Aku sudah tinggal di panti asuhan Nyonya Marta sejak aku bayi. Aku tidak pernah tahu seperti apa kedua orang tuaku. Aku sering bertanya-tanya seperti siapa ayah dan ibuku, apakah mereka tinggi? apa ayahku berkulit coklat sepertiku? siapa yang mewariskan mata sipit ini padaku? rambut yang selalu acak-acakan meskipun disisir berkali-kali ini karena aku mirip ayah atau ibuku? aku tidak tahu jawaban semua pertanyaan itu, aku tidak pernah melihat kedua orang tuaku dan tidak punya foto mereka.
Ayah dan ibuku hanya meninggalkan nama pengenal yang diikat di tanganku sewaktu aku bayi, nama Alesia adalah satu-satunya warisan yang mereka tinggalkan untukku, hanya itu yang mereka berikan padaku. Sewaktu kecil, jika aku berulah, Nyonya Marta sering mengatakan di depan kelas bahwa dia curiga kalau seekor burung bangau yang meletakkan ku di sini di depan pintu panti asuhannya, itu membuat banyak anak panti meledekku dengan sebutan anak burung bangau dan aku harus meninju mulut mereka satu persatu agar mereka menutup mulut mereka.
Aku berharap bisa melihat kedua orang tuaku, sesuatu yang mungkin hanya bisa terjadi jika aku sudah meninggal dunia.
Saat aku membuka mata, kupikir aku sudah di surga dan akan bertemu orang tuaku tapi aku malah melihat gorden hijau tua yang selalu kulihat sepanjang hari. Aku mendapati diriku tidur di ranjangku di bangsal anak perempuan. Aku berpikir kalau apa yang terjadi semalam hanyalah sebuah mimpi. Sebuah Mimpi yang anehnya terasa nyata, mimpi yang meninggalkan bekas luka cakar yang masih terasa perih di pipiku. Aku terbangun dengan punggung dan lengan yang terasa pegal.
Aku berbaring sendirian di kamar saat hari sudah siang dan itu sesuatu yang aneh. Nyonya Marta tidak pernah membiarkan ada anak panti yang tidur hingga melewati jam sepuluh pagi kecuali dia sakit atau lumpuh, atau pingsan atau sudah mati. Dengan ketakutan aku bergegas melempar selimut dan segera memeriksa kedua kakiku, mengecek tangan, perut dan merasa lega karena semua anggota tubuhku masih utuh. Aku baik-baik saja.
Aku sedang mengecek kepalaku apakah masih ada di tempatnya ketika Nyonya Sofi datang membawa nampan berisi makanan dan baju. Nyonya Sofi berjalan terburu-buru, badannya yang besar dan gemuk membuatnya tampak seperti oleng, kaki besarnya menghasilkan bunyi gedebuk di lantai.
Aku menatap Nyonya Sofi dan dia memicingkan mata sipitnya padaku.
"Syukurlah kau sudah bangun," kata Nyonya Sofi.
Rangka ranjangku berderak menderita ketika Nyonya Sofi duduk di pinggir ranjang.
"Apa aku akan dihukum?" tanyaku.
Nyonya Sofi meletakkan nampan makanan di samping kakiku dan berkata dengan tegas, "Oh ya tentu saja, orang sepertimu seharusnya mendapatkan hukuman, jika tidak kau akan mengulangi kegilaan itu lagi, apa kau tahu semalam itu berbahaya."
"Aku terpaksa melakukannya maksudku ...," aku tergagap.
Nyonya Sofi berseru, "Memangnya apa yang membuatmu terpaksa harus tidur di taman, sepanjang malam saat badai hujan, apa yang kau pikirkan apa kau ingin mencelakakan dirimu sendiri? Kau bisa demam! Kau bisa tersambar petir! Kau bisa tertimpa pohon tumbang!"
Aku merasa tenggorokan ku tercekat.
"Tidur!" seruku.
"Ya, kau tidur di halaman seolah seperti kau tidur di atas ranjangmu, Nyonya Marta sampai meminum teh herbalnya pagi-pagi sekali karena melihat kelakuanmu," seru Nyonya Sofi.
Bukankah semalam aku jatuh dari atap kastil? Benarkah semalam hanya sebuah mimpi? Bagaimana bisa aku hanya tidur di halaman? Aku membuka mulut lalu menutupnya lagi, sebaiknya aku tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya, itu bukan hal yang baik untuk diungkapkan. Keluar tengah malam, berkelahi dengan Pika, naik ke atas atap, memelihara kucing tanpa sepengetahuan Nyonya Marta, itu akan menjadi hukuman berat selama seminggu penuh.
"Kurasa semalam aku tidur sambil berjalan," seruku.
Sebaiknya aku berbohong.
Nyonya Sofi menatapku dengan sudut matanya dan berkata, "Jika anak lain yang mengatakannya aku tidak akan percaya, tapi kau memang aneh sejak dulu. Tapi, syukurlah kau tidak tidur sambil berjalan melewati pagar pemakaman."
"Ya aku memang aneh," kataku, "itu karena aku anak burung bangau."
Nyonya Sofi memelototi ku lalu menghela nafas. Aneh adalah kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang terjadi semalam, jatuh dari ketinggian tiga lantai aku seharusnya celaka tapi tidak terjadi apa-apa denganku. Aku tidak terluka sedikitpun lalu aku teringat dengan Mike. Kucing hitam itu tiba-tiba bisa bicara maksudku benar-benar bisa bicara. Aku pasti sudah gila aku harus mencari Mike untuk memastikannya.
Aku sudah duduk di pinggir ranjang dan akan melompat turun tapi Nyonya Sofi menghentikan aku.
"Kau mau kemana?" tanya Nyonya Sofi.
"Aku ada piket membersihkan kebun hari ini," kataku.
Aku mencari-cari alasan.
Nyonya Sofi berseru, "Tidak ada piket apapun untukmu hari ini Sia, kau hanya harus makan, pergi mandi dan mengganti pakaianmu."
Nyonya Sofi melirik ke arah nampan di kasur.
Aku melihat isi nampan yang dibawa Nyonya Sofi untukku : Segelas susu coklat, tiga buah kue salju, sup wortel dengan sedikit potongan ayam, dia juga membawa satu setel baju bukan baru tapi masih bagus berwarna biru bergambar bunga matahari. Kami, para anak panti tidak pernah mendapatkan keistimewaan seperti ini kecuali karena satu alasan: Seseorang datang untuk membawaku pergi dari sini, ini hari terakhirku di panti asuhan jadi Nyonya Marta memperlakukanku dengan istimewa sebagai rasa syukur karena dia tidak harus melihatku lagi besok.
Aku mendongak pada Nyonya Sofi dan bertanya, "Apa Nyonya Marta sedang menungguku di kantornya?"
Nyonya Sofi menghela nafas berat, dia mengangguk pelan, mendadak matanya menjadi merah sembab lalu dia memelukku dengan erat hingga aku sulit bernafas.
Nyonya Sofi bergumam, "Kau memang selalu menyusahkanku, Alesia. Kau membuat keributan setiap hari tapi tempat ini takkan pernah sama lagi tanpamu."
Aku menepuk paha Nyonya Sofi.
"Tenang saja," kataku, "aku akan kembali dalam lima menit, tidak akan ada yang mau mengadopsi ku."
Aku menghabiskan makananku dengan cepat lalu mandi dan memakai baju baruku yang tampak sedikit kekecilan. Aku berjalan di lorong mengekor di belakang nyonya Sofi. Semua anak panti berdiri di lorong untuk menatapku dengan rasa penasaran dan heran. Diantara kerumunan anak, aku melihat Pika dan dua temannya yang menyebalkan. Pika memasang senyum mengejek untukku, ada bekas luka di dahi Pika yang membuatku merasa puas.
Lori berlari untuk menghampiriku.
"Apa kau akan pergi? Apa dia akan membawamu?" tanyanya.
"Aku tidak tahu," kataku.
Lori sedang menggendong Mike, aku menatap dengan tajam. Mike segera memalingkan kepalanya dariku, ada urusan yang belum selesai dengannya aku akan mencarinya nanti. Mike harus menjelaskan semua yang terjadi semalam entah itu dengan bahasa kucing atau dengan bahasa manusia.
"Aku tidak mau kau pergi," kata Lori.
"Aku mungkin tidak akan pergi," kataku tersenyum.
Nyonya Sofi berbelok di lorong, aku bisa melihat pintu kantor Nyonya Marta di ujung lorong. Sepuluh tahun! itu waktu yang dibutuhkan hingga akhirnya ada seseorang datang untuk membawaku pergi dari panti asuhan ini. Biasanya mereka, calon orang tua angkat yang datang ke sini akan lebih menyukai anak perempuan yang cantik seperti Pika atau yang lemah lembut dan penyayang seperti Lori. Ada kesan pemberontak yang menempel di wajahku, ada tanda pembangkang dan suka membuat onar yang tidak disukai oleh banyak orang di dahiku yang sulit di hapus, itu membuat calon orang tua angkat tidak pernah sudi melirikku.
Kata Nyonya Marta jika aku tidak bisa merubah raut wajahku yang seperti kucing liar yang sedang mengamuk aku akan berakhir di panti asuhan ini hingga aku tua. Jadi, ada kemungkinan orang yang sedang menungguku di kantor nyonya Marta, dia salah lihat anak atau dia sama anehnya denganku. Pasti ada kekeliruan!
Aku melihat pintu kantor Nyonya Marta dan bersiap untuk ditolak dan kembali memakai baju lusuh lagi.
Nyonya Sofi membuka pintu kantor, aku masuk berdiri di dekat pintu. Aku menunggu Nyonya Marta yang sedang menulis sesuatu di mejanya. Setelah menandatangani beberapa kertas di meja, Nyonya Marta meletakkan pena dan menoleh padaku.
Wajah Nyonya Marta kaku tanpa ekspresi seperti biasa.
Nyonya Marta berkata, "Alesia kau sudah datang, kemarilah."
Aku hanya maju tiga langkah, aku tidak mau jauh-jauh dari pintu, jika ini sebuah kesalahan aku bisa langsung melompat kembali ke kamarku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments