perutku penuh dengan banyak hal ajaib yang terjadi hingga membuatku kenyang, dan sepertinya aku tidak akan bisa tidur karena terlalu banyak pertanyaan berkelebat di kepala yang harus kutemukan satu persatu jawabannya. Dalam satu hari ini terlalu banyak hal baru yang datang dalam hidupku hingga membuat nafasku terasa sesak. Aku duduk di pinggiran jendela, di kejauhan aku melihat Paman Berg sedang menyeret badan pesawat keluar dari halaman depan, dia menyeret Rosi sendirian seolah sedang menyeret koper yang hanya berisi tumpukan baju yang ringan, satu lagi keanehan yang harus dihadapi hari ini.
Sepertinya meringkuk di pinggiran jendela lebih nyaman daripada di atas kasur besar yang empuk. Aku menatap langit-langit kamar yang dihiasi dengan ukiran dan cacing api yang merayap, aku tak pernah mengira orang tuaku memiliki kastil di tengah pulau, aku berharap mereka hanya petani biasa. Akan lebih mudah hidup bersama keluarga yang sederhana daripada di dunia yang semewah ini. Mike yang kekenyangan melompat ke lenganku dan menggulung tubuhnya di dekatku.
Aku mengusap kepala Mike.
"Selamat malam Mike," kataku.
Mike menguap lalu setengah mengantuk dia berkata, "Selamat malam Alesia."
Ya, itu benar terjadi! aku bisa bicara dengan kucing, aku ingin bicara banyak dengannya tapi kelelahan membuatku jatuh tertidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments