"Alesia, perkenalkan ini tuan Berg," kata Nyonya Marta.
Nyonya Marta mengangguk ke arah pria jangkung yang berpakaian serba hitam yang duduk di seberang mejanya.
Tuan Berg menengok ke arahku.
Aku menunggu Tuan Berg mengatakan sesuatu seperti: 'maaf tapi kenapa wajahnya berbeda seperti di foto? Sepertinya aku salah orang! apa ada yang lain? Kenapa dia cemberut seperti itu? Itu adalah kalimat yang paling mungkin dikatakan semua orang padaku, tapi Tuan Berg tidak mengatakan apapun. Tuan Berg menatapku, memicingkan matanya sebentar, ekspresinya datar hingga aku sulit menebak apa pendapatnya tentangku.
Kurasa Tuan Berg adalah kemungkinan yang kedua, mungkin dia ingin aku membantunya melakukan kejahatan, atau dia perlu seseorang untuk membersihkan rumahnya yang kotor dan jorok atau pekerjaan berat lainnya. Mungkin juga Tuan Berg seorang psikopat yang sedang membutuhkan kelinci percobaan, aku teringat pada cerita tentang pemilik sirkus yang tinggal di balik bukit yang suka menangkap anak nakal untuk dijadikan pengasuh singa.
Tuan Berg berdiri dari tempat duduknya, dia kurus dan menjulang, tingginya pasti dua meter lebih aku harus mendongak untuk melihatnya, dia memakai setelan jas hitam yang kekecilan di bagian tangan dan celana hitam yang terlalu pendek hingga aku bisa melihat kalau dia tidak mengenakan kaus kaki. Tuan Berg memakai sepatu olahraga yang jelas tidak sesuai dengan jas hitamnya, dia memakai topi hitam dengan jenggot hitam lebat yang menutupi mulut dan seluruh dagunya, rambutnya panjang hingga sebahu, matanya sipit dan kulitnya putih pucat. Tuan Berg tampak seperti vampir dari gunung yang berusaha menyamar menjadi orang biasa dengan meminjam baju dari para tetangga.
Dengan semua atribut vampir yang di pakai Tuan Berg, entah mengapa aku tidak takut dengannya, aku menatapnya dan mendapatkan perasaan seolah aku pernah mengenalnya di suatu tempat pada suatu waktu tapi tak tahu kapan dan di mana.
"Halo, tuan Berg," kataku, "apa kau pengikut sekte sesat?"
Nyonya Marta mengerutkan dahinya mendengar perkataanku tapi Tuan Berg menggeleng dengan tenang, ketenangannya malah membuatku kaget seolah dia sudah tahu dengan anak seperti apa dia berhadapan.
"Bagaimana dengan organisasi terlarang?" tanyaku lagi.
"Tidak juga," kata Tuan Berg dengan suara berat.
Aku berseru, "Kau pasti mengikuti suatu perkumpulan rahasia atau semacamnya?"
Tuan Berg berjalan menghampiriku dan meletakkan kedua tangannya yang panjang tepat di atas kepalaku lalu tangannya turun ke pipiku, aku bisa merasakan telapak tangannya yang kasar menggesek di wajahku. Tuan Berg berjongkok dan menatap mataku sangat lama hingga akhirnya dia mengangguk, sepertinya dia menemukan sesuatu di mataku yang membuatnya yakin bahwa dia tidak salah memilih anak.
Aku tidak bisa melihatnya dengan yakin karena kumis dan jenggot yang menutupi mulutnya tapi kurasa dia sedang tersenyum ketika melihatku.
"Paman Berg," kata Paman Berg, "panggil aku Paman Berg, Nona Alesia."
Nona? Paman Berg memanggilku nona, itu suatu keanehan yang tidak bisa ku mengerti.
Paman Berg berdiri dan berbalik ke arah Nyonya Marta yang sedang melipat kedua tangannya di dada, Paman Berg memberitahu Nyonya Marta.
"Dia memang bayi yang kami cari."
Bayi? Aku menatap Nyonya Marta memintanya menjelaskan atau kepalaku bisa meledak dengan banyak hal yang mendadak datang dan tidak bisa aku pahami.
Nyonya Marta menghela nafas lalu menyeret kursinya ke belakang, dia berdiri dan menyandarkan punggungnya pada pinggiran meja dan menoleh padaku.
"Dia pamanmu, Alesia! " kata Nyonya Marta, "tuan Berg ini kakak sepupu dari ibumu."
"Kalian pasti bercanda," kataku.
Mendadak wajahku terasa panas.
Nyonya Marta mengusap keningnya dan berkata, "Apa aku pernah bercanda?"
Tiba-tiba aku meledak.
"Jika kau ingin aku pergi dari sini aku akan pergi, tidak usah membual!" kataku dengan marah.
Jika mereka ingin mempermainkan ku, ini sudah keterlaluan.
Semua adalah kebohongan, hanya rekayasa, aku tidak pernah punya keluarga, aku hanya anak yang diletakkan burung bangau di depan pintu, aku tidak punya siapapun, bagaimana mungkin tiba-tiba ada seseorang datang dan mengaku sebagai pamanku. Aku melihat ada sebuah kantong kecil yang terbuat dari kain di atas meja Nyonya Marta, kuduga ada uang di dalamnya, pria itu ingin membeli ku dan Nyonya Marta dengan senang hati menjual ku. Nyonya Marta ingin membuang ku sejauh mungkin dari hidupnya selagi dia masih punya kesempatan.
"Aku tidak percaya kau melakukannya."
Tuding ku pada Nyonya Marta.
Nyonya Marta berkata, "Aku juga tidak mempercayainya Alesia, kukira ini gila! awalnya aku hampir melempar Tuan Berg dengan vas bunga, tapi dia menceritakan semua tentangmu yang hanya aku dan Tuhan yang tahu."
"Mungkin Nyonya hanya terlalu mudah ditipu, mungkin Nyonya hanya menyerah denganku, Nyonya hanya ingin melempar aku keluar dari sini!" kataku.
Nyonya Marta tampak terkejut dengan perkataanku yang kasar tapi aku tidak peduli, "Kenapa kau bicara seperti itu Alesia, aku bersedia menampung mu, tapi kau masih punya keluarga, Tuan Berg memberikan bukti yang tak bisa ku sangkal, aku harus melepas mu."
"Bukti apa?" bentakku.
Paman Berg menarik lengan jas nya lalu melipat lengan kemejanya dan menunjukkan sebuah tanda lahir berbentuk bintang di punggung tangannya padaku.
Paman Berg berkata, "Alesia apa kau punya tanda lahir bergambar bintang seperti ini di badanmu?"
Aku memang punya tanda lahir berbentuk bintang seperti itu di pinggangku tapi aku terlalu marah untuk bisa mulai mengerti dan menerima kenyataan di depanku, "Semua anak di sini tahu kalau aku punya tanda lahir yang aneh, tidak sulit untuk mencari tahu," kataku.
"Apa kau pernah sakit, Alesia?" Tuan Berg bertanya lagi, "sakit apa saja, cacar, tifus, flu atau bahkan hanya batuk, apa kau pernah mengalaminya?"
Seingat ku aku memang tidak pernah sakit, seolah penyakit tidak mau hinggap di badanku. Aku pernah jatuh hingga kaki kananku patah, Nyonya Sofi yang merawat ku mengatakan aku sembuh jauh lebih cepat dari anak biasanya, aku baru menyadari sekarang kalau itu sebuah keanehan.
"Suatu saat nanti aku juga pasti sakit seperti yang lainnya, aku mungkin hanya lebih sehat dari anak lainnya, itu karena Nyonya Marta sering menjemur ku di lapangan."
Aku menyangkal sebisaku.
Tuan Berg mengambil sebuah foto dari saku jasnya dan memberikannya padaku. Di foto itu aku melihat seorang perempuan berkulit putih dengan mata sipit sedang menggendong bayi berumur tiga bulan, dan di samping perempuan itu ada seorang laki-laki berkulit coklat dengan rambut bergelombang, kedua orang tua di foto itu tersenyum menghadap ku dan aku merasakan getaran di hatiku.
Paman Berg berkata, "Itu Bella dan Irian, orang tuamu meninggal tiga bulan setelah kau lahir."
"Itu bisa siapa saja," kataku.
Aku ingin sekali melempar foto itu ke lantai tapi, mendadak aku tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya. Aku memegang erat foto di tanganku seperti aku memegang benda yang paling berharga di dunia.
Nyonya Marta duduk berjongkok di depanku dan menunjuk bayi di foto dengan jarinya.
"Itu kamu!" kata Nyonya Marta.
"Semua bayi selalu terlihat tampak sama! Nyonya mungkin salah mengenalinya," seruku .
Aku menggeleng mencoba menyangkal kenyataan di depan mataku tapi kakiku mulai terasa lemas.
"Tidak, aku tidak mungkin salah!" kata Nyonya Marta.
Nyonya Marta memegang kedua bahuku dengan lembut dan dia berkata, "Tidak denganmu, aku tidak akan salah mengenalimu, Alesia. Aku ingat pertama kali menemukanmu, saat itu masih pagi sepuluh tahun yang lalu. Aku menemukan bayi perempuan yang terbungkus selimut di dalam keranjang rotan di depan pintu panti asuhan. Saat aku menggendong mu, aku bisa melihat tatapanmu yang tajam, tangisanmu yang sangat nyaring, aku masih mengingat wajahmu yang diterpa sinar matahari, seolah itu baru terjadi kemarin aku tidak akan lupa!"
Aku melihat gambar orang tuaku dan gambar itu berubah menjadi buram karena air mataku jatuh membasahinya.
Nyonya Marta memelukku dan mengatakan dengan suara yang sangat pelan.
Nyonya Marta berseru, "Oh ya tuhan! Alesia kau masih punya keluarga."
Paman Berg berkata, "Kita harus berangkat sekarang. Nyonya Lucy, Nenekmu menunggumu."
Aku mendongak pada Paman Berg dan berkata tertahan, "Aku masih punya Nenek?"
Paman Berg menghela nafas dan mengangguk.
Semua berjalan sangat cepat seolah ini tidak nyata. Aku masih tak percaya dengan apa yang terjadi, kejutan hidup menimpaku sangat keras hingga membuat ku linglung. Aku bergerak kembali ke kamarku untuk membereskan semua barang, aku bergerak seperti robot, aku tidak bisa memikirkan apapun.
Sore belum datang dan aku sudah berada di depan pintu keluar panti asuhan Nyonya Marta, aku memandang anak-anak panti asuhan lainnya sambil menggendong tas di bahuku.
Aku berpamitan pada anak-anak yang lain, termasuk pada Pika, Mia dan Bona yang dengan senang hati menyempatkan diri mengejekku untuk yang terakhir kali.
Pika berseru pelan di depanku, "Orang yang aneh untuk anak yang aneh."
Lori dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya memberikan kotak kardus kecil yang bergerak-gerak di dalamnya, aku tebak itu Mike jadi aku menggeleng padanya.
Lori memaksaku menerima kotak di tangannya.
Lori berkata, "Mike akan lebih aman bersamamu daripada denganku dan juga jangan lupa mengirimiku foto."
Aku mengusap kepala Lori, memeluknya dan memintanya untuk menjadi anak yang berani.
Nyonya Sofi memelukku dan kembali menangis menghabiskan persediaan tisu di kantongnya untuk menyeka ingus dan air mata. Nyonya Marta mengingatkanku untuk menjaga diri, aku berterima kasih padanya karena telah merawat ku selama ini, atas semua yang dia berikan padaku aku tidak akan pernah melupakan panti asuhan ini selamanya.
Aku melambaikan tangan pada semua orang dan berjalan membuntuti punggung Paman Berg, kami melintasi halaman depan tempat dimana aku biasa menghabiskan waktu bermain sore selama sepuluh tahun terakhir, kami melewati pagar halaman menuju ke arah selatan.
Kami meninggalkan panti asuhan Nyonya Marta untuk pergi ke Kastil Bintang, rumah yang baru, petualangan yang baru, keluarga yang baru, hidup yang baru.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Calliope
Jlebbbbb!
2024-01-01
0